Tinggalkan komentar

PERNYATAAN KEMERDEKAAN ADALAH PERNYATAAN BUDAYA

oleh Sri-Edi Swasono

Tuntutan kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928):
“…
lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-
embel bangsa lain…”.

Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan:
“…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme…mazhab klasik menjagoi perdagangan-bebas karena menguntungkan bagi Inggris,
bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…”
. Sedangkan Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan:
“…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme…”. Sementara itu Widjojo Soejono (2012) menegaskan:
“…kewaspadaan(vigilance)adalah harga kemerdekaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya…”.


***

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain adalah suatu pernyataan budaya, yaitu budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid – melepaskan diri dari ketergantungan, tidak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander. Kesadaran-kesadaran berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berkehidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna, merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal
unlearning untuk memenuhi tuntutan-tuntutan budaya itu, kita alpa tidak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme. Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more . Kita terjerumus mengejar
„nilai-tambah ekonomi‟. Pembangunan nasional harusnya mengejar pula „
nilai-tambah sosial-kultural ‟ agar mampu meraih makna to be more
itu. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan PDB,
itu pun cuma 6%. Beginilah bila pembangunan lebih mengutamakan
„daulat-pasar‟-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan „dau
lat-rakyat‟.

Dengan pertumbuhan PDB sekedarnya itu kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tataguna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/14) sempat mencemaskan 60% penguasaan industri penting berada di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di klas-klas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini? ***

Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tidak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/14):
“…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita…”.

Kita harus selekasnya mengoreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri. Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerjasama, bukan forum persaingan apalagi pengangkangan dan ajang perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita. *** Seharusnyalah kita mampu mewujudkan “pembangunan Indonesia”, bukan sekedar “pembangunan di Indonesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi aktor
-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekedar menjadi penonton. Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina–Dewa penolong,
lalu lupa tanggungjawabnya untuk mandiri dan menyelamatkan penderitaan rakyat. Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravagansa Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangungan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya-rekaan mancanegara, yang bukan karya anak-negeri melalui BAPPENAS, di situlah Indonesia “menari atas kendang orang lain”.

Di MP3EI ada puncak pimpinan (Presiden, Wapres serta Ketua Harian) ada pula Badan Koordinasi, ada Komite (KP3EI yang didirikan 20/5/11), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir seluruh anggota Kabinet, ada Badan Pelaksana, ada Tim Kerja Wilayah dst. Namun hingga sekarang kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana pembangunan nasional teramat strategis kepada investor-investor asing, yang malahan bisa menjadikan kita tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, para investor asing diposisikan sebagai Dewa Penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti, sehingga MP3EI gaya baru yang apapun tidak membuat Indonesia menjadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang hanya bisa manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles. ***

Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT APEC di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin Asia Pacific Economic Cooperation
tercemari dengan semangat economic competition, di mana seorang Kepala Negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerjasama, menggunakan istilah “bersaing”, mengucapkan perkataan“fair competition” 
dalam APEC yang sebenarnya adalah forum kerjasama. Berdasar titik-tolak di atas, maka globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam
scheme kerjasama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam the United Nations (PBB), WTO, APEC dan ASEAN-Economic Community, dst dst, yang pada hakikatnya masing-
masing merupakan “forum kerjasama” – bukan “forum bersaing”, semua paket kerjasama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerjasama. Prinsip kerjasama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam kerjasama ekonomi internasional proteksi dan subsidi tidak perlu diharamkan, keduanya harus tetap merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita. Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerjasama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerjasama bukanlah suatu konspirasi. Kerjasama adalah upaya bersama untuk saling dukung-mendukung bergotong-royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah. Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.

Guru Besar UI Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

Tinggalkan komentar

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.