Mencari Jejak Ki Sunda
by: Tauhid Nur Ashar
Sebuah mangkok nan indah dan subur kini terbentang dengan dipenuhi permukiman dan berbagai gedung yang tinggi menjulang. Kita menamainya Megapolis Bandung. Bahkan sejak RAA Wiranatakusumah memindahkan ibukota ke daerah Masjid Agung Dalem Kaum saat ini dari Dayeuh Kolot, kota yang satu ini terus berkembang dan terus menjadi daya tarik kuat bagi para pendatang. Di awal abad ke-20 bangsa Belanda bahkan berniat memindahkan pusat administrasi pemerintahan (Bienensland Bestuur/BB) ke lembah Bandung, yang ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung Jambu atau yg kini dikenal sebagai Gedung Sate.
“Sate” di pucuk atap yang mengadopsi bentuk atap dari seni arsitektur Sunda buhun, Julang Ngapak, dan “berisi” 5 jambu yg ditusuk, sebenarnya adalah lambang dari harga pembangunan gedung itu yang nilainya ditaksir sekitar 5 juta gulden. Saat itu pembangunan gedung sate sungguh luar biasa karena sudah menggunakan tenaga ahli bangunan impor yang didatangkan dari tlatah Tiongkok. Mereka sesungguhnya adalah para ahli pembangun bangunan kubur di negara asalnya. Para tukang bangunan migran tersebut diberi permukiman di sekitar lembah Cikapundung yang kini menjadi bagian dari wilayah Banceuy dan sekitarnya. Maka tak heran budaya Cina Peranakan seperti warung kopi Purnama dll dapat dengan mudah kita temukan di sana. Pada 1920 sejarah mencatat bahwa salah satu perguruan tinggi teknik tertua di Hindia Belanda didirikan di Bandung, antara lain berkat inisiatif dari Prof Wolf Schoemaker yang juga merupakan guru Bapak Bangsa kita, Ir. Soekarno.
TH yang kelak dikenal sebagai ITB berdiri di daerah aliran sungai Cikapundung yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Sari. Tetapi kira2 apa yang ada di lembah cantik ini sekitar 50 ribu tahun lalu ? Atau bahkan beberapa ribu tahun sebelumnya di era Holosen awal ? Jika kita mengeksplorasi daerah di seputaran Bandung Utara seperti Dago Pakar kita akan menemukan beberapa artefak Obsidian, jenis mineral batuan yang kerap dijadikan perhiasan dan juga alat tukar oleh warga Bandung di tepian Bandung Purba. Ya…Bandung punya sejarah setua itu. Bahkan menurut Prof RP Koesoemadinata, guru besar Geologi ITB, artefak2 tersebut adalah bukti nyata adanya peradaban kuno di tepian lembah Bandung yang telah dimulai dari masa di mana gunung Sunda Purba meletus.
Homo Sapiens yang tergolong masih berusia muda saat itu telah tinggal dan membangun peradaban di Lembah Bandung.
Artefak ini hanya diketemukan pada puncak-puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 725 m di atas muka laut, dan fakta ini dianggap sebagai bukti untuk adanya suatu danau purba (Danau Bandung), yang juga disebut-sebut dalam dongeng rakyat Sunda “Sasakala Sangkuriang”.
Kisah legenda tentang ksatria digdaya Sunda yang jatuh cinta dan ingin menikahi Ibunya sendiri, Dayang Sumbi, mengandung banyak pesan tersembunyi yang memiliki makna geologis dari serangkaian sejarah kesaksian atas terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, Burangrang, dan juga Bukit Tunggul. Sekaligus menyimpan misteri tentang evolusi dan akulturasi, dimana digambarkan bahwa Sangkuriang sebenarnya adalah keturunan manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing hitam yang dikenal sebagai si Tumang. Manusia setengah dewa ini kerap muncul di hampir setiap legenda manusia pertama di berbagai belahan dunia. Bangsa setengah dewa ini dikenal sebagai bangsa Naga di berbagai kebudayaan, termasuk di meso Amerika yang saat itu dihuni oleh suku Inka dan Maya. Mengingat di penghujung era Pleistosen fase glasial dan deglasial datang silih berganti dan muka air laut berdinamika sedemikian rupa, maka perjalanan keliling dunia saat itu mungkin dapat dilakukan dengan metode yang jauh lebih sederhana dari apa yang selama ini kita duga. Perjalanan gelombang migrasi sapien dari Asia ke benua Amerika melalui Siberia dan selat Bering sampai menjadi cikal bakal orang Indian Amerika dan suku Inuit di Kutub Utara, misalnya. Sedangkan Ki Sunda yang mengokupasi tepian danau Bandung Purba di sekitaran 50 ribu tahun lalu, mungkin saja secara genealogis merupakan bagian dari gelombang migrasi awal peradaban manusia yang telah mengenal teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi rupa muka bumi.
Keberadaan berbagai jenis artefak di perbukitan Bandung Utara dan Selatan menurut kajian Prof Koesoemadinata adalah petunjuk penting tentang penyebaran manusia seiring dengan proses adaptasinya dengan berbagai fenomena geologi yang ada. Dalam tulisannya, Prof Koesoemadinata menyatakan bahwa artefak yang diketemukan sebelah timur laut Bandung terdiri dari serpihan batu obsidian, sering dalam bentuk ujung anak panah, pisau, peraut dan jarum penindis; alat batu terpoles seperti penumbuk, kapak batu bermuka dua terbuat dari batu kalsedon, gelang-tangan dari batu serta serpihannya, juga serpihan tembikar dan juga bentuk-bentuk pengecoran perunggu atau besi. Lebih lanjut situs-situs ini mengungkapkan keberadaan keramik import Hindu/Cina berasal dari abad ke 18. Situs-situs ini diyakini telah dihuni terus-menerus sejak zaman neolitikum, melalui zaman perunggu Dong son sampai kurang dari 300 tahun yang lalu. Leluhur ki Sunda di daerah Bandung telah bekerja dalam industri logam dan perdagangan peralatan (batu). Penelitian geologi oleh Van Bemmelen (1934) mengonfirmasi keberadaan danau purba ini yang terbentuk karena pembendungan sungai Citarum Purba oleh pengaliran debu gunung-api masal dari letusan dasyat G. Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya G. Sunda Purba di sebelah barat laut Bandung dan pembentukan kaldera dimana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Jenis erupsi Plinian ini telah menutupi pemukiman di sebelah utara-barat laut Bandung, mengingat tidak ada artefak yang diketemukan disini. Pemikirannya adalah bahwa leluhur Ki Sunda seharusnya telah menyaksikan kejadian besar ini, hingga lahirlah legenda Sasakala Sangkuriang sebagai ekspresi dari capaian imajinasi kognitif yang berangkat sebagai bagian menegasi fakta ke dalam kapasitas pemahaman yang dikembangkan sesuai dengan tingkat pengetahuan di zaman yang bersangkutan. Karena belum adanya metoda modern pentarikhan radiometrik maka kejadian ini hanya diperkirakan telah terjadi sekitar 6000 tahun SM dengan mendasarkan pada artefak zaman Neolitikum. Penelitian geologi baru-baru ini menunjukkan bahwa endapan danau tertua yang telah ditentukan usianya berdasarkan radiometri adalah berumur 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya masing-masing 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian, walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir pada sekitar 16 ribu tahun yang lalu. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinannya bahwa para pemukim awal ini telah menyaksikan pembendungan danau maupun lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat munculnya manusia modern (Homo sapiens) di Afrika Selatan diperkirakan 120 sampai 100 ribu tahun yang lalu. Lebih masuk akal kalau Ki Sunda Purba ini telah menyaksikan letusan Plinian kedua yang telah melanda pemukiman sebelah barat sungai Cikapundung, (sebelah utara dan barat laut dari Bandung) sewaktu perioda letusan 55-50 ribu tahun yang lalu, mengingat bahwa Homo sapiens tertua yang ditemukan di Australia selatan adalah 62 ribu tahun yang lalu, dan di pulau Jawa sendiri manusia Wajak telah ditentukan berumur sekitar 50 ribu tahun yang lalu. Spekulasi yang lain adalah bahwa Homo erectus-lah yang telah menyaksikan pembendungan Danau Bandung dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat kehadiran makhluk ini terkenal di Jawa setua 1,7 juta tahun, dan telah mengalami budaya obsidian (obsidian culture). Maka ada kemungkinan tepian danau Bandung juga merupakan daerah titik temu antar spesies atau varietas homo yang saling berinteraksi dan juga berkompetisi hingga keunggulan fungsi kognitif Sapiens mampu mengeliminir keberadaan homo lainnya. Kasus seperti ini juga terjadi di berbagai wilayah Eropa, termasuk di Bavaria, di mana Neanderthal yang bertubuh besar pada akhirnya punah. Legenda yang kerap menyebut sosok raksasa, Buta, atau Denawa tersebar di seluruh dunia, termasuk dalam kisah klasik Ramayana. Sedangkan dalam budaya tutur lisan Sunda, Ki Sunda sebagai leluhur suku Sunda hari ini dikaitkan dengan kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh As, yang tentu memiliki pola hubungan dengan fase glasial-deglasial di era Pleistosen. Jejak Ki Sunda mulai terlihat, dalam Kitab Waruga Jagat, Mas Ngabehi Purana-Sumedang, 1117 H. Kitab ini mengutip silsilah seorang raja Sunda yang bergelar: Ratu Galuh. Raja ini keturunan generasi ke-7 dari Syam bin Nuh a.s.:
“..Inilah cerita putra Nabi (Nuh As) dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam.
Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … Gantungan.
Manaputih … Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar.
Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana.
Parmana berputra lima orang: Yang seorang Ratu Galuh..”
Buyut Ratu Galuh–Raja Sunda, adalah Nuh Alaihissalam, seorang nabi Allah SWT. Apakah Ki Sunda adalah bagian dari gelombang migrasi umat manusia area pusar bumi (Afrika, Sub Sahara, Asia Kecil, tepi selatan Eropa) yang tiba di Sundaland yang kelak dikenal sebagai Nusantara ? Penelitian genealogis berbasis teknik genetika modern mungkin akan dapat membuktikannya, sebagaimana hari ini sedikit mulai terkuak setelah penelitian kromosom Y (y-STR/short tandem repeated dan y-SNP/single nucleotide polymorphisme) dan mtDNA dilakukan dibeberapa kepulauan dengan sejarah peradaban manusia Nusantara tertua. Esensinya tentu bukan sekedar kebanggaan kultural soal asal usul, tetapi semestinya lebih pada proses “mengenal” siapa kita, dan mau kemanakah gerangan kita ?