Tinggalkan komentar

Tauhid: Wahdatul Wujud

WAHDATUL WUJUD,

Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada atau teradakan (maujud) — merupakan ketung­gal­an, kesatuan. Be­ragam realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “se­­­kadar” sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—tunggal. Itu  semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelek­tual (noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana bayangan yang bermain dalam pi­­kir­an kita sebagai citra-kedua se­buah objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk — Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).

Islam, menurut ‘irfan, bukan hanya menekankan pada kepercayaan kesatuan/ ketunggalan Tuhan, melainkan kesatuan/ ketunggalan semua realitas (semua yang ”ada”, wujud). Dengan kata lain, meski sama sekali tak mengurangi sifat transendensi (tanzih) Tuhan, cara pemahaman teologis ini juga menempatkan Tuhan sebagai tidak terpisah dari ada-ada yang lain. Atau, tepatnya, ada-ada yang lain – yang nota-bene tercipta/bersumber/ terlahir dari-Nya – sesungguhnya adalah bagian atau manifestasi (pengejawantahan, tajalliy) dari wujud Tuhan juga. Jadi, selain bersifat transenden, Tuhan juga bersifat imanen (tasybih, menyatu dengan alam – ’alam, yakni segala sesuatu yang ”selain” Tuhan, ma siwa Allah).

Adalah keterbatasan kemampuan penampakan (persepsi) yang membuatnya gagal untuk melihat ketunggalan wujud ini. Kenyataannya, jika seseorang telah dapat mencapai maqâm (tataran) spiritual tertentu dalam ke­hidupan spiritualnya, maka ia akan bisa melihat be­tapa—meski, dilihat dari satu sisi, Wujud Allah berbeda dari wujud-wujud maujud (selain) Allah, di lain sisi, sesungguhnya keseluruhan wujud adalah bersifat Tunggal.

[1/31, 05:3

Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan ke­sepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada hakikat­nya tak lain dan tak bukan adalah keberadaan tinta. Cara me­lihat yang benar adalah, pertama, melihat ke­ber­­­­ada­an tinta di semua huruf itu dan, kemudian, me­lihat huruf-huruf itu sebagai berbagai modifikasi (per­ubah­an bentuk) dari tinta yang dipakai.
[1/31, 05:39] Ahmad Yanuana Samantho: Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

[1/31, 05:42] Ahmad Yanuana Samantho: Dasar-dasar Naqli
[1/31, 05:42] Ahmad Yanuana Samantho: Tiada tuhan (wujud) kecuali Tuhan/Allah (Wujud) (Syahadat)
Katakan : “Tuhan itu Ahad (QS. 112 : 1)
Dia yang Pertama dan Terakhir, Dia yang Lahir dan Yang Batin (57 :3)
Tak ada sesuatu yang menyamai-Nya (42:11)
Tuhan adalah Cahaya Langit dan Bumi (24:35)
Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu (50 : 16)
Dia selalu bersamamu di mana pun kamu berada (5 :4)
[1/31, 05:43] Ahmad Yanuana Samantho: Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur turun naik. Busur turun (al-qaws al-nuzul) adalah busur penciptaan melalui berbagai tingkatan wujud tersebutg di atas. Sementara busur naik adalah tasawuf : yakni perjalanan kembali kepada Allah melalui penanaman akhlak Allah di dalam diri kita.
Inilah, menurut sebagian ‘arif, yang dirujuk al-Qur’an dalam ayat (yang biasa dikaitkan dengan peristiwa mi’raj) berikut ini :
Thumma danā fatadallā fakāna qāba qawsayni aw adnā”
“Dia (Allah) makin dekat kepadanya (Muhammad saw.), dan makin dekat lagi. Dan dia pun mendekat hingga sejarak dua busur (qaba qawsayn), atau lebih dekat lagi.” (QS.
[1/31, 05:44] Ahmad Yanuana Samantho:

BUSUR TURUN DAN BUSUR NAIK:

[1/31, 05:45] Ahmad Yanuana Samantho: TASAWUF Tasawuf berarti “(proses) mengaktualkan potensi akhlak Allah yang ada di dalam diri kita, dan menjadikannya akhlak kita” (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Sebuah definisi yang ringkas dan simple, tapi dibaliknya terkandung pemikiran yang sangat mendalam. Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia – bahkan alam semesta – sebagai tajally (pancaran, manifestasi) Allah Swt. Yakni, manusia sebagai pembawa ruh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian. Dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya — bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia — tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.
[1/31, 05:45] Ahmad Yanuana Samantho: Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan menanamkan asma’/sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya. Ibn ‘Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq (bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia – betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sebagai kesiapan (jibillah, disposisi). “Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada al-din (cara hidup Islam). Fitrah Allah yang atasnya dia diciptakan (fithrah Allah fathara al-nas ‘alay-ha). Tak ada perubahan dalam ciptaan (khalq) Allah. (QS. : ). (Proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak Allah, itulah tasawuf,
[1/31, 05:46] Ahmad Yanuana Samantho: Jika dikelompokkan, Allah memiliki asma’ yang termasuk dalam kelompok asma’ jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan, tremendum) dan kelompok asma’ jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan, fascinans). Manusia harus mampu menanamkan semuanya itu di dalam dirinya, dalam kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara parsial dan tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yang berkembang bersifat madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) yang dianjurkan. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh nama “Allah” sebagai nama-penghimpun (al-ism al-jami’) semua nama Allah yang tak terbatas itu.Dan, sebaliknya. Nah, melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dengan akhlak Allah sama dengan menanamkan akhlak Allah itu dalam kombinasi yang utuh dan pas sehingga unsur-unsur akhlak itu menghasilkan warna cahaya putih yang seimbang.
[1/31, 05:46] Ahmad Yanuana Samantho: Kombinasi seimbang dari berbagai asma’ Allah itu tidak bersifat netral – yakni gabungan dari yang jamaliyat dan jalaliyat, atau seluruh spektrum-warna sifat-Nya dengan sama kuat – melainkan sebagai didominasi dengan yang jamaliyat. Terkait dengan ini Sang Syaikh merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an yang bermakna seperti ini, termasuk : “Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu.” Juga hadis qudsi yang berbunyi “ Kasih-sayang-Ku mendominasi murka-Ku”. Dengan demikian, menanamkan akhlak Allah identik dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun alam semesta selebihnya.
[1/31, 05:47] Ahmad Yanuana Samantho: Dengan kata lain, bertasawuf adalah berjalan kembali kepada Allah. Dari Allah, kembali kepada Allah. Innaa lil-Lah wa innaa ilay-Hi raji’un. Kita adalah milik Allah, dan kepadanya kita kembali. Dari awal (mabda’) yang bersifat ruhani-keilahian, kembali kepada akhir/tempat kembali (ma’ad) yang bersifat ruhani-keilahian pula. Tasawuf adalah mendaki busur naik (qaws al-su’ud) kepada Allah, setelah sebelumnya kita memancar dari Allah melalui busur turun (qaws al-nuzul). Pendakian dilakukan dengan menanamkan akhlak Allah secara seimbang, yang secara keseluruhannya tertaklukkan atas sifat kasih-sayang.

 

Tinggalkan komentar

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.