Tinggalkan komentar

Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik Ibnu Atha‟illah as-Sakandari

Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik Ibnu Atha‟illah as-Sakandari

Oleh: Zaenal Muttaqin1 muttaqinaff@gmail.com

Abstrak :

Cinta terhadap Allah mengharuskan seseorang menempuh medan perjalanan spiritual yang panjang dan terjal. Ditulis dalam gaya bahasa aporisma yang indah tanpa menggusur kedalaman pesan yang ingin disampaikan, Al-Hikam yang ditulis Ibnu Atha‟illah as-Sakandari mendeskripsikan jalan-jalan spiritual yang harus ditempuh para penempuh jalan tersebut.

Diantaranya, keharusan menjangkau setiap stasiun spiritual (maqam) seperti taubat, zuhd, shabr, tawakkal), dan ridha. Selanjutnya, para penempuh juga akan mencapai sejumlah kondisi (ahwal) seperti khauf, raja‟, tawadhu, ikhlas, dan syukr yang harus diterima sebagai karunia Yang Dituju (Allah), bukan hasil usahanya.

Kata Kunci: Aporisma, Syarh, Maqam, Ahwal, Makrifat

Pengantar:

Al-Hikam dan Tasawuf Nusantara

Pengajaran tasawuf melalui pembacaan terhadap berbagai literatur (baca, kitab) yang ditulis para tokoh tasawuf sangat populer di kalangan masyarakat Muslim Nusantara. Popularitas ini merujuk pada kegiatan pengajian yang tidak hanya berlangsung di kalangan santri pondok pesantren, melainkan juga masyarakat Islam pada umumnya. Bila di pesantren para santri mengkaji tasawuf sebagai salah satu kurikulum pesantren yang wajib dipelajari, pengajian tasawuf di kalangan masyarakat biasanya ditempuh melalui majelis-majelis taklim pada waktu-waktu tertentu dengan dipimpin seorang kyai atau ulama yang memiliki pemahaman cukup tentang ajaran tasawuf melalui pembacaan literatur tasawuf atau bahkan terlibat dalam organisasi persaudaraan spiritual Islam, tarekat.

Salah satu kitab tasawuf yang sangat populer dipelajari oleh masyarakat Muslim Indonesia, santri pesantren dan masyarakat umum, adalah Kitab Al-Hikam karya Ibn Atha‟illah al-Sakandari. Mengutip keterangan peneliti Islam Indonesia Martin Van Bruinessen, kitab ini pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Nusantara oleh ‘Abd Al-Shamad bin ‘Abd Allah Al Jawi Al-Palimbani (l. 1116 H/1704 M – w. 1203 H/1789 M). Sejak itu, posisi Al-Hikam semakin populer sebagai „bacaan wajib‟ kalangan santri pondok pesantren maupun masyarakat di majelis-majelis pengajian.2

Hampir seluruh pesantren di Jawa dan Madura, terutama yang berbasis organisasi sosial keislaman Nahdlatul Ulama, menjadikan kitab al-Hikam sebagai salah satu bacaan wajib para santrinya masing-masing. Biasanya pada bulan ramadhan, para kyai membacakan kitab ini dengan metode bandungan atau bandongan. Saking populer dan wajibnya pembacaan kitab ini, hampir seluruh santri pondok pesantren mengenal kitab yang ditulis dalam bentuk teks aporisma ini.3

Pada beberapa pondok pesantren, pembacaan Kitab AlHikam hanya diperuntukkan pada santri tingkat atas yang sudah menyelesaikan materi nahwu-sharaf, mengkaji banyak kitab fiqih, dan mempelajari kitab-kitab akhlak. KH. Shihab Ahmad Syakir dari Pesantren Lasem Rembang misalnya, memberikan pengajian Al-Hikam pada santri demikian. Mbah Khozin di pesantren Rinungagung, Kediri, Jawa Timur, membuka pengajian al-Hikam untuk para santri yang sudah mencapai maqom kiai, nyai, dan guru-guru. 4

Tidak hanya masyarakat pesantren, pembacaan atas AlHikam juga dilakukan oleh masyarakat muslim umumnya (bukan pesantren). Pembacaannya dilakukan pada forum-forum pengajian Majelis Taklim, Masjid, atau Musholla. Belakangan, pembacaan kitab ini juga makin populer di kalangan eksekutif muslim dan sosialita di kota-kota besar seperti Jakarta. Kitab ini menjadi tuntunan praktis mereka sebagai seorang muslim di tengah-tengah kesibukan dan gelombang materalisme yang kuat.5

KH Lukman Hakim misalnya, secara rutin memberikan pengajian Al-Hikam di beberapa Kota Besar seperti Bandung, Jabodetabek, Surabaya, dan Malang. Di Jakarta, KH Lukman memberikan pengajian di Mesjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang diikuti banyak eksekutif muda Muslim di sekitar pusat Jakarta.6

Tingginya popularitas dan besarnya pengaruh Al-Hikam dan Ibnu Atha‟illah dalam pengkajian dan pengamalan tasawuf Nusantara sendiri sepertinya bukan perkara baru. Martin van Bruinessen mencatat, popularitas Al-Hikam dan penulisnya menempati urutan kedua setelah Ihya Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali. Indikasinya, keduanya merupakan kitab rujukan pengajaran tasawuf yang diajarkan di banyak pesantren di Indonesia.7

Catatan Bruinessen tidak berlebihan. Penelitian sarjana belakangan mencatat bahwa karya ini mendorong seorang ulama Nusantara yang cukup berpengaruh untuk menuliskan komentar dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa, yakni Kiai Haji Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani (1820-1903).8

Penulis yang lebih dikenal sebagai Kiai Saleh Darat ini menulis Hażā al-Kitāb Matn al-Hikam sebagai kitab tasawuf terjemahan sekaligus ringkasan atas kitab al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Atha’illah al-Sakandari ke dalam bahasa Jawa. Diperkirakan penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1289 H/1872 M. Sasarannya adalah masyarakat Muslim Jawa yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menguasai bahasa Arab.9

Terbitan lengkap karya terjemahan Kiai Saleh Darat Matn al-Ḥikam ini adalah Hadhā al-Kitāb Matn al-Hikam li Sayyidī al-Shaikh Ahmad ibn „Aṭā‟illāh al-Sakandarī, Tarjamah bi Lisān al-Jāwī al-Mrīkī.

Dalam cover kitab ini, tertulis nama penerjemahnya, yaitu: al-‘Alim al-‘Alamah al-Fadlil al-Syaikh al-Wara’ al-Kamil Muhammad Shalih ibn ‘Umar alSamarani.Teknis penulisannya, Kiai Saleh hanya menerjemahkan 134 dari 264 aporisma Al-Hikam dengan ditulis menggunakan tulisan Arab Pegon dan Bahasa Jawa. Ke-134 aporisma ini diulas dengan memilih pembahasan-pembahasan tertentu. Kini, kitab setebal 152 halaman ini dicetak oleh Penerbit Toha Putra dan di-tashih oleh Maktabah al-Munir, Semarang.10

Tidak berhenti sampai di situ, popularitas kitab ini juga mengundang beberapa penerbit buku dan kitab di Indonesia kini masih menerbitkan kitab Al-Hikam, baik dalam format kitab kuning maupun karya terjemahan. Format kitab kuning ditemukan penulis dalam bentuk kitab syarah, Syarh al-Hikam oleh Muhammad bin Ibrahim atau lebih dikenal sebagai Ibn ‘Ibad. Sedang versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, cukup banyak. Dua di antaranya yaitu Kitab Al-Hikmah: PetuahPetuah Agung Sang Guru karya terjemahan Dr. Ismail Ba’adillah dan disunting Mansyur Alkatiri lalu diterbitkan Khatulistiwa Press Jakarta dan Menyelam ke Samudera Ma’rifat dan Hakikat karya terjemahan Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag serta diterbitkan Penerbit Amelia Surabaya.11

Searah perkembangan teknologi gadget, aphorisma Ibnu Atho’ilah semakin populer dengan bermunculannya sejumlah aplikasi Al-Hikam dalam telepon pintar (smartphone) android, baik berbahasa Arab, Inggris, maupun bahasa Indonesia.12

Terlepas dari popularitasnya sendiri, dalam tulisan sederhana ini penulis ingin meneliti tentang bentuk, sejarah, posisi, dan gagasan pokok yang terkandung di dalam kitab AlHikam. Agar mendapat gambaran lebih kompleks, penulis juga akan terlebih dahulu mengetengahkan sejarah biografi sosial intelektual-keagamaan penulisnya, Ibn Atha’illah al-Sakandari.

Biografi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari bernama lengkap Taj al-Din Abu’l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Atha’Allah al-Iskandari al-Judzami al-Maliki al-Shadhili (650 H – 709 H/1252 M – 1309 M.13

Merujuk kepada namanya al-Sakandari atau al-Iskandari, terlihat bahwa ia lahir di kota Iskandariyah (Alexandria), Mesir. Adapun penisbatan al Shadhili merujuk kepada keanggotaannya dalam organisasi sufi (tarekat) Syadziliyah. Bahkan dalam tarekat ini, ia merupakan salah satu figur penting (master, syaikh) terbesar ketiga setelah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi dan Abu Al-Hasan Al-Syadzili.14

Nama terakhir merupakan pendiri tarikat Al-Syadzili, sedang nama kedua terakhir adalah murid alSyadzili sekaligus guru bagi Ibn Atha‟illah sendiri.

Adapun penisbatan al-Judzami menunjukkan bahwa Ibn Atha’illah merupakan keturunan kelompok Arab Judzam, satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton yang lebih dikenal sebagai Arab al-Aa’ribah. Sementara penisbatan al-Maliki merujuk kepada afiliasi praktik fikihnya pada Mazhab Maliki. Masa kecil dan perkembangan hidup Ibnu Atha’illah dihabiskan dalam keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan sekaligus ketat mengamalkan ajaran Islam. Kakek dari jalur ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Ia sendiri banyak menghabiskan masa kecil dan remajanya untuk belajar pada beberapa ulama di kota kelahirannya.

Salah satu gurunya adalah al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Pada masanya, Kota Iskandariah merupakan salah satu kota ilmu di Semenanjung Mesir, sehingga ia mempelajari berbagai bidang keilmuan mulai dari fiqih, tafsir, hadits, dan ushul fiqih. Beberapa guru Ibn Atha‟illah diantaranya, Syeikh Nasir al-Din Ibn Munir di bidang fiqih, Syeikh Shihab al-Din Abu Ma‟ali atau Syeikh al-Abraquhi di bidang ilmu hadis, Syeikh alMuhyi al-Mazuni di bidang nahwu dan tata bahasa Arab. Ia juga belajar kepada al-Syeikh al-Imam al-Syaraf al-Din al-Dimyati (613-705 H).

Selain itu, ia juga belajar ushul fiqih, tauhid, falsafah, dan mantiq (logika) kepada Syeikh Muhammad Ibn Mahmud atau Shamsuddin al-Isbahaniy. Dalam bidang tasawuf, ia banyak belajar –sekaligus penerus dalam kemurshidan tarekat Syadziliyah-kepada Shabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari al-Murshi (w. 686 H), murid langsung Abu al-Hasan as-Syadzhily (pendiri tarekat Syadziliyah).15

Dengan demikian, tidak heran bila Ibnu Atha’illah tumbuh sebagai ulama dengan pengaruh dan kedalaman keilmuan yang luar biasa. Dalam berbagai catatan penulis biografinya, semula Ibnu Atha’illah menjadi tumpuan harapan di dalam keluarganya untuk menjadi seorang faqih. Ia sangat diharapkan menjadi ahli di bidang fiqih oleh kakeknya. Namun harapan ini berubah menjadi kekecewaan ketika Ibn Atha‟illah menunjukkan minat terhadap tasawuf. Disebutkan bahwa kakeknya menunjukkan ketidaksukaannya atas minat yang ditunjukan Ibn Atha‟illah tersebut. Namun kondisi ini tidak menyurutkan Ibn Atha’illah untuk memperdalam dimensi ruhani Islam sekaligus mengamalkannya melalui Tarekat Syadzhiliyah. Bahkan ia menjadi salah satu tokoh penting kelompok tarekat ini. 16 Menganalisa seluruh perjalanan hidupnya, maka masa hidup Ibn Atho’illah bisa diklasifikasikan ke dalam tiga periode penting yang merefleksikan perjalanan hidupnya sebagai seorang pelajar sekaligus ketertarikannya kepada tasawuf: a. Periode Pertama Periode ini dimulai periode di mana ia aktif berguru ke berbagai ulama di Iskandariah yang ahli di bidang tafsir, fiqih, hadits, nahwu, dan ushul.

Dalam periode ini, ia masih sangat dipengaruhi pemikirian kakeknya yang berorientasi fiqih dan sangat tidak menyukai tasawuf dan para ulama sufi. Dalam hal ini, Ibnu Atho’illah pernah mengatakan: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,17 yaitu sebelum aku menjadi murid beliau. Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.” b. Periode Kedua, Periode ini merupakan periode paling menentukan dalam pengembangan keilmuan dan praktik keislaman Ibn Atha’illah. Sebab pada periode ini, ia menemukan puncak pencariannya dalam sufisme yang ditandai pertemuannya dengan Abu al-Abbas al-Mursitahun 674 H. Ia yang semula sangat meragukan dan menentang tasawuf, namun setelah bertemu al-Mursi ia justru berbalik dan mengambil thariqah langsung darinya. c. Periode Ketiga Periode ini ditandai dengan kepindahannya dari kota kelahirannya Iskandariah ke Kairo hingga wafatnya. Periode ini adalah periode kematangan dan kesempurnaannya dalam pengetahuan sekaligus pengamalan ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Periode ini juga ditandai dengan penggantian peran pengembangan Tarekat Syadzhiliah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahun 686 H, iamenjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini diembannya sambil mengajar di al-Azhar dan Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Periode ini juga ia membedakan antara Uzlah dan Khalwah. Uzlah difahami sebagai pemutusan hubungan maknawi, dimana sang Salik (penempuh uzlah) mengontrol diri dari tipuan dunia. Sedang Kholwah difahami sebagai jalan menuju rahasia Tuhan melalui perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain-Nya. Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari merupakan figur ulama prolifik dengan menuliskan sejumlah karya tulis dengan pengaruh cukup mendalam bagi keilmuan dan praktik keislaman hingga kini.

Menurut catatan penulis biografinya, tak kurang dari 22 karya tulis yang ia hasilkan sepanjang karir keulamaannya. Diantaranya : 1. al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir; 2. Latha‟if al-Minan fi Manaqib al-Syaikh Abi al-Abbas al-Mursi wa Syaikhihi al-Syadzili Abi al-Hasan. Kitab ini berisi tentang doktrin dan biografi kewalian dua gurunya sekaligus syaikh tarekat Syadziliah awal, yaitu Abu alHasan al-Syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi; 3. Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus; 4. Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah fi Dzikri Allah alKarim al-Fattah. Karya ini memuat pengertian tentang makna dzikir, ragam, dan manfaatnya. 5. Al-Qawl al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Konon, karya ini ditulisnya untuk menghadapi serangan anti tasawuf yang digencarkan oleh Ibn Taymiyah. 6. Al-Hikam al-Atht‟iyyah. Ini merupakan magnum opus Ibn Atha’illah sekaligus merepresentasikan kedalaman pemikiran dan praktik tasawufnya melalui ratusan aporisma yang ditulisnya dengan indah. Kitab Al-Hikam al-Atht’iyyah ditulis dalam gaya bahasa aporisma (kata-kata) mutiara yang indah dengan makna yang sangat dalam. Total jumlah  aporismanya mencapai 264 aporisma yang memuat tema-tema seperti pemahaman tauhid, akhlak, dan ma’rifatullah. Mendalamnya aporisma dalam Al-Hikam sepertinya menjadi alasan banyaknya para ulama sesudahnya yang memberikan komentar penjelasan (syarh).

Mengutip Brockelman, tak kurang dari 17 syarah atas Kitab alHikam dituliskan para ulama. Di antaranya, Al-Hikam al- ‘Atha’iyah karya Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq (w. 899 H./1394 M.), Syarh al-Hikam tulisan Ibn ‘Ubbad al-Nafari al-Randi (w. 796 H./ 1394 M.) yang cukup populer diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia, dan Ib’ad al-Ghumam ‘an Iyqadh al-Himam fi Syarh alHikam karya Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani sebagai syarah terhadap syarah Hikam, Iyqadh al-Hikam. 18

Kedalaman kandungannya juga sepertinya yang mendorong Victor Danner menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Wisdom (Classics of Western Spirituality) dan diterbitkan oleh Paulist Press tahun 1978.19

Al-Hikam: Untaian Mutiara Pemikiran Sufistik

Seperti disebutkan sebelumnya, Al-Hikam ditulis Ibnu Athoilah dalam bentuk aporisma dengan nada-nada yang indah dan makna yang mendalam.Berbeda dengan karya-karyanya yang lainnya seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus, karya ini ditulis penulisnya secara ‘hemat’ karena tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman penghayatan spiritualitas penulisnya. Namun penyajian demikian menjadi keunggulan tersendiri bagi Al-Hikam, karena di satu sisi, kekayaan (kedalaman) makna yang dikandungnya tetap terjaga hingga ratusan tahun kemudian dan baru bisa digali dengan sejumlah karya komentar (syarh) yang mencoba mengelaborasikan kekayaan maknanya.

Lebih dari itu, penyajian demikian memungkinkan kedalaman maknanya tidak menjadi kering dan kaku dengan hadirnya rujukan teks suci, baik ayat al-Qur’an maupun hadits.

Terlepas dari keunggulannya, baik kedalaman maupun keunikan penyajiannya, kelemahan karya Al-Hikam adalah teknis penyajiannya yang tidak sesistematis karya-karya sufistik lain seperti Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.Dalam hal ini, pembacaan atas berbagai komentar (syarh) Al-Hikam dan maupun literatur yang memuat definisi, karakter, tangga dan kondisi perjalanan spiritual tasawuf sangat membantu menangkap kedalaman Al-Hikam seperti yang ingin disampaikan penulisnya. Selain menjelaskan, syarah dan literatur-literatur ini berfungsi mensistematisasi rangkaian aporisma Al-Hikam dalam imaji setiap pembaca kitab ini.

Berdasar itu, maka peninjau akan memanfaatkan beberapa literatur tasawuf sebagai kacamata dalam membaca dan memahami maksud yang akan disampaikan karya agung ini. Dalam tasawuf, perjalanan seorang Salik menuju makrifat kepada Allah dan mencapai derajat ihsan ditempuh melalui berbagai stasiun spiritual (maqam) dan ahwal. Syaikh ‘Abdul Qadir Isa dan Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi telah mensistematisasikan maqam yang ditempuh seorang salik secara berurutan maupun ahwal saat mereka menjalani lelaku spritual. Beberapa maqam spiritual misalnya taubat, zuhud, shabar, tawakkal, dan ridha dan ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukr.20

Secara terminologis, maqamat merupakan jama’ dari kata maqam yang berarti stasiun (tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Menurut Imam Al-Ghozali, maqam merupakan beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya.

Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqam-nya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi. 21

Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya. Hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.22

Di dalam kitabnya, meski tidak disampaikan secara sistematis, Ibnu Atha’illah mengungkapkan sejumlah maqam spiritual yang harus ditempuh oleh setiap penempuh jalan spiritual. Maqam pertama, taubat misalnya, merupakan fase pertama yang harus dilalui oleh seorang salik dengan membersihkan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan sekaligus komitmen untuk tidak mengulang dosa-dosa tersebut. Ini bisa dilihat dari aporismanya sebagai berikut: “Min ‘alamati mawt al-qalbi ‘adamul huzni ‘ala ma faataka minal muwaafaqaati wa tarkunnadami ‘ala maa fa’altahu min wujuudizzallaat…” (Terj. “Di antara tanda-tanda akan kematian hati ialah tidak adanya rasa sedih atas hilangnya kesempatan untuk taat kepada Allah dan tidak adanya penyesalan atas perbuatan (lalai dan maksiat) yang telah anda lakukan…”). 23

Aporisma ini mengandung celaan atas ketidakmauan seorang manusia untuk bertaubat atas dosa-dosanya yang dilukiskan sebagai bentuk kematian hati (mawt al-qalbi) karena ketiadaan penyesalan atas hilangnya kesempatan bertemu Tuhan dan kelalaian untuk selalu berbuat salah. Namun menyangkut taubat atas dosa besar, Ibnu Atho’illah kembali menyampaikan aporisma bernada penuh pengharapan dan perlunya bersangkabaik terhadap Allah Yang Maha Pengampun pada aporisma selanjutnya: La ya’dhumu adzdzanbu ‘indaka ‘adhomatantashudduka ‘an husnidhonni billahi ta’aala fa inna man ‘arofa robbahu istaghfara fii janbi karamihi dzanbuhu. Laa shoghirata idzaa qaa balaka ‘adluhu wa laa kabiirata idzaa waajahaka fadhluhu..”(Terj. “Jangan dirimu berputus asa akan besarnya dosa-dosa yang telah kamu lakukan sehingga menjadi penghalang bagimu bersangka baik kepada Allah. Sesungguhnya bila kamu mengenal Tuhanmu, tentu Ia akan memandang kecil dosa-dosa (mu) bila dibandingkan dengan sifat-sifat-Nya, Yang Maha Pemurah dan Maha Pengampun). Menurutnya, Laa shoghirata idzaa qaa balaka ‘adluhu wa laa kabiirata idzaa waajahaka fadhluhu Tidak ada dosa kecil jika keadilan-Nya menghadapmu, dan tidak ada dosa besar kemurahan-Nya menemui-Mu.”) 24

Sebagai perbandingan, Al-Qusyairi mendefinisikan taubat sebagai kekembalian dari (sifat atau tindakan) yang dibenci syariat kepada yang disukai syariat. Pengertian ini didasarkan pada pengertian etimologis taubat dari akar kata taaba „kembali‟.25

Definisi yang sama disampaikan Isa, bahwa taubat merupakan kekembalian dari segala sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat kepada yang terpuji menurut pandangan tersebut. Taubat dari perbuatan dosa menjadi bagi setiap mukmin, terutama para penempuh jalan spiritual. Tingkatan taubat seorang sufi berbeda dengan kalangan awam, di mana taubat kalangan terakhir semata bertobat dari maksiat sedangkan tobat seorang salik adalah mencakup juga taubat dari segala sesuatu yang menyibukkan hatinya dari Allah.26

Ibnu Atho’illah juga berbicara tentang maqam spiritual lainnya, zuhd.

Pada beberapa ahli tasawuf, secara umum zuhd didefinisikan sebagai mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan keindahannnya, pada saat yang bersamaan hati diisi dengan cinta kepada Allah dan makrifat kepada-Nya. Ibnu Jalla misalnya mendefinisikan zuhd sebagai memandang dunia dengan memicingkan mata sehingga menjadi tampak lebih kecil (tak berharga) atau berpalingnya jiwa dari dunia tanpa beban.27

Pendapat senada disampaikan Al-Qusyairi dengan mengutip pendapat Ahmad bin Hanbal yang membagi zuhd ke dalam tingkatan, yakni zuhd kelompok awam yang meninggalkan hal yang haram, zuhd khawash yaitu sikap dan perilaku meninggalkan yang halal, dan zuhd ma’rifat ini adalah tingkatan zuhd dengan meninggalkan segala hal yang menyibukkan diri sehingga jauh dari Allah.28

Terkait zuhd, Ibnu Atho’illah menyodorkan aporisma seperti berikut: Innamaa ja’alahaa mahallan lil-aghyaar wa ma’dinan lil-akdaari tazhiidan laka fiihaa..” (Terj. “Sesungguhnya Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat kerusakan dan sumber kerusakan, hanyalah dimaksudkan agar Anda jemu dan membencinya.”).29 (h. 428) Karena dunia bagi Ibnu Atho‟illah : “Wa innahu laa budda libinaa’i haadzaalwujuudi an tahtadima da’aaimahu wa an tuslaba karaa’imahu..” (Terj. “Sesungguhnya bangunan alam (dunia) ini pasti rusak binasa sendi-sendinya. Dan, semua kesenangan dan barang berharganya pasti akan binasa.”).30 (69/478)

Untuk itu,  maka seorang salik saat menempuh jalan spiritual harus :“Farrigh qalbaka min al-aghyar yamla’uhu bi al-ma’arif wa al-asrar.” (Terj. “Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka Allah akan memenuhinya dengan pengetahuan dan rahasia). Zuhd dengan menghindarkan diri dari ikatan duniawiah, jelas Ibnu Athoillah, karena perkara duniawi menyebabkan manusia menjadi budak (‘abdan) dengan menarik seluruh perhatiannya kepada hal-hal tersebut. Ia mengungkapkannya dalam aporisma berikut, : “Ma ahbabta syai‟an illa kunta lahu „abdan, wa huwa la yuhibbu an takuna li ghairihi ‘abdan” 210 (Terj. “Tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali bahwa bahwa engkau akan menjadi budak sesuatu, sementara Dia (Allah) tidak berkenan sekiranya engkau menjadi budak dari selainNya).

Ibnu Athoillah juga mengingatkan bahwa kecintaan berlebihan dalam bentuk kerakusan (thama’) menjadi penyebab munculnya kehinaan seseorang: “Ma basaqat aghshanu dzull illa ‘ala bidzri thama’in.” (Terj. “Tidak tumbuh dahan-dahan kehinaan kecuali dari benih ketamakan).”31

Maqam ketiga, shabr, dengan indah disebutkan Ibnu Atho‟illah dalam aporismanya “Li yukhaffif alam al-bala’ ‘alaika ‘ilmuka bi annahu Subhanahu wa Ta’ala huwa al-mubli laka. Fa alladzi wajahatkan minhu al-aqdar huwa alladzi ‘awwadaka husna al-ikhtiyar.” (Terj. “Pedihnya ujian bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah-lah sang pemberi ujian. Yang mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia (Allah) yang juga bisa menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu.”).32

Di bagian lain, ia juga mengingatkan, : “Laa tastaghrib wuquu’al-akdaari maa dumta fii haadzihidari fa innaha maa abrozat illaa maa huwa mustahiqqun washfihaa wa waajibu na’tiha.” (Terj. Janganlah kamu merasa heran akan adanya rintangan dan cobaan (yang dapat mengeruhkan jiwa), selama kamu masih hidup di dunia. Karena hal itu sudah menjadi sifat dan karakternya).33

Melalui aporismanya, Ibnu Athoillah sepertinya ingin mendefinisikan kesabaran sebagai sikap teguh atau komitmen yang kuat dalam melaksanakan seluruh perintah Allah dan meninggalkan segenap larangannya, termasuk kukuh dalam menghadapi ujian yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Bahkan di bagian lain, Ibnu Athoillah mengingatkan kesabaran diperlukan karena bisa saja, suatu musibah diberikan sebagai ujian sekaligus kemungkinan pemberian jalan terbaik.

Maqam Keempat, berpasrah semata Allah atas segala ikhtiar yang sudah dilakukan (tawakkal), menyebutkan kepasrahan terhadap-Nya sejak awal urusan merupakan penanda keberhasilan perjalanan. Ia mensiratkan hal ini dalam aporismanya, “Min ‘alamati al-najahi fi al-nihayat al-ruju’ ila Allah fi al-bidayat. Man asyraqta bidaayatuhu asyraqat nihayatuhu.” (Terj. “Di antara tanda keberhasilan pada ujung perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan. Barang siapa yang tersinari di awalnya, maka akan tersinari pula akhirnya).34

Allah SWT merupakan pusat seorang salik berserah diri, tidak ada tumpuan yang lain selain Allah, “La tata‟adda niyyatu himmatika ila ghairihi fa al-karim la tatakhaththahu al-amalu” (Terj. janganlah cita-cita atau harapanmu ditujukan pada selain Allah, sebab harapan seseorang tak akan dapat melampaui Yang Maha Pemurah). Sebab segala sesuatu, katanya, berjalan berdasar prinsip dan perencanaan-Nya, “Ila al-masyi‟ati yastanidu kullu syai‟in, wa la tastanidu hiya ila syai‟in.” (Terj. Segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak bersandar pada apa pun).

Kelima, ridha (kerelaan), keridhaan merupakan penerimaan dengan puas dan rela atas apa yang sudah diberikan Allah SWT, baik menyenangkan maupun tidak. Bagi sang Salik, penerimaan juga dibarengi dengan upaya mengambil hikmah atas pemberian tersebut. Ini mengingatkan, “La tamudanna yadaka ila-l-akhdzi mina-l-khala’iq illa an tara anna-l-mu’thya fiihim maulaka fa idza kunta kadzalika fakhudz aa waafaqokal’ilm.” (Terj. Jangan anda serta merta mengulurkan tangan menerima suatu pemberian dari makhluk, kecuali bila dirimu berkeyakinan bahwa pemberian itu berasal dari Allah SWT. jika kamu berperasaan seperti itu, terimalah pemberian itu sesuai dengan ilmu yang kamu miliki).35

Menyangkut ahwal, kondisi yang ditempati sang salik dalam menempuh perjalanan spiritual, Ibnu Athoillah menyinggung beberapa ahwal tertentu seperti khauf, raja’, tawadhu, ikhlas, dan syukr.

Raja’ dalam tradisi tasawuf merupakan pengharapan akan rahmat dan janji Allah SWT, sedangkan khauf merupakan kondisi takut akan azab dan ancaman yang diberikan Allah SWT. Dalam hal raja’, Ibnu Athaillah mendorong sang Salik untuk senantiasa memperhatikan anugerah, kemuliaan, kemahamurahan, dan kasih sayang Tuhan. Sedangkan kondisi khauf bisa didapatkan sang Salik dengan memperhatikan pelanggaran, kemaksiatan, dan berbagai bentuk perbuatan tidak baik (su’ul adab) kepada Tuhan. Pesan ini disampaikan Ibnu Athoillah dalam aporisma, “Idzaa aradta an yaftaha laka baabarrajaa’i fasyhad maa minhu ilaika, wa idzaa aradta an yaftaha laka baabalkhoufi fasyhad ma minka ilaihi.” (terj. Jika dirimu menginginkan Allah membukakan bagimu pintu pintu raja’, maka saksikan apa yang telah Allah berikan kepadamu. Namun bila dirimu ingin Allah membukakan pintu khauf, perhatikanlah apa yang telah kamu amalkan kepada Allah).36

Menyangkut tawadhu’, Ibnu Athaillah menekankan pentingnya kesederhanaan yang yang didasarkan pada kemurnian niat. Karena itu, dalam kondisi ini Ibnu Athoillah meminta sang Salik mewaspadai bentuk ketawadhu’an yang tidak didasarkan pada kemurnian niat dan semangat pengabdian sebagai hamba Tuhan. Menurutnya, ketawadhu’an sendiri bisa menjadi perusak atas perjalanan spiritual sang Salik bila ia mengklaim dirinya sebagai seorang tawadhu‟'(al-mutawadhi’). Pengakuan demikian merupakan kesombongan (al-mutakabbir). Dalam hal ini, Ibnu Athoilah menyampaikan aporismanya, “Man atsbata linafsihi tawaadu’an fa huwa-lmutakabbiru huqqan, idz laisattawaadhu’u illaa ‘an rif’atin; famataa atsbata linafsika rif’atan fa anta-mutakabbiru huqqon.” (Terj. Barangsiapa yang menyatakan dirinya sebagai orang yang tawadhu’, maka ia benar-benar takabbur. Sebab tidak mungkin ia merasa tawadhu’ melainkan karena sifat ia merasa besar. Dan ketika anda menyatakan diri sebagai orang yang berderajat tinggi, maka Anda benar-benar sebagai orang yang sombong.).37 (53/hal.446) di bagian lain, Ibnu Atho’illah mendefinisikan tawadhu’ sebagai “ketidakpantasan‟ sang salik atas kapasitas dirinya terhadap apa yang didapat/ditempatinya dalam perjalanan spiritual: “Laisa al-mutawadhi’ alladzi idzaa tawaadho’a ra’aa annahu fawqo maa shona’a wa lakinnal mutawaadhi’a idzaa tawaadho’a ra’aa annahu duuna maa shona’a.”38 (Terj. Bukanlah yang dinamakan tawadhu‟ itu orang yang bila tawadhu’, ia merasa bahwa dirinya berada di atas apa yang diperbuat; tetapi orang tawadhu’ itu adalah orang yang bila berbuat sesuatu, ia merasa bahwa dirinya masih berada di bawah apa yang dilakukan).

Menurut Ibnu Atho’illah, kondisi tawadhu’ didapat Sang Salik melalui perenungan akan kebesaran-keagungan Tuhan, “Al-mutawaadhi’u-lhaqiqiyu huwa maa kaana naasyi’an ‘an syuhuudi ‘adhomatihi wa tajalliy shifatihi,” (Terj. Hakikat tawadhu’ muncul karena melihat kebesaran Allah SWT, dan terbukanya sifat-sifat Allah).39 (h.448)

Terkait tawadhu’, Ibnu Athoillah meminta para salik untuk mewaspadai riya’, yakni hasrat untuk mendapat pujian dari pihak lain dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya: “rubbama dakhola ‘alaika-rriyaa’u min haitsu laa yandhuru-lkholqu ilaika.” (Terj. Terkadang pula riya’ itu masuk ke dalam hatimu dari arah, di mana orang lain tidak dapat melihatmu).40(5/h.334).

Dorongan menghilangkan sikap riya’ juga disampaikannya dalam aporisma yang lain: “Ghayyib nadhoro-lkholqi ilaika binadhrillahi ilaika wa ghib „an iqbaalihim „alaika bisyuhudi iqbaalihi „alaika.”41 (Terj. Lenyapkan pandangan manusia atas dirimu, dengan (penutup) penglihatan Allah kepadamu. Alihkan pula perhatian manusia kepadamu dengan persaksian Allah yang dihadapkan kepadamu) (6/h.340) Untuk kondisi ikhlas, Ibnu Athoillah mengungkapkan, ikhlas sebagai ruh amal/inti dari suatu perbuatan. Ini disampaikan dalam aporismanya: “Tanawwa’at ajnaasul’a’maali litanawwu’i waaridaati-lahwaali. Alaa-l’a’maallu shuurotun qaa’imatun wa arwaahuhaa wujuudu sirri-l-ikhlashi fiihaa.” (Terj. Keanekaragaman jenis amal terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangka amal adalah perbuatan yang nyata, sedangkan ruhnya adalah ikhlas).42

Dengan demikian, seperti diungkapkan Ibnu Athoillah, ikhlas menempati posisi yang sangat penting dalam sebuah perbuatan yang ditempuh sang Salik. Selanjutnya, Ibnu Atho’illah meminta sang Salik untuk mewaspadai ancaman ikhlas dalam aporisma yang lain, “Idfin wujuudaka fii ardhi-lkhumuuli famaa nabata mimmaa lam yudfan laa yatimmu nataajahu.” (Terj. Tanamlah wujudmu di hutan belukar (di dalam tanah yang tidak dikenal), karena tidak akan tumbuh suatu tanaman pun bilsa tidak ditanam. Kalau pun tumbuh, maka ia tidak akan sempurna).43

Menyangkut Syukr, Ibnu Athoillah menyampaikan aporisma: “Man lam yuqbil ‘ala Allah bi mulaathofaati-l-ihsani quyyada ilaihi bi salaasili-l-imtihaan. Man lam yasykuri-nni’am faqod ta’arrodho li zawaalihaa wa man syakarohaa faqod qoyyadahaa bi ‘qolihaa.” (Terj. Barangsiapa tidak menghadap Allah dengan sebaik-baiknya, atas kehalusan anugerah ihsan, niscaya ia akan dibelenggu rantai-rantai ujian. Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah, berarti ia mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kuat).44

Selain kepada Allah, syukur juga harus disampaikan kepada makhluk yang menjadi perantara pemberian Allah : “In kaanat „ainu-l-qolbi tandhuru annalloha waahidun fii minnatihi, fassyari‟atu taqtadhy annahu laa budda min syukri kholiiqotihi..”(Terj. Jika matahati dapat melihat keesaaan Allah dalam segala pemberian karunia-Nya, maka syariat menyuruh harus berterimakasih pula kepada sesama makhluk Allah -yang menjadi prasyarat sampainya nikmat Allah kepadanya-). 45 (71/h.483).

Dalam aporisma ini, Ibnu Athoillah menekankan syukr (terimakasih) dengan meyakini bahwa suatu pemberian tidak diberikan kecuali dari Allah SWT dan di saat yang sama juga menyampaikan terimakasih kepada tangan yang menjadi perantara atas pemberian Allah. Puncak seluruh perjalanan spiritual dan berbagai kondisi selama perjalanan tersebut ditempuh sang Salik sendiri adalah ma’rifat, yakni kedekatan dengan-Nya sebagaimana disebutkan  dalam aporisma: “Man ‘arofa al-haqq syahidahu fii kulli syai’in. wa man faniya bihi ghaaba ‘an kulli syai’in. wa man ahabbahu lam yu’tsir ‘alaihu syai’an.”46 (7/342) (Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menyaksikan-Nya pada semua ciptaan-Nya. Siapa yang fana dengan Allah, pasti gaib dari segala sesuatu. Dan siapa yang mencintai Allah, tidak akan mengutamakan apa pun selain Allah). Pencapaian puncak ini ditekankannya pada beberapa aporisma lain seperti “Ukhruj min aushofi basyariyatik „an kulli washfin munaaqidhin li „ubudiyatika li takuuna li nidaa‟I al-haqqi muhiibba wa min hadhratihi qariiban.” (Terj. Keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan sifat ubudiyyah, supaya mudah bagimu untuk menyambut panggilan al-Haq – Allah- dan mendekat ke hadhirat-Nya). 47

Kondisi ini juga disampaikannya dalam: “Syu’a’i albashiroti yusyhiduka qurbahu minka, wa ‘ainu al-bashirti yusyhiduka ‘adamaka li wujudihi, wa haqqu al-bahsirato yusyhiduka wujuudahu laa ‘adamaka wa laa wujuudaka.” (Terj. Syu’a’ul Bashiroh (cahaya akal dan ilmu yakin) memperlihatkanmu akan kedekatan Allah kepadamu; ‘Ainul bashiroh meniadakan ketiadaanmu karena Allah; dan haqqul bashiroh memperlihatkan kepadamu wujud Allah bukan pada ketiadaanmu, dan bukan pula pada adanya dirimu). 48

Makrifat hamba akan Tuhan, bakal membawa hamba pada mahabbah yang didefinisikan Ibnu Athoillah dalam aporismanya yang lain, “Laisa-l-Muhibb alladzi yarjuu min mahbubihi ‘iwadhon au yathlubu minhu gharodon fa inna-l-muhibb man yabdzulu laka laisa-l-muhibb man tabdzulu laka.”(Terj. Bukanlah orang yang mencintai itu, orang yang meminta pengganti atau upah dari yang dicintai. Tetapi sesungguhnya orang yang mencintaimu adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang memintamu berkorban untuknya).49

Khatimah Perjalanan spiritual adalah medan berat yang harus ditempuh siapa pun yang terlanjur cinta untuk mendekati Tuhannya. Dan, para ahli tasawuf telah merangkum peta jalan  mana yang bisa ditempuh para pejalan spiritual tersebut. Satu di antaranya,diatawarkan Ibnu Athoilah dalam sekumpulan aporismanya, Al-Hikam. Menurutnya terdapat sekurangnya lima stasiun spiritual (maqam) yang harus ditempuh seorang pejalan spiritual. Kelimanya, yakni taubat, pengosongan hati terhadap perkara dunia sekaligus mengisinya dengan cinta kepada Allah (zuhd), sabar (shabr), berpasrah atas kehendakNya (tawakkal), dan penerimaan atas apa yang telah diberikan Tuhan (ridha). Dan, dalam perjalanannya, para pejalan spiritual akan menempati sejumlah kondisi (ahwal) seperti khauf, raja’, tawadhu, ikhlas, dan syukr yang harus diterima sebagai karunia, bukan hasil usahanya.

Tulisan ini terlalu sederhana untuk menggali mutiara-mutiara pemikiran sufistik Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam. Selain keterbatasan deskripsi dan metodologi pereviu, kesederhanaan ini tidak terlepas dari kurang sistematisnya penyusunan naskah hikmah yang dilakukan Ibnu Atho’illah sendiri. Namun kesederhanaan ini justru menjadi keunggulan Al-Hikam sendiri.

Selain mendorong terbitnya berbagai karya akademik dalam bentuk komentar (syarh) yang dilakukan para ulama setelahnya, kesederhanaan juga membungkus kedalaman substansi pemikiran sufistik Ibnu Atho‟illah yang kaya. ***

1 Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2 Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, h 372. 3Beberapa rekan penulis asal Jawa Timur dan Madura yang menempuh pendidikan di beberapa pesantren (mayoritas yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama) mengaku telah mempelajari Al-Hikam saat masih belajar di lembaga pendidikan Islam klasik tersebut. Pengakuan serupa disampaikan Dr Abdul Mouqsith Ghazali MA, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama yang sudah mempelajari kitab ini sejak masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, minimal dengan menjadi mustami’ pada kelas santri senior yang diajar ayahandanya.

4 KH Shihab Ahmad Syakir mengatakan kitab Al-Hikam sebagai kitab orang tua, “Istilae wong niku, al-Hikam niku kitabe wong tuo.”Wong tuo sepertinya merujuk pada senioritas pemahaman kitab-kitab gramatika bahasa Arab, Fiqih, Akhlak dan tasawuf.

Lihat Hamzah Sahal, http://www.nu.or.id

5Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari : Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah.

Lihat http://islamlib .com/ site=1&aid=1880&cat=content&cid=11&title=tasawuf-ibnathaillah-alsakandari

6Lihat Hamzah Sahal

http://www.nu.or.id

7Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1415/1995), h. 163

8 Kiai Saleh Darat lahir di Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M dan wafat pada 1903. Ia merupakan ulama yang cukup prolifik dengan menulis sekurangnya 14 karya berupa kitab yang mencakup berbagai bidang disiplin ilmu, mulai dari fiqh, tauhid, tasawuf, ulum al-qur’an, tafsir al-Quran, manasik haji dan umrah, kitab Barzanji, dan tentang Isra Mi‟raj Nabi SAW.

Selain Hażā alKitāb Matn al-Ḥikam, di bidang tasawuf ia menulis Hażihi Kitāb Munjiyāt “metik saking kitab” Iḥyā‟„Ulūm al-Dīn al-Ghazālī, Minhāj al-Atqiyā‟ fī Sharḥ Ma„rifat al-Ażkiyā‟ ilā Ṭarīq al-Awliyā‟. Ia juga menulis Hażā Kitāb Majmū„at al-Sharī„ah al-Kāfiyah li ‟l-„Awām tentang kajian fiqh orang awam, disamping juga memuat ajaran tasawuf.

9Ghazali Munir, Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam Muhammad Salih al-Samarani. Semarang: Rasail, 2008, h. 65.  Lihat juga M. In‟amuzzadin, Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih al-Samarani. IAIN Semarang: Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, h. 323.

10M. In‟amuzzadin, Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih alSamarani, h. 326.

11Dalam analisa penulis, terjemahan Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag lebih baik dibanding karya terjemahan Dr. Ismail Ba‟adillah. Selain kedekatan bahasa terjemahan dengan bahasa asli, sistematika penyajiannya juga lebih baik. Ini kemungkinan karena karya ini merupakan terjemahan langsung Syarh al-Hikam oleh Muhammad bin Ibrahim atau Ibn Ibad. Lihat Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag, t.t., Menyelam ke Samudera Ma‟rifat dan Hakekat. Surabaya: Penerbit Amelia, h. 3

12Telusuran penulis menemukan enam aplikasi dengan berbagai format dan sajian bahasa. Beberapa aplikasi terbagus dalam analisa penulis adalah aplikasi Kitab Al-Hikam Atho‟iyyah (bukan Atho‟illah) li-Ibn Atho‟illah As-Sakandari karya Daarul Hijrah Technology, Al-Hikam Terjemahan karya Ahmad M.Nidhom, dan Al-Hikam Arabic Lengkap karya adhiqurdi.

13Bernard Lewis, V.L Menage, Ch.Pellat, dan J. Schacht, 1986. Encyclopaedia of Islam (New Edition). Leiden, Netherlands: Brill.Volume III (H-Iram), h. 722.

14Ibn Abi-Qasim al-Humairi, 2009. Jejak-jejak Wali Allah. Jakarta: Erlangga, h 2-4 Zaenal Muttaqin, Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik …….. | 69

15Ibn Atho‟illah, 2005. Zikir Penentram Hati, terj. Fauzan Bahresy dari Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, h. 279-280

16Tarekat ini didirikan oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Kendati pendiri, Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya-karya tertulis yang menjadi rujukan tasawuf. Begitu juga muridnya Abul Abbas al-Mursi. Ia tidak meninggalkan karya kecuali ajaran lisan tentang tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari selanjutnya menjadi orang pertama yang mengkodifikasikan ajaran, pesan, doa, dan biografi kedua mursid Syadziliah sebelumnya, sehingga ajaran tarekat ini tetap terpeligara. Dalam hal ini, Ibn Atha’illah menyusun rumusan tentang aturan tarekat, pokok-pokok ajaran, dan prinsip-prinsipnya.

17al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar AlAnshory Al-Mursi. Lebih dikenal sebagai Abul Abbas al-Mursi, ia lahir pada 1219 M di Murcia, Andalusia (kini, Spanyol) dalam sebuah keluarga pedagang yang kaya namun tetap menjalankan ajaran Islam secara ketat. Namun di tahun 1242 M, ia beserta keluarganya pindah dari Andaluia ke Alexandria menyusul makin meluasnya kontrol kekuasaan Kristen atas Andalusia. Selain berdagang, al-Mursi juga berguru kepada Shaykh Abu‟lHassan ash-Shadhili, pendiri tarekat Syadziliyah, bahkan menikahi anak perempuan gurunya. Di Alexandria, al-Mursi hidup selama 43 tahun hingga wafatnya tahun 1287 M.

18Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha’illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-‘Atha’iyah. Islamlib.com

19Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah. Islamlib.com

20Lihat paparan lengkap Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq atTashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 194-276 dan lihat juga Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf.

21Abdul Fattah, 2005. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah. Jakarta: Khalifa, h.108.

22Asmaran AS, 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:Rajawali Press, h.137

23Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1., h. 42

24Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1., h. 42- 43 ini seperti disampaikan Nabi SAW : “Seorang yang taubat dari berbuat dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang  hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” HR Ibnu Majah dari Ibnu Mas‟ud dalam Al-Jami‟ush Shagir. Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi atTashawuf. h. 116.

25Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf. h. 115-117

26Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq at-Tashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 196-197

27Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq at-Tashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 240

28Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf. H.153-158.

29Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2 h. 47

30Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2 h. 86

31Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 46

32Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.77

33Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.24

34Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.25

35 Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2. h.21

36Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h107

37Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h.

38Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 60

39Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari., Juz 2 h. 62

40Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 5

41Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 7

42Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.11

43Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.11

44Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.50

45Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 83

46Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 8

47Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 29

48Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 33

49Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz.2 h. 62

DAFTAR PUSTAKA

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruqdari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi atTashawuf. Jakarta: Pustaka Amani.

Abdul Fattah, 2005. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah. Jakarta: Khalifa. Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah. Islamlib.com Asmaran AS, 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:Rajawali Press.

Bernard Lewis, V.L Menage, Ch.Pellat, dan J. Schacht, 1986. Encyclopaedia of Islam (New Edition). Leiden, Netherlands: Brill.Volume III (H-Iram). Ghazali Munir, 2008. Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam Muhammad Salih al-Samarani. Semarang: Rasail. Ibn Abi-Qasim al-Humairi, 2009. Jejak-jejak Wali Allah. Jakarta: Erlangga. Ibn Atho‟illah, 2005. Zikir Penentram Hati, terj. Fauzan Bahresy dari Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Ibn Atho‟illah, 2013. The Book of Al-Hikam, terj. Iman Firdaus & Yodi Indrayadi Syarah Al-Hikam Ibnu Atho‟illah AlIskandari. Jakarta: Turos.

Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung:Mizan. M. In‟amuzzadin, 2012. Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih al-Samarani. IAIN Semarang: Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 2. Moh. Syamsi Hasan dan Aswadi M., 2007. Menyelam ke Samudera Ma‟rifat dan Hakekat. Surabaya: Penerbit Amelia.

Syaikh „Abdul Qadir Isa, 2011. Hakekat Tasawufterj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis dari Haqa‟iq atTashawwuf. Jakarta: Qisthi Press. Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1-2

 

Tinggalkan komentar

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.