Tinggalkan komentar

Launching MDHW TV

Indopos.co.id – Untuk mengenang jasa besar para kiai dan pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan 1945, Pengurus Besar (PB) Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) mengadakan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020, di kantor PB MDHW Jalan Tegal 2A Menteng Jakarta Pusat, Senin (16/11/2020). Acara MDHW ini mengikuti protokol kesehatan yang ketat.

Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon Mempersembahkan Peringatan Hari Pahlawan dan Launching MDHW TV, 16.11.2020. Lahirnya Momentum Transformasi Digital Sebagai Instrumen Dakwah & Kebangsaan

Selain diisi rangkaian kegiatan peringatan mengenang jasa para pahlawan, juga diadakan do’a bersama, selanjutnya MDHW juga akan melaunching saluran MDHW TV.

Menurut Kyai Haji (KH) Musthofa Aqil Siroj launching MDHW TV adalah sebagai gerakan sosial dan dakwah keagamaan untuk terus menguatkan kiprah dan eksistensi perjuangan ke depan, khususnya di era digital 4.0 saat ini.

“MDHW dituntut untuk mampu beradaptasi, sebagai jawaban atas tantangan zaman dan menjangkau lebih luas segenap lapisan dan segmen masyarakat,” ujarnya.

KH Musthofa menambahkan, MDHW TV berorientasi menjadi jembatan dan alat untuk terus mendengungkan prinsip-prinsip tersebut hingga menjadi visi kebangsaan bagi semua elemen bangsa. Melalui program-program MDHW TV diharapkan tercipta pemahaman yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), toleransi (tasamuh).

Dengan slogan Dakwah dan Kebangsaan, MDHW TV akan menjadi media untuk membawa misi kebersamaan dalam membangun dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nilai ke-Islam-an yang akan menjadi rahmat bagi semua. Dengan landasan cinta tanah air sebagai bagian dari keimanan Hubbul Wathon Minal Iman.

“Melalui momentum peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020 Majelis Dzikir Hubbul Wathon kembali membulatkan tekad untuk terus mengobarkan semangat juang dalam penguatan ideologi negara, dan membangun harmoni dalam keberagaman,” tambah KH. Musthofa.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Boy Rafli Amar menyampaikan harapan MDHW TV dapat menyajikan informasi yang penuh semangat Islam moderat dan menggelorakan warisan para leluhur kita yaitu hubbul wathon minal Iman.

“Sekarang banyak kelompok yang mengedepankan kepentingan pribadinya dan menyingkirkan kepentingan bangsa dan negara. Semoga MDHW TV menjadi media terdepan untuk mengingatkan adanya paham radikal intoleran di negara yang kita cintai ini. Yang menyebarkan islam yang jauh dari warisan leluhur para ulama terdahulu dan cita-cita pendiri bangsa,” ungkap Boy Rafli, dalam sambutannya pada acara itu.

Sedangkan, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN Wawan H Purwanto dalam sambutannya menyampaikan munculnya MDHW TV ini bisa menjadi sarana pembinaan umat. Karena media online jangkauannya luas sampai luar negeri. Dia berharap MDHW TV menjadi televisi rujukan islam moderat dan modern.(mdo)

Sumber Primer:

https://indopos.co.id/read/2020/11/17/263450/majelis-dzikir-hubbul-wathon-launching-mdhw-tv/

Ahmad Y. Samantho (Waka Barikade Gus Dur Bogor Raya)

Tinggalkan komentar

Pangeran Djonet Diponegoro

Pangeran Djonet adalah penyebar ilmu Silat


RM Djonet adalah putra dari Pangeran Diponegoro dari istrinya yang bernama RaY Maduretno/RA Diponegoro (cucu Sultan Hamengkubuwo II), ibunya RaY Maduretno (makam imogiri) bernama Bray Maduretno (anak Sultan Hamengkubuwo II) menikah dengan Pangeran Prawirodredjo (adipati maospati/madiun), jadi RM Djonet Dipomenggolo adalah buyut Sultan Hamengkubuwo II dari ibu Ray Maduretno dan ayah Pangeran Diponegoro.

Pangeran Djonet Dipomenggolo (c.1815 - d.) - Genealogy

Saat Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Batavia, ia diikuti putera pertamanya dari istri bernama Ray Maduretno yang bernama Raden Mas Djoned. Saat Pangeran Diponegoro ditahan di Batavia ia ikut dipenjara, lalu ketika Pangeran Diponegoro dan kerabatnya naik kapal untuk dibuang ke Manado, Raden Mas Djoned ini nekat nyebur ke laut dan berenang ke arah sebuah pulau, waktu ia nyebur pasukan Belanda tidak sadar, dan sama sekali tidak… ketahuan. Raden Mas Djoned ini sampai ke Pulau tak berpenghuni di kepulauan seribu.

Selama seminggu ia menunggu di pulau itu lalu ada kapal nelayan kecil yang merapat, rupanya nelayan itu adalah penduduk kampung laut (sekarang sekitar jalan Lagoa). RM Djoned akhirnya ditolong nelayan itu dan dibawa ke kampung laut, hanya beberapa hari di kampung laut, datanglah seorang kyai Betawi yang tau bahwa ini pasti orangnya Diponegoro, kyai itu langsung membawanya ke arah Jatinegara agar jangan sampai ketahuan pihak Belanda. Lalu kyai itu mengorek keterangan bahwa memang ternyata RM Djoned adalah anak sulung Pangeran Diponegoro.
Kyai itu gembira, lalu ia mengarahkan RM Djoned bertemu dengan kelompok Matraman yang merupakan keturunan langsung dari serdadu-serdadu Mataram. Di kampung Matraman RM Djoned berusaha membangun kantung-kantung perang. Tercatat memang kemudian RM Djoned berhasil membangun kelompok anti Belanda dan menyebarkan pelajaran silat mataraman.

Kemajuan dari perkumpulan Djoned ini luar biasa, langkah pertamanya adalah memperbaiki masjid Matraman yang rencananya akan jadi pusat pertempuran baru Perang Diponegoro di Batavia. Sayangnya seorang Haji kaya terlalu berlebihan dan bersemangat membangun masjid sehingga masjid terlihat mewah, inilah yang menimbulkan kecurigaan dari Belanda kenapa kok di Matraman tiba-tiba mendadak ramai. Intel-Intel Belanda bergerak ke Matraman dan ditemukan kejutan luar biasa, ternyata putera sulung Pangeran Diponegoro yaitu RM Djoned berada di Matraman.
Kontan para petinggi militer berunding, akhirnya setelah mendapatkan informasi memang benar bahwa salah seorang daftar tawanan menghilang. Diputuskan agar penangkapan RM Djoned tidak menimbulkan kehebohan agar tidak memancing pihak lain membela RM Djoned, karena kabarnya di wilayah Banten ada kelompok radikal yang bisa saja membela RM Djoned. Dipilihlah penyergapan ke rumah RM Djoned.

Tapi beruntung bagi RM Djoned, saat penyergapan ia sedang berada di Kampung Kuningan bertemu dengan Raden Mustahid keturunan langsung Pangeran Kuningan. Berita penyergapan Raden Djoned ini membuat Raden Djoned langsung diungsikan oleh Raden Mustahid ke sebuah kampung dekat hutan jati, bernama Cilandak. Dari Cilandak kemudian dengan menggunakan gerobak Raden Djoned diungsikan ke Bogor Timur.

Di Bogor itu Raden Djoned membangun kampung bernama Jabaru atau Jawa Baru. Di sebuah bukit kecil dekat kampung Jabaru digunakan tempat menernak kuda dan melatih kuda-kuda tunggangan daerah itu kemudian dikenal sebagai “Pasir Kuda”. Di sebelah timur dibuatkan kampung Dukuh Jawa.

RM Djoned terus melakukan gerakan kladenstin melawan Belanda salah satu hasilnya adalah pemberontakan di Condet, gerakan-gerakan radikalisasi petani. RM Djoned juga menyebarkan ilmu silat dimana jawara-jawaranya anti Belanda, pada tahun 1945 para jawara yang baik langsung ataupun tidak langsung mendapatkan tularan ilmu silat Diponegoro ini kelak menjadi petarung-petarung jalanan Revolusi di jam-jam pertama Revolusi Kemerdekaan.

RM Djoned Dipomenggolo wafat tahun 1837 di Jogyakarta ketika melakukan kerusuhan menurut versi Peter Carey, sedangkan menurut keluarga RM Djoned Dipomenggolo wafat di Bogor tahun 1885, beliau dimakamkan di gg kosasih, Cikaret, Bogor.

RM Djonet mempunyai 7 anak bernama :

  1. RM. Ngabehi Dipamenggala Jabaru, C-1833
  2. RM. Hardjo Dipomenggolo Jabaru, C-1834
  3. RM. Harjo Dipotjokro / Pangeran Gringsing I Jabaru, C-1835
  4. RM. Harjo Abdul Manap Jabaru, C-1836
  5. RM. KH. Sahid Angkrih Jabaru, C-1835
  6. NYI Mas RAy. Ukin Jabaru, C-1836
  7. NYI Mas RAy. Okah Jabaru, C-1837
Tinggalkan komentar

Tauhid: Wahdatul Wujud

WAHDATUL WUJUD,

Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada atau teradakan (maujud) — merupakan ketung­gal­an, kesatuan. Be­ragam realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “se­­­kadar” sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—tunggal. Itu  semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelek­tual (noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana bayangan yang bermain dalam pi­­kir­an kita sebagai citra-kedua se­buah objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk — Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).

Continue Reading »

Tinggalkan komentar

MALIK AL HIND Sahabat NABI Muhammad SAW dari Nusantara

Masih tentang Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?
Jumat 29 Jan 2021 06:01 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, — Pada awalnya tulisan tentang Sri Baduga Malik al-Hind yang terdahulu adalah sekadar contoh dari penerapan metode abduktif dalam mata kuliah kajian Islam interdisipliner di Pascasarjana STFI Sadra dan kajian ilmu hadis revisionis di LPII Yayasan Muthahhari Bandung.

Tentang kajian islam interdisipliner, insyaallah, nanti akan saya buat tulisan tersendiri. Sekarang, fokus kita pada ilmu hadis revisionis dan Sri Baduga Malik al-Hind.

Selama ini, kajian keislaman kita seperti jalan di tempat. Tidak ada keberanian dari para pemangku Islamic Studies untuk mendobrak paradigma lama yang hanya mengecer travelling theory yang sudah berlangsung selama lebih dari seribu tahun yang lalu.

Padahal, beragam teori tersebut tidak muncul dari ruang kosong. Ada banyak faktor sosial-politik-budaya yang melatarbelakangi kemunculannya. Oleh karena itu, kita yang hidup di zaman sekarang tidak harus menerimanya secara taken for granted. Kita harus membaca ulang untuk menemukan konteks di balik lahirnya teori-teori tersebut sebelum akhirnya menerima, menolak, atau memberi makna dan menyusun teori baru.

Di sinilah urgensi the logic of discovery yang menjadi ruh dari paradigma abduktif yg saya promosikan dalam ilmu hadis revisionis.

Adakah sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Ilmu hadis revisionis sendiri adalah produk lanjutan dari penelitian Al-Muawiyat ; hadis-hadis politis keutamaan sahabat . Selama ini, riwayat tentang keutamaan sahabat menjadi dasar teori keadilan sahabat yang menopang bangunan ilmu hadis tradisional.

Padahal, menurut Kamaruddin Amin, Dirjen Agama Islam Kemenag RI, tidak ada hadis Nabi atau ayat suci Alquran yang secara pasti mendukung klaim keadilan sahabat. . Semuanya ditafsirkan secara subjektif. Keadilan sahabat lebih pas disebut dogma daripada teori ilmiah.

Kesimpulan ini sejalan dengan temuan Fuad Jabali yang menyebut bahwa doktrin keadilan sahabat tidak lempang di hadapan analisis ilmiah. Meski terbukti tidak ilmiah, teori ini selalu mewarnai kajian akademik tentang hadis Nabi sejak dari Arab sana hingga sampai ke Nusantara kita sini.

Karena itu, saya sebut sebagai travelling theory yang harus direkonstruksi. Dan dengan dukungan data dan teori yang kuat, ilmu hadis revisionis berhasil melakukannya. Terlalu teknis kalau saya jelaskan bagaimana metode abduktif berhasil meruntuhkan grand theory keadilan sahabat yang diyakini secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Silakan baca saja buku saya Genealogi Hadis Politis yang diterbitkan oleh Marja’. Kalau keberatan untuk membeli buku, bisa unduh gratis versi disertasinya di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Ciputat.

Metode abduktif melihat semua hadis/riwayat, teori sebagai bahan mentah yang harus diolah lagi. Dan bukan barang jadi yang dapat langsung menjadi alat bukti justifikasi.

Hal itu harus diverifikasi dengan prinsip korespondensi, koherensi, dan konsistensi sebelum akhirnya dipakai untuk menolak atau mendukung sebuah teori. Dengan cara kerja seperti itulah muncul teori (sementara) Sahabat Nabi dari Nusantara sini.

Teori tersebut dideduksi dari beberapa riwayat tentang Malik al-Hind yg bertemu Nabi dan termuat dalam publikasi mengenal sahabat Nabi. Kata kuncinya ada pada kata al-Hind yg sekarang diartikan sebagai India. Dan Malik al-Hind umumnya dimaknai dengan Raja dari India yang disematkan pada Cheraman Perumal dari Keralla.

Namun, teori ini dipertanyakan oleh akademisi dari Keralla, Parthasarathi. Menurutnya, tidak ada bukti historis maupun arkeologis yang menunjukkan pernah ada seorang raja dengan nama tersebut di Keralla. Cerita tentang raja Cheraman Perumal yang dikaitkan dengan nama sarbatak (umum dibaca seperti itu) yang bertemu Nabi muncul dari para akademisi Eropa yang tertarik dengan folklor masyarakat Kerala. Sumber pertamanya pun bukan seorang peneliti, melainkan sekadar juru tik, Louis de Camoes .

Menurut Pathasarathi, pengusung teori ini gagal membuktikan hubungan logis antara fakta/data dengan apa yang mereka ucapkan. Selain itu, juga gagal mencapai kesimpulan yang benar. Maka, teori Cheraman Perumal sebagai Malik al-Hind yg bertemu Nabi tertolak karena tidak sesuai dengan prinsip korespondensi empiris dan koherensi logis.

Dengan demikian, kita harus membangun teori baru terkait Malik al-Hind ini. Teori yang saya ajukan bahwa Malikul al-Hind yang bertemu Nabi ini adalah Sri Baduga Maharaja yang berasal dari Nusantara. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut.

  1. Wilayah Nusantara dahulu juga bernama Hindia. Ingat nama Hindia-Belanda untuk menyebut negara kita tercinta. Dahulu, Bilad al-Hind mencakup seluruh wilayah kepulauan Nusantara, Indo-China hingga Sri Langka. Imperialis Eropa yang memecah-mecah Bilad al-Hind dan menciptakan Bilad al-Hind baru beribu kota New Delhi (New de al-Hind).
  2. Tulisan Arab yang dibaca sarbatak terlalu jauh untuk mengidentifikasi Cheraman Perumal. Apalagi, Partharasati menyebutnya sebagai mitos. Tapi, lebih dekat bila dibaca dengan Sri Baduga. Ini karena perbedaan lidah Arab dengan lidah Nusantara.
  3. Keberadaan Sri Baduga Maharaja secara historis dan arkeologis dapat dibuktikan. Sementara, Cheraman tidak.
  4. Perbedaan timeline antara masa hidup Nabi dengan Sri Baduga Maharaja dapat diselesaikan dengan teori common sense saat kisah ini ditulis oleh Ibnu al-Atsir. Karena mungkin nama Sri Baduga adalah nama yg dikenal waktu itu saat menyebut raja dari al-Hind yang memakai aksesori khas Bilad al-Hind.

Sehingga, siapa saja raja yang berasal dari al-Hind dipanggil dengan Sri Baduga. Ilustrasi sederhananya seperti peci yang dikenalkan oleh Presiden Sukarno. Sehingga, orang-orang asing ketika melihat orang Nusantara berpeci memanggilnya dengan Sukarno.

  1. Tambahan argumentasi no 1. Ada kesamaan bahasa (sangsekerta) dan peradaban antara Nusantara dulu dengan India. Bisa jadi, hal itu karena dulu wilayah ini berada dalam satu kerajaan. Atau, salah satu wilayah menjadi kerajaan bagian atau protektorat dari sebuah kerajaan besar.

Kemiripan cerita Ramayana dan Mahabrata di dua wilayah ini menjadi bukti pernah bersatunya dua wilayah ini dalam satu kerajaan lama. Persoalannya, mana yang menjadi pusat pemerintahan dan mana yang menjadi negara bagian. Perlu kajian lanjut.

  1. Sq Fatimi yang adalah orang dari anak benua India sana justru berpendapat bahwa Malik al-Hind yang suratnya terlihat di Istana Arab (Bani Umayyah) adalah Raja Sriwijaya dari Nusantara dan bukan India. Walaupun mungkin dia bukan Malik al-Hind yang pernah bertemu Nabi, setidaknya kesimpulan Fatimi menguatkan teori Malik al-Hind berasal dari Nusantara dan bukan India. Karena itu, Malik al-Hind adalah sahabat Nabi dari Nusantara.

Link : https://www.republika.co.id/berita/qnnh9y385/masih-tentang-sahabat-nabi-muhammad-dari-nusantara

Tinggalkan komentar

Mencari Jejak Ki Sunda

Mencari Jejak Ki Sunda

by: Tauhid Nur Ashar

Sebuah mangkok nan indah dan subur kini terbentang dengan dipenuhi permukiman dan berbagai gedung yang tinggi menjulang. Kita menamainya Megapolis Bandung. Bahkan sejak RAA Wiranatakusumah memindahkan ibukota ke daerah Masjid Agung Dalem Kaum saat ini dari Dayeuh Kolot, kota yang satu ini terus berkembang dan terus menjadi daya tarik kuat bagi para pendatang. Di awal abad ke-20 bangsa Belanda bahkan berniat memindahkan pusat administrasi pemerintahan (Bienensland Bestuur/BB) ke lembah Bandung, yang ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung Jambu atau yg kini dikenal sebagai Gedung Sate.

“Sate” di pucuk atap yang mengadopsi bentuk atap dari seni arsitektur Sunda buhun, Julang Ngapak, dan “berisi” 5 jambu yg ditusuk, sebenarnya adalah lambang dari harga pembangunan gedung itu yang nilainya ditaksir sekitar 5 juta gulden. Saat itu pembangunan gedung sate sungguh luar biasa karena sudah menggunakan tenaga ahli bangunan impor yang didatangkan dari tlatah Tiongkok. Mereka sesungguhnya adalah para ahli pembangun bangunan kubur di negara asalnya. Para tukang bangunan migran tersebut diberi permukiman di sekitar lembah Cikapundung yang kini menjadi bagian dari wilayah Banceuy dan sekitarnya. Maka tak heran budaya Cina Peranakan seperti warung kopi Purnama dll dapat dengan mudah kita temukan di sana. Pada 1920 sejarah mencatat bahwa salah satu perguruan tinggi teknik tertua di Hindia Belanda didirikan di Bandung, antara lain berkat inisiatif dari Prof Wolf Schoemaker yang juga merupakan guru Bapak Bangsa kita, Ir. Soekarno.

TH yang kelak dikenal sebagai ITB berdiri di daerah aliran sungai Cikapundung yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Sari. Tetapi kira2 apa yang ada di lembah cantik ini sekitar 50 ribu tahun lalu ? Atau bahkan beberapa ribu tahun sebelumnya di era Holosen awal ? Jika kita mengeksplorasi daerah di seputaran Bandung Utara seperti Dago Pakar kita akan menemukan beberapa artefak Obsidian, jenis mineral batuan yang kerap dijadikan perhiasan dan juga alat tukar oleh warga Bandung di tepian Bandung Purba. Ya…Bandung punya sejarah setua itu. Bahkan menurut Prof RP Koesoemadinata, guru besar Geologi ITB, artefak2 tersebut adalah bukti nyata adanya peradaban kuno di tepian lembah Bandung yang telah dimulai dari masa di mana gunung Sunda Purba meletus.

Homo Sapiens yang tergolong masih berusia muda saat itu telah tinggal dan membangun peradaban di Lembah Bandung.
Artefak ini hanya diketemukan pada puncak-puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 725 m di atas muka laut, dan fakta ini dianggap sebagai bukti untuk adanya suatu danau purba (Danau Bandung), yang juga disebut-sebut dalam dongeng rakyat Sunda “Sasakala Sangkuriang”.

Kisah legenda tentang ksatria digdaya Sunda yang jatuh cinta dan ingin menikahi Ibunya sendiri, Dayang Sumbi, mengandung banyak pesan tersembunyi yang memiliki makna geologis dari serangkaian sejarah kesaksian atas terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, Burangrang, dan juga Bukit Tunggul. Sekaligus menyimpan misteri tentang evolusi dan akulturasi, dimana digambarkan bahwa Sangkuriang sebenarnya adalah keturunan manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing hitam yang dikenal sebagai si Tumang. Manusia setengah dewa ini kerap muncul di hampir setiap legenda manusia pertama di berbagai belahan dunia. Bangsa setengah dewa ini dikenal sebagai bangsa Naga di berbagai kebudayaan, termasuk di meso Amerika yang saat itu dihuni oleh suku Inka dan Maya. Mengingat di penghujung era Pleistosen fase glasial dan deglasial datang silih berganti dan muka air laut berdinamika sedemikian rupa, maka perjalanan keliling dunia saat itu mungkin dapat dilakukan dengan metode yang jauh lebih sederhana dari apa yang selama ini kita duga. Perjalanan gelombang migrasi sapien dari Asia ke benua Amerika melalui Siberia dan selat Bering sampai menjadi cikal bakal orang Indian Amerika dan suku Inuit di Kutub Utara, misalnya. Sedangkan Ki Sunda yang mengokupasi tepian danau Bandung Purba di sekitaran 50 ribu tahun lalu, mungkin saja secara genealogis merupakan bagian dari gelombang migrasi awal peradaban manusia yang telah mengenal teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi rupa muka bumi.

Keberadaan berbagai jenis artefak di perbukitan Bandung Utara dan Selatan menurut kajian Prof Koesoemadinata adalah petunjuk penting tentang penyebaran manusia seiring dengan proses adaptasinya dengan berbagai fenomena geologi yang ada. Dalam tulisannya, Prof Koesoemadinata menyatakan bahwa artefak yang diketemukan sebelah timur laut Bandung terdiri dari serpihan batu obsidian, sering dalam bentuk ujung anak panah, pisau, peraut dan jarum penindis; alat batu terpoles seperti penumbuk, kapak batu bermuka dua terbuat dari batu kalsedon, gelang-tangan dari batu serta serpihannya, juga serpihan tembikar dan juga bentuk-bentuk pengecoran perunggu atau besi. Lebih lanjut situs-situs ini mengungkapkan keberadaan keramik import Hindu/Cina berasal dari abad ke 18. Situs-situs ini diyakini telah dihuni terus-menerus sejak zaman neolitikum, melalui zaman perunggu Dong son sampai kurang dari 300 tahun yang lalu. Leluhur ki Sunda di daerah Bandung telah bekerja dalam industri logam dan perdagangan peralatan (batu). Penelitian geologi oleh Van Bemmelen (1934) mengonfirmasi keberadaan danau purba ini yang terbentuk karena pembendungan sungai Citarum Purba oleh pengaliran debu gunung-api masal dari letusan dasyat G. Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya G. Sunda Purba di sebelah barat laut Bandung dan pembentukan kaldera dimana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Jenis erupsi Plinian ini telah menutupi pemukiman di sebelah utara-barat laut Bandung, mengingat tidak ada artefak yang diketemukan disini. Pemikirannya adalah bahwa leluhur Ki Sunda seharusnya telah menyaksikan kejadian besar ini, hingga lahirlah legenda Sasakala Sangkuriang sebagai ekspresi dari capaian imajinasi kognitif yang berangkat sebagai bagian menegasi fakta ke dalam kapasitas pemahaman yang dikembangkan sesuai dengan tingkat pengetahuan di zaman yang bersangkutan. Karena belum adanya metoda modern pentarikhan radiometrik maka kejadian ini hanya diperkirakan telah terjadi sekitar 6000 tahun SM dengan mendasarkan pada artefak zaman Neolitikum. Penelitian geologi baru-baru ini menunjukkan bahwa endapan danau tertua yang telah ditentukan usianya berdasarkan radiometri adalah berumur 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya masing-masing 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian, walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir pada sekitar 16 ribu tahun yang lalu. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinannya bahwa para pemukim awal ini telah menyaksikan pembendungan danau maupun lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat munculnya manusia modern (Homo sapiens) di Afrika Selatan diperkirakan 120 sampai 100 ribu tahun yang lalu. Lebih masuk akal kalau Ki Sunda Purba ini telah menyaksikan letusan Plinian kedua yang telah melanda pemukiman sebelah barat sungai Cikapundung, (sebelah utara dan barat laut dari Bandung) sewaktu perioda letusan 55-50 ribu tahun yang lalu, mengingat bahwa Homo sapiens tertua yang ditemukan di Australia selatan adalah 62 ribu tahun yang lalu, dan di pulau Jawa sendiri manusia Wajak telah ditentukan berumur sekitar 50 ribu tahun yang lalu. Spekulasi yang lain adalah bahwa Homo erectus-lah yang telah menyaksikan pembendungan Danau Bandung dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat kehadiran makhluk ini terkenal di Jawa setua 1,7 juta tahun, dan telah mengalami budaya obsidian (obsidian culture). Maka ada kemungkinan tepian danau Bandung juga merupakan daerah titik temu antar spesies atau varietas homo yang saling berinteraksi dan juga berkompetisi hingga keunggulan fungsi kognitif Sapiens mampu mengeliminir keberadaan homo lainnya. Kasus seperti ini juga terjadi di berbagai wilayah Eropa, termasuk di Bavaria, di mana Neanderthal yang bertubuh besar pada akhirnya punah. Legenda yang kerap menyebut sosok raksasa, Buta, atau Denawa tersebar di seluruh dunia, termasuk dalam kisah klasik Ramayana. Sedangkan dalam budaya tutur lisan Sunda, Ki Sunda sebagai leluhur suku Sunda hari ini dikaitkan dengan kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh As, yang tentu memiliki pola hubungan dengan fase glasial-deglasial di era Pleistosen. Jejak Ki Sunda mulai terlihat, dalam Kitab Waruga Jagat, Mas Ngabehi Purana-Sumedang, 1117 H. Kitab ini mengutip silsilah seorang raja Sunda yang bergelar: Ratu Galuh. Raja ini keturunan generasi ke-7 dari Syam bin Nuh a.s.:
“..Inilah cerita putra Nabi (Nuh As) dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam.
Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … Gantungan.
Manaputih … Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar.
Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana.
Parmana berputra lima orang: Yang seorang Ratu Galuh..”
Buyut Ratu Galuh–Raja Sunda, adalah Nuh Alaihissalam, seorang nabi Allah SWT. Apakah Ki Sunda adalah bagian dari gelombang migrasi umat manusia area pusar bumi (Afrika, Sub Sahara, Asia Kecil, tepi selatan Eropa) yang tiba di Sundaland yang kelak dikenal sebagai Nusantara ? Penelitian genealogis berbasis teknik genetika modern mungkin akan dapat membuktikannya, sebagaimana hari ini sedikit mulai terkuak setelah penelitian kromosom Y (y-STR/short tandem repeated dan y-SNP/single nucleotide polymorphisme) dan mtDNA dilakukan dibeberapa kepulauan dengan sejarah peradaban manusia Nusantara tertua. Esensinya tentu bukan sekedar kebanggaan kultural soal asal usul, tetapi semestinya lebih pada proses “mengenal” siapa kita, dan mau kemanakah gerangan kita ?

1 Komentar

Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang

Oleh SofiaAbdullah*

Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang – Sofia Abdullah (wordpress.com)

Bagi pemerhati sejarah Sunda dan tentunya masyarakat Sunda sendiri yang ingin mengetahui sejarah leluhur, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ketiga nama tokoh penting ini. Tiga tokoh yang terkait erat dengan sejarah masuknya Islam ke wilayah jawa bagian barat.

Namun sayangnya sumber tertulis yang asli mengenai kisah masuk Islamnya Kian Santang ini bisa dikatakan hampir tidak ada, hingga terjadilah simpang siur informasi seperti yang terjadi saat ini.

Sejarah Kian Santang pada hakikatnya adalah kisah yang menggambarkan tentang kedatangan Islam di tanah Sunda. Kisah ini dapat kita dengar dan baca dari generasi ke generasi, baik melalui pantun ataupun kisah wayang.

Seperti umumnya kisah tutur lainnya, tentunya dalam perjalanan kisahnya dari waktu ke waktu telah mendapatkan penambahan dan pengurangan di beberapa bagian kisahnya.

Pada era kolonial kisah ini juga banyak disisipi pesanan dari pemerintah kolonial berupa kisah-kisah yang memberikan ‘citra’ buruk pada Islam, diantaranya melalui kisah Kian Santang memaksa ayahnya, sang Prabusilwangi untuk menganut ajaran Islam, hingga terjadi perkelahian dan pengejaran antara Kian Santang dan ayahnya yang diakhiri dengan ‘ngahiang-nya’ sang prabu, berubah wujud menjadi maung (harimau).

Darimanakah kisah-kisah tidak masuk akal ini bersumber? Terlihat jelas ada penambahan data berupa kisah-kisah ajaib dan sikap intoleran seorang muslim, yang bila membaca ini, pembaca pasti akan berasumsi pada ayahnya saja ia melakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa? Dan sikap ini terjadi setelah Kian Santang masuk Islam. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Kembali lagi pada pertanyaan diatas darimanakah kisah-kisah ini bersumber?

Ternyata setelah dilakukan penelusuran, salah satu sumber utama kekacauan sejarah Islam di Indonesia adalah banyaknya sumber-sumber sejarah tertulis palsu atau salinan yang dibuat pada era kolonial, tepatnya setelah tahun 1860-an hingga 1900-an awal. Dari naskah-naskah aspal atau salinan inilah kemudian kita membaca dan mendengar banyak cerita-cerita aneh dan tidak masuk akal seputar sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Mengenai sumber tertulis yang asli bukan salinan, kami yakin pasti ada, hanya saja sebagian besar sumber tertulis ini telah diambil oleh pihak kolonial dan kini tersimpan di univ. Leiden-Belanda. Untuk saat ini pembuktian pertemuan Imam Ali dan Kian Santang dapat dilakukan dengan beberapa metode penelusuran, diantaranya dengan menghubungkan petunjuk-petunjuk yang terkait dengan kisah ini melalui berbagai pendekatan ilmu sejarah dan ilmu bantu sejarah, seperti yang akan kami coba jelaskan secara ringkas pada tulisan ini.

Kekacauan data sejarah yang paling sering ditemukan adalah terjadinya tumpang tindih tahun kehidupan para tokoh, hingga tidak ada titik temu antara tokoh dalam naskah kuno dengan fakta sejarah yang diambil dari sumber lain, misalnya tokoh yang harusnya hidup pada tahun 630 M, seolah olah hidup pada tahun 1400-an, padahal faktanya Islam pada tahun 1400an telah tersebar di Indonesia dari sabang sampai merauke, yang pastinya sulit untuk dicerna dengan akal sehat bila Islam yang baru dikenal tahun 1400 pengaruh dan tradisinya sudah tersebar hampir keseluruh Nusantara.

Salah satu kisah yang mengalami perusakan dan pemalsuan sejarah ini adalah kisah pertemuan Kian Santang dan Imam Ali.

Berdasarkan data-data yang telah kami kumpulkan dan tidak mungkin kami masukkan kedalam tulisan ini, karena banyaknya data-data tersebut, diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak masa Rasul saw masih hidup, baik melalui utusan beliau saw maupun penduduk dari seluruh dunia yang memang sengaja datang untuk mengenal nabi terakhir sekaligus mempelajari Islam.

Diantara mereka yang datang ke jazirah Arab 1441 tahun yang lalu adalah Kian Santang yang diperintahkan ayahandanya, Prabusiliwangi, untuk berguru ke tanah Arab pada seorang sakti bernama Ali.

Diantara pembaca mungkin ada yang bertanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Darimana Prabusiliwangi mengetahui keberadaan nabi Muhammad dan sayyidina Ali??

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan berita tentang Islam telah sampai ke nusantara pada saat Rasul saw masih hidup, yaitu : faktor agama dan perdagangan.

Kedua faktor petunjuk ini hilang dan rusak juga karena beberapa sebab,  hingga kisah penting ini terkesan mistis dan diragukan kebenarannya dalam ilmu sejarah yaitu faktor  bahasa dan faktor pemalsuan sumber sejarah.

Sekarang mari kita bahas 2 faktor penting sebagai petunjuk bahwa kisah pertemuan Imam Ali dan Kian Santang adalah fakta sejarah, dengan pembuktian-pembuktian berikut.

Faktor Agama

Penduduk Indonesia 1441 tahun yang lalu jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan luas kepulauan Nusantara. Hal ini bisa diketahui melalui sensus penduduk yang dilakukan pada awal abad ke-18, pulau Jawa dan Madura yang berpenduduk terpadat saja hanya berpenduduk 5 juta  orang..! Bisa di perkirakan jumlah penduduk di pulau Jawa 1000thn yang lalu, tentunya jauh lebih sedikit dibanding jumlah penduduk berdasarkan sensus tahun 1800an.

Semakin sedikit jumlah penduduk, otomatis semakin sedikit perbedaan keyakinan yang dianut. Adanya kesamaan keyakinan pada leluhur nusantara di masa lalu, bisa dilihat dari agama asli suku pedalaman dan agama Hindu Bali yang secara pemahaman dan ritual ibadah cenderung memiliki kesamaan antara satu dan lainnya, yaitu meyakini adanya Tuhan sebagai kekuatan tunggal yang maha segalanya yang tidak terlihat tapi ada.

Keyakinan akan Tuhan yang Maha Esa, kekuatan tunggal yang maha segalanya  ini adalah salah satu ciri bahwa mayoritas leluhur penduduk Indonesia adalah penganut agama tauhid, yang dalam ajaran Islam disebut dengan Millatu Ibrahim, atau dalam sebutan bahasa setempat disebut agama Dharma, Kapitayan, dan sabagainya yang meyakini adanya kekuatan tunggal yang maha segala atau Sang Hyang Widhi atau Dia yang Satu.  Adapun beragamnya ritual ibadah adalah karena pengaruh asimilasi budaya.

Berdasarkan sejarah Islam, Agama tauhid diajarkan oleh para nabi dan rasul yang diutus ke seluruh penjuru dunia. Setiap nabi dan rasul yang berjumlah 124 ribu ini diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia berupa ajaran-ajaran kebaikan, ritual ibadah, tata cara bermasyarakat, dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini kemudian dituliskan dalam kitab-kitab. Karena ajarannya tertulis dalam kitab inilah maka penganut agama tauhid disebut juga dengan Ahlul kitab atau pemilik kitab.

Ahlul Kitab adalah para pemeluk agama yang memiliki kitab bukan hanya agama Yahudi dan Kristen tapi juga termasuk Majusi, Hindu, Budha serta agama-agama lain yang tersebar di seluruh dunia, selama mereka masih mengakui adanya kekuatan Tunggal yang Maha segalanya.

Dalam Al Qur’an golongan Ahlul kitab disebutkan dalam beberapa ayat. Dalam sejarah nabi saw, dikisahkan tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi terakhir yang diketahui oleh pemeluk ahlul kitab jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad saw. peristiwa ini diketahui karena setiap kelahiran nabi disebutkan pada kitab-kitab mereka, termasuk kelahiran nabi Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam disebutkan pada awalnya agama di dunia ini hanya satu, kemudian terjadi perbedaan pendapat diantara umat manusia, hingga lahirlah berbagai macam agama dan aliran dalam agama (1). Ahlul kitab dan menyembah kepada Tuhan yang satu adalah ciri agama tauhid adapun beragamnya cara beribadah adalah hasil perbedaan pendapat tersebut yang harus dihormati dan di hargai, seperti yang dicontohkan  oleh nabi Muhammad saw.

Setelah masa kenabian Muhammad saw, ahlul kitab terbagi 2 golongan, mereka yang meyakini nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang tertulis dalam kitab-kitab mereka kemudian menjadi muslim, dan yang tidak meyakini tetap pada agamanya.

Sebagai bagian dari ajaran agama tauhid, sebagian penduduk Nusantara saat itu telah mengetahui kedatangan nabi terakhir berikut ciri-cirinya melalui kitab-kitab mereka yang ditulis dengan bahasa daerah mereka masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Ibrahim (14):4 Allah SWT berfirman, bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.(2)

Kisah tentang nubuat (ramalan) kedatangan nabi Muhammad tergambar jelas pada kisah pertemuan nabi saw ketika masih belia dengan Biarawan Bahira yang mengetahui detail ciri-ciri kenabian pada Muhammad kecil yang kelak akan menjadi rasul terakhir. Beberapa kisah sahabat nabi yang umum diketahui juga berkisah tentang beberapa tokoh sahabat yang awalnya beragama tauhid mencari sang nabi yang cirinya tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Para sahabat yang sengaja datang dari negeri yang jauh ke jazirah Arab untuk mencari sosok sang nabi diantaranya sahabat Bilal ra yang beragama tauhid dari Afrika, namun diperjalanan beliau dirampok dan dijual sebagai budak. Kisah Abu Dzar dari bani Ghiffar yang datang ke Mekkah untuk memastikan kedatangan nabi yang baru, demikian pula hal-nya dengan Salman al Farisi yang mengetahui detail kenabian Muhammad saw melalui kitab Injil, atau kisah penduduk Madinah, yang telah mengetahui Nabi Muhammad saw jauh sebelum nabi hijrah dan masih banyak lagi berita tentang kelahiran nabi Muhammad saw yang telah mereka ketahui dari kitab-kitab mereka, hanya saja diantara mereka ada yang menerima ada yang tidak.

Dari penggalan kisah nabi Muhammad saw diatas, pertemuan Kean Santang dan Imam Ali as atau Sayyidina Ali RA menjadi tidak aneh lagi. Sebagai seorang penganut tauhid, baik Kean Santang ataupun ayahnya sang Prabusiliwangi tentunya akan merasa terpanggil untuk melihat sang Nabi terakhir, Muhammad saw, yang namanya telah mereka ketahui dalam kitabnya, hingga kemudian memerintahkan putranya berguru langsung pada beliau saw.

Faktor perdagangan


Route perdagangan kuno dari negara Arab hingga ke China. Route ini digunakan sejak 200 SM hingga 1450an M. Dapat dilihat pada peta diatas, untuk mencapai Cina harus melewati pulau Sumatera terlebih dahulu. Route ini tetap di gunakan para utusan Rasul saw untuk melakukan syi’ar Islam hingga ke negeri-negeri yang jauh. Route ini pula yang digunakan dalam perjalanan hijrah kaum muslim bani Alawiyyin (keturunan nabi saw), kaum Syi’ah Ahlulbait dan dari keturunan para pengikutnya yang terjadi secara bergelombang.

Hubungan perdagangan yang terjadi antara penduduk Nusantara dan Jazirah Arab telah terjalin jauh sebelum kelahiran Rasul saw. penelitian tentang keterlibatan Nusantara dalam jalur perdagangan Internasional pada masa lalu cukup banyak, diantaranya adalah pendapat T.W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam yang menyatakan hubungan perdagangan antara Nusantara dengan Arab telah terjadi sejak abad ke- 2 SM. Sementara dalam buku Masuknya Islam ke Timur Jauh disebutkan tidak semua suku Arab yang melakukan hubungan dagang dengan Nusantara tapi hanya suku Quraisy dan leluhur Quraisy yaitu Kan’an serta beberapa suku tertentu dari Yaman yang melakukan hubungan dagang dengan para pelaut Nusantara. Seperti diketahui suku Quraisy adalah suku leluhur Rasulullah saw dan rasul saw sendiri pun di kenal sebagai pedagang ulung.  

Dari hubungan perdagangan dan agama ini, semakin wajarlah bila kedua tokoh ini memang pernah bertemu, hanya saja kisahnya mungkin tidak semistis dan segaib seperti yang kebanyakan kita ketahui di berbagai blog internet.

Imam Ali as adalah guru bagi Kian Santang, bukan hanya bertemu Imam Ali dan berguru pada beliau, dalam salah satu sumber yang kami dapatkan, Kean Santang juga belajar dan bertemu langsung dengan Rasul saw, setelah sebelumnya bertemu atau berpapasan dengan Imam Ali as. Peristiwa ini terjadi di Mekkah  sekitar tahun 630 M, setelah penaklukkan Mekkah oleh kaum muslim. (3)

Rasul saw kemudian memerintahkan Kean Santang untuk belajar Islam dengan Sayyidina Ali RA, hal ini pun bukan sesuatu yang aneh karena bisa di baca dalam kisah-kisah sejarah Rasul saw, Rasul saw biasa memerintahkan para sahabat pilihan untuk mengajarkan Islam bagi mereka yang baru mengenal Islam.

Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Dua nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang tersimpan di univ. al azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama Imam Ali.

Setelah di teliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah Kean Santang yang terjadi di jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain adalah Rakeyan Sancang. (4) 

Kesimpulan ini tentunya banyak menimbulkan opini dari berbagai kalangan pemerhati sejarah, karena jelas terjadi perbedaan tokoh utama, kisah yang beredar di masyarakat Sunda selama berabad-abad adalah ‘Kean Santang’ sementara tokoh yang bertemu dengan Imam Ali as, yaitu ‘Rakeyan Sancang’ pangeran jawa yang masa hidupnya satu masa dengan Imam Ali, lalu mana yang benar? Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Berikut adalah beberapa pembuktian yang kami dapatkan dari hasil penelitian kami tentang sejarah Islam di Sunda berdasarkan naskah-naskah kuno, situs purbakala, Mitos, legenda, kisah turun temurun, naskah silsilah, kajian ilmu Anthropologi, Filologi dan arkeologi yang kami dapatkan.

Pembuktian pertama tentu saja melalui penelusuran sumber, baik lisan, tulisan atau mengunjungi situs yang terkait dengan tokoh Kean Santang dan Prabusiliwangi.

Terdapat beberapa sumber tertulis berupa naskah kuno yang menjadi rujukan data tahun, dua diantaranya didapat dari naskah Wangsakerta dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang mengatakan bahwa Kean Santang adalah putra Prabusiliwangi yang hidup sekitar tahun 1400-1500-an Masehi, sementara fakta sejarah membuktikan pada kita Imam Ali hidup pada tahun 600M-663M, yang artinya jarak waktu antara Imam Ali dengan Kean Santang sekitar 900tahun! Dan tentunya mustahil secara ilmu sejarah kedua tokoh ini dapat bertemu.

Namun lain hal-nya dengan Rakeyan Sancang yang masa hidupnya kurang lebih satu masa dengan Imam Ali, hingga di tarik kesimpulan yang bertemu dengan Imam Ali adalah Rakeyan Sancang dan beliau adalah tokoh yang berbeda dengan Kean Santang. Kesimpulan ini diambil hanya berdasarkan perkiraan tahun yang tertera pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Benarkah demikian? Benarkah Rakeyan Sancang dan Kean Santang adalah 2 tokoh yang berbeda?

Bila benar demikian artinya kita telah membuang seluruh sumber lisan, tradisi dan budaya, situs pemakaman kuno yang tersebar merata di seluruh Indonesia, sejarah dan silsilah para tokoh muslim yang telah menjadi pemimpin di Jawa Barat sejak tahun 800-an Masehi. Tentu saja hal tersebut mustahil dilakukan dalam penelitian sejarah yang benar. (tentang pemakaman muslim kuno lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami tentang Cangkuang, Situs Hindu atau Islam? https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/02/12/cangkuang-situs-pemakaman-muslim-kuno-yang-terlupakan-1/)

Setelah kami pelajari dari penelitian Prof. Boechari (alm) seorang filolog yang cukup terkenal mengatakan bahwa kedua naskah diatas adalah 2 diantara ratusan naskah salinan yang dibuat atas perintah kolonial, jadi sangat memungkinkan pada kedua naskah ini terjadi penambahan dan pengurangan data sesuai pesanan pemerintah kolonial pada masa itu, masih menurut Prof. Boechari (alm), untuk mengetahui keotentikan isi ke-2 naskah tersebut harus melakukan seleksi dan perbandingan dengan data sejarah yang lain. (5)

Dari penelusuran inilah kami juga menemukan fakta sejarah penting mengenai tokoh Prabusiliwangi. Berdasarkan peninggalan bangunan,  silsilah dan kisah-kisah pada naskah kuno seperti Babad, Cariosan dan sebagainya, diketahui bahwa Prabusiliwangi pun sebenarnya hanya gelar yang digunakan untuk menyebut para penguasa yang adil di Nusantara dari masa ke masa, dari mulai zaman nabi Nuh as hingga Prabusiliwangi terakhir sebelum era kolonial yang mencapai puncak kejayaan pada tahun 1482-1521, dan inilah prabusiliwangi yang umumnya diketahui masyarakat saat ini.

Gelar prabusiliwangi yang lain yang umum diketahui dikalangan sejarawan atau pemerhati sejarah adalah Sang Sribaduga, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran, Dari gelar Haji dapat dipastikan bahwa Prabusiliwangi adalah seorang muslim atau penganut agama millatu Ibrahim yang juga melaksanakan haji di Mekkah jauh sebelum kelahiran agama Islam di Arab. Gelar ini tercantum dalam prasasti Batu Tulis di Bogor (6).


Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit (pertahanan) pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”

Mengenai prabusiliwangi, lebih lengkapnya InsyaAllah akan kami bahas dalam tulisan yang lain.

Rakeyan dari Sancang

Pembuktian kedua bisa dilihat melalui nama. Kian Santang adalah sebutan bukan nama. Kata Kian atau Kean awalnya berasal dari kata ‘Rakryan’ yang diambil dari bahasa sanskrta yang artinya pangeran atau pemimpin. Seiring dengan perubahan zaman, perpindahan kisah dari generasi ke generasi kata Rakryan menjadi kata Rakeyan, dari rakeyan menjadi Keyan, Kean dan Kian.

Dalam ilmu filologi perubahan kata adalah hal yang umum terjadi, kasus kata Rakryan sama seperti yang terjadi pada kata ‘raden’ yang berasal dari kata ‘Rahadyan’ yang berarti pemimpin (agama atau wilayah). Setelah kedatangan kaum muslim yang hijrah dari Arab dan persia sekitar tahun 600-800an Masehi, masuklah unsur arab kedalam kata Rahadyan menjadi Ra’Dien yang artinya kurang lebih sama, pemimpin agama, kata Ra’din kemudian berubah menjadi Raden. (7) Dari perjalanan kata Rakeyan menjadi Kian dan rahadyan menjadi Raden saja membutuhkan waktu ratusan tahun.

Hal yang sama pun terjadi dengan kata ‘Sancang’ seiring dengan perubahan dialek dan pengaruh yang lain dalam kisah turun temurun menjadi kata ‘Santang’. Sancang adalah nama kota kuno di Jawa Barat, yang lokasi-nya saat ini masih dapat kita kunjungi di hutan Sancang, Garut Selatan.

Gambar diatas adalah peta kecamatan di Garut. Makam berada di kecamatan Cisompet (no.40)

Jadi berdasarkan temuan diatas, kami menyimpulkan bahwa Keyan Santang/ Kian Santang dan Rakeyan Sancang adalah tokoh yang sama, yang dikisahkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga mengalami perubahan bunyi dan makna, yaitu yang pada awalnya hanya gelar menjadi nama.

Rakeyan Sancang sendiri bila dilihat dari arti bahasa, artinya pangeran yang berasal dari Sancang, menegaskan jabatan dan asal kota atau tempat dimakamkannya sang pangeran.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Sancang adalah kota kuno yang sekarang lokasinya berada di Garut Selatan dan terkenal dengan hutan/leuweung ‘Sancang-nya’. Kami mengetahui bahwa hutan Sancang adalah lokasi bekas pemukiman kuno, diantaranya ditandai dengan adanya kompleks pemakaman di dalam hutan Sancang.

Lokasi makam berada di puncak bukit. Pemandangan leuweung Sancang dari situs makam.
Makam Prabu Rakeyan Sancang. Berlokasi di situs Gunung Nagara, Sancang Garut. Gambar sekitar lokasi makam.
Lokasi makam berada di Padepokan Gunung Nagara.

Kisah Rakeyan Sancang dan pertemuannya dengan Imam Ali ra  dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk pantun maupun wayang, dan seperti umumnya tradisi lisan pasti mengalami penambahan, pengurangan isi kisah dan perubahan nama tokoh yang disesuaikan dengan dialek sang penutur.

Sumber tertulis yang ada sekarang umumnya adalah salinan yg dibuat pada era kolonial atau berdasarkan kisah turun temurun yang kemudian ditulis dalam bentuk pantun atau prosa. (tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis untuk lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami yang berjudul ‘nasib Sumber Sejarah Tertulis di Indonesia; https://sofiaabdullah.wordpress.com/category/sejarah/sumber-sejarah/)

Salah satu sumber tertulis yang kami dapatkan dari salah satu padepokan di Banten, mengenai kisah Kian Santang, yang lebih bisa diterima dalam ilmu sejarah mengatakan bahwa pertemuan antara Kian Santang dengan Imam Ali terjadi di Mekkah setelah peristiwa fathu Makkah/ penaklukkan Makkah (629 M) pertemuan ini memang di sengaja karena perintah dari sang ayah, Prabusiliwangi, agar putranya mencari guru yang ilmunya mumpuni.

Singkat kisah setelah mempelajari Islam langsung dari Rasul saw dan Imam Ali as, Kian Santang diperintahkan Rasul saw untuk mengabarkan ttg Islam atau syi’ar di tanah Jawa (Sunda).

Kisah prabusiliwangi yang berperang melawan anaknya sendiri, atau Prabusiliwangi yang berubah atau ‘ngahiang’ menjadi maung setelah kalah berperang dengan putranya sebenarnya tidak pernah ada, kisah-kisah tersebut hanyalah penambahan-penambahan yang dipaksakan dengan tujuan merusak data sejarah hingga tidak layak lagi di jadikan sumber, karena berdasarkan sumber dari Banten tadi Prabusiliwangi-lah justru yang memerintahkan putranya untuk berguru ke Imam Ali di Mekkah.

Peperangan antara ayah dan anak, ketika sang anak memilih Islam adalah kisah rekayasa buatan era kolonial untuk memperburuk citra Islam, kisah seperti ini terdapat hampir di setiap naskah kuno di Indonesia, karena memang mayoritas naskah-naskah ini buatan era kolonial, baik yang berbentuk buku atau lontar.

Kisah orang tua melawan anaknya setelah sang anak memeluk Islam yang terkenal selain Kian Santang dan Prabusiliwangi antara lain Raden Fatah berperang melawan ayahnya, raja Majapahit, Brawijaya V. Kisah Raden Fatah dan Brawijaya V dari Majapahit memiliki alur cerita yang hampir mirip dengan kisah Kian Santang dan Prabusiliwangi, dan beberapa kisah serupa yang kami temukan pada naskah-naskah kuno salinan dari Sumatera dan Kalimantan.

Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kisah-kisah yang hampir mirip ini pada dasarnya adalah kisah leluhur yang sama hanya saja dikisahkan pada lokasi yang berbeda dengan bahasa dan dialek yang berbeda, seperti yang di katakan pangeran Wangsakerta dalam naskah Wangsakertanya : “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya)

Malik al Hind & Rakeyan Sancang

pembuktian ketiga dari sejarah Islam. Berdasarkan hadits yang cukup terkenal dikisahkan tentang kedatangan seorang tokoh dari Hindia, tidak disebutkan nama tapi hanya gelarnya saja, Malik al Hind, yang artinya ‘penguasa dari Hindia’. Hindia adalah sebutan bagi kepulauan Nusantara sebelum dan sesudah era kolonial. Sebutan bagi anak benua India ratusan tahun lalu adalah Bharat, dan nama Bharat ini masih di gunakan hingga saat ini sebagai nama resmi India. Setelah masuk Islam Rasul saw mengganti nama Malik al Hind menjadi Abdullah as Samudri. (8)

Keberadaan sejarah Malik al Hind dalam sejarah Islam, menandakan adanya hubungan bilateral antara Rasul saw sebagai pemimpin kaum muslim dengan para pemimpin dari Nusantara (Hindia). Nama Abdullah, gelar as Samudri yang artinya dari Samudera, sebutan untuk kepulauan Nusantara dalam logat Arab, jelas menandakan adanya kesamaan dengan tokoh Kian Santang pada sejarah lokal yang setelah masuk Islam namanya menjadi Abdullah Iman.

Kisah yang kurang lebih sama dengan Kian Santang dalam tradisi lisan masyarakat Ciamis dikenal dengan nama Sanghyang Borosngora yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Iman. Tokoh ini dan putranya yang benama mbah Panjalu dimakamkan di Nusa Gede, situ Lengkong Panjalu, Ciamis.

Makam mbah Panjalu pitra dari Sang Hyang Borosngora, Lokasi pemakaman di pulau Nusagede di tengah Situ (danau) Lengkong. Sumber gbr : https://www.cicuit.my.id/2017/01/wisata-ziarah-ke-situ-lengkong-di.html?m=1

Adanya usaha pemalsuan sejarah Islam melalui sistem penyalinan dari naskah-naskah aslinya juga tidak bisa dianggap remeh, karena pemalsuan naskah = pemalsuan sejarah, masih menurut Boechari penyalinan ini tidak terbatas hanya pada naskah, namun juga terdapat pada prasasti dan bangunan atau situs-situs kuno.

Kisah-kisah yang tertulis untuk memperburuk citra Islam ini, jumlahnya sangat banyak dalam naskah-naskah salinan yang tersebar di Indonesia. Namun demikian walaupun naskah-naskah ini bukan naskah asli, bukan berarti naskah-naskah ini 100% palsu. Dari hasil penelusuran kami, masih banyak data-data yang asli yang terkandung dalam naskah, bahkan ada yang murni salinan dengan hanya sedikit penambahan dan pengurangan yang tidak menghilangkan makna aslinya. Beragamnya jenis naskah salinan inilah yang menuntut para pemerhati sejarah untuk berhati-hati dan selalu lakukan croschek info dengan sumber sejarah yang lain yang dapat dirujuk kebenarannya.

Mudah-mudahan sepotong kisah penelitian sejarah Islam yang sedang kami tekuni ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit kejelasan tentang sejarah Islam di tanah Sunda.

*catatan penulis

Tulisan ini adalah versi terbaru dari tulisan kami sebelumnya dengan judul yang sama. Tulisan kami sebelumnya  ditulis oleh penulis (SofiaAbdullah) tahun 2010 dan di bagikan di sosial media tahun 2016. Tulisan ini kami revisi dengan tambahan keterangan, sebagian buku-buku referensi dan adanya temuan-temuan terbaru kami yang belum masuk dalam tulisan sebelumnya. Temuan kami terbaru (2016-2020) diantaranya hadits nabi tentang malik al Hind dan beberapa hadits tentang Hindia, penafsiran Saka yang menurut penelusuran kami jauh lebih tua dari konversi Saka yang ada saat ini dan temuan rute perdagangan jalur laut yang melalui Nusantara.

Bagi para pembaca yang pernah membaca tulisan edisi sebelumnya, mohon di informasikan untuk diganti dengan tulisan terbaru kami ini, terimakasih.

Catatan kaki dan Buku-Buku Referensi

(1) Q.s Al Baqarah : 213

(2) Firman Allah SWT dalam al Qur’an QS. Ibrahim 14: Ayat 4:

وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَا نِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

(3) Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)

(4) menurut IR Haji Dudung Faiturahman, Rakeyan Sancang adalah putra dari  raja Kertawarman, penguasa Tarumanegara VIII dari tahun 561-628 M. tapi berdasarkan penelusuran penulis, Rakeyan Sancang adalah gelar pemimpin atau putra penguasa daerah Sancang. Adapun siapa nama tokoh dibalik gelar Rakeyan Sancang ini ada beberapa kemungkinan yang masih dalam penelusuran kami lebih lanjut. Dari hasil temuan kami ada perbedaan dalam penafsiran tahun saka, itu sebabnya kami belum mendapatkan nama penguasa adil (prabusiliwangi) dan nama asli Rakeyan Sancang sebelum masuk Islam yang dikenal penduduk setempat yang hidup pada masa Rasulullah saw.

(5) Kumpulan Tulisan Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, penrbit KPG, Jakarta 2012

(6) Berdasarkan teori era kolonial, dan menurut pendapat beberapa sejarawan, gelar Haji yang banyak tercantum setelah gelar jabatan (Ratu, Adipati dsb) seperti dalam gelar Prabusiliwangi; ratu haji di pakwan pajajaran diartikan sebagai gelar raja/kaum bangsawan yang bermakna sama dengan Aji. Tapi Dalam kamus Jawa Kuno Zoetmoulder 2 kata ini adalah 2 kata dengan arti yang berbeda. Haji dalam kamus jawa kuno berarti raja, keluarga raja, pangeran, Seri Baginda, Yang Mulia. Contoh penggunaan kata haji dalam naskah kuno: Ad 8, 17; Udy&RY 12,23; AW&TK 98. Passim : Stri haji, bini haji, kadaņ haji, bapa haji, ibu haji, bhrtya haji, kuti haji, pakis haji, tapa haji, bwat haji. Cara penggunaanya khusus; tidak pernah di dahului ņ, sang, sri dsb (Zoetmulder, 327)
Sementara kata ‘aji’ artinya kitab suci, teks suci, teks yang berwenang,mis. Peraturan2 utk brahman, instruksi ttg administrasi, politik, ptaktek kekuasaan,dll; formula dengan kekuatan  magis atau sangat suci (Zoetmulder, hal. 17). Aji memiliki arti yang sama dengan haji hanya dalam kidung bukan dalam kakawin, karena dalam kidung diperbolehkan adanya pemotongan huruf. Dari hasil pengamatan kami kata haji lebih sesuai untuk kata ‘haji’ yang artinya gelar bagi mereka yang telah melakukan ibadah haji di Mekkah. Ibadah haji adalah salah satu ritual agama Tauhid uang telah ada sejak masa nabi Ibrahjm as. Pembahasan gelar haji akan kami bahas dalam tulisan kami berikutnya yang khusus membahas gelar haji ini, InsyaAllah.

(7) Rakeyan berasal dari kata Rakryan. Kata ini digunakan untuk menunjukkan pangkat atau kt benda kategorik (apatih,tumenggung, dll); dipakai dalam sapaan sopan atau kpd orang yang lebih muda, kakak pd adik, suami pada isteri. (Zoetmulder,hal. 911) Kata raden berasal dari kata ra+hadyan, radyan, rahaden, raden artinya orang yang berstatus tinggi, raja/tuan, orang berpangkat atau tinggi martabatnya, cth : raden mantri, raden Wijaya, raden Galuh, raden Arya (Zoetmulder, hal. 327)

(8) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (kitab al-‘At’imah Vol. 4, halaman 150), dari sahabat Sa’id al-Khudri r.a, disebutkan bahwa ada seorang raja dari negeri India (al-hind) yang datang membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa tembikar yang berisi jahe. Hadits tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مَلِكُ الْهِنْدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَرَّةً فِيهَا زَنْجَبِيلٌ فَأَطْعَمَ أَصْحَابَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً وَأَطْعَمَنِي مِنْهَا قِطْعَةً

Artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: ada seorang raja dari Hindia memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi makan kepada sahabat–sahabatnya dari jahe tersebut sepotong demi sepotong, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberikan saya sepotong jahe dari dalam tembikar itu” (HR. Hakim, hadits nomor. 7190)

Buku-Buku Referensi

  1. Al Husaini al hamid H. M. H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw, Cet. XI 2006, Pustaka Hidayah.
  2. Subhani, Ja’far, Sejarah Nabi Muhammad SAW = Ar Risalah/Ja’far Subhani; penerjemah, Muhammad Hasyim&Meth Kieraha; penyunting, Tim Lentera, cet. 8, Jakarta; Lentera 2009
  3. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.
  4. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.
  5. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.
  6. Aceh. Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.
  7. Al Jibouri. Yasin. T,Konsep Tuhan Menurut Islam, Cet. 1, 1997, Ansariyan Publication Qum Iran
  8. Tjandrasasmita,Uka, Arkeologi Islam Nusantara, penerbit KPG, Jakarta 2009
  9. Ekadjati. Edi. S, Pustaja Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanalogi). Direktorat Jendral Kebudayaan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 (Naskah Wangsakerta)
  10. Ekadjati. Edi. S, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, 2005.
  11. Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Cet.1,2012, Kepustakaan Popular Gramedia.
  12. Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Cet 2, Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  13. Raffles. Thomas. Stamford, The History Of Java, Cet. 3, Yogyakarta, Narasi,2014
  14. Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)
  15. Zoetmulder, P.J, S.O Robson, Kamus Jawa Kuna-Indonesia; penerj.Darusuprapta, Sumarti Suprayitna-Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1995.
  16. Al Kharbuthli Ali Husni Prof Dr, Sejarah Kabah, cet. 3, 2013, Khazanah Pustaka Islam.
  17. Dan berbagai sumber lain baik berupa buku atau situs online terkait, yang jumlahnya terlalu banyak bila kami sebutkan semua di artikel ini.

SUMBER:
Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang – Sofia Abdullah (wordpress.com)

Tinggalkan komentar

Wali Sangha

📚 MANAKAH YANG BENAR: “WALI SANGA (WALI SONGO)” ATAUKAH “WALI SANGHA”

Oleh: Syansanata Ra
(Yeddi Aprian Syakh al-Athas)

*Tulisan ini diturunkan sebagai pengantar dari kajian tentang Kutub Selatan (Sarishma / Antartika).

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Wahai Saudaraku, sudah menjadi pengetahuan “mainstream” yg diamini oleh masyarakat umum, khususnya oleh masyarakat Tanah Jawa dimana ketika kita menyebut kata “WALI SANGA” maka tentunya akan langsung dimaknai sebagai sekumpulan waliyullah penyebar Islam di Tanah Jawa yg berjumlah 9 (sembilan) orang.

Namun tahukah Anda bahwa WALI SANGA ini ternyata tidaklah berjumlah 9 (sembilan) orang sebagaimana kita ketahui selama ini.

WALI SANGA sebenarnya merupakan sebuah Majelis Perkumpulan Para Ulama yg menyebarkan Islam di Tanah JAWI, analognya semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini.

Istilah WALI SANGA sendiri merupakan gabungan dari dua kata yg berbeda etimologi (asal usul bahasa), yakni kata WALI yg berasal dari Bahasa Arab WALIY (ولي) yang bentuk jamaknya adalah AULIYA (أَوْلِيَاءَ) yg bermakna WALIJAH (وَلِيجةُ) yang bermakna “orang kepercayaan, khusus dan dekat”, dan kata SANGA yg berasal dari Bahasa Pali (Prakrit) SANGHA yang bermakna “perkumpulan suci”. Sehingga secara etimologi, kata WALI SANGA yg berasal dari gabungan kata WALIY dan SANGHA bermakna “perkumpulan orang-orang yang suci”.

Pemaknaan inilah yang harus diluruskan terlebih dulu dari sebuah terminologi WALI SANGA.

Lantas apakah WALI SANGA itu terdiri dari 9 (sembilan) orang? Tentu hal ini juga keliru.

Mengapa?

Karena ketika kita merujuk kepada berbagai referensi naskah-naskah kuno tentang WALI SANGA, maka kita akan dibuat bingung olehnya.

Misalnya, dalam naskah Serat Suluk Walisana yg berbentuk Tembang Asmaradana, yg ditulis oleh Sunan Giri II, disebutkan bahwa WALISANA (sebutan untuk WALI SANGA) itu berjumlah 8 (delapan) orang, yakni diantaranya:

  1. Sunan Ampel.
  2. Sunan Gunung Jati.
  3. Sunan Ngudung.
  4. Sunan Giri di Giri Gajah.
  5. Sunan Makdum di Bonang.
  6. Sunan Alim di Majagung.
  7. Sunan Mahmud di Drajat.
  8. Sunan Kali.

Sedangkan dalam naskah Babad Tanah Djawi disebutkan bahwa WALI SANGA berjumlah 9 (sembilan) orang, yakni diantaranya:

  1. Sunan Ampel.
  2. Sunan Bonang.
  3. Sunan Giri.
  4. Sunan Gunung Jati.
  5. Sunan Kalijaga.
  6. Sunan Drajat.
  7. Sunan Udung.
  8. Sunan Muria.
  9. Syekh Maulana Maghribi.

Sementara dalam naskah Babad Tjirebon disebutkan bahwa WALI SANGA juga berjumlah 9 (sembilan) orang, namun berbeda dengan sembilan orang WALI SANGA yg disebutkan dalam Babad Tanah Djawi, yakni diantaranya:

  1. Sunan Bonang.
  2. Sunan Giri Gajah.
  3. Sunan Kudus.
  4. Sunan Kalijaga.
  5. Syekh Majagung.
  6. Syekh Maulana Maghribi.
  7. Syekh Bentong.
  8. Syekh Lemah Abang.
  9. Sunan Gunung Jati Purba.

Nah, perbedaan nama-nama anggota WALI SANGA inilah yg kemudian menimbulkan kesulitan untuk mengidentifikasi siapakah sebenarnya para ulama yg termasuk dalam perkumpulan orang suci yg bernama WALI SANGA ini sebagaimana makna aslinya yg berasal dari kata WALIY SANGHA.

KH. Agus Sunyoto dalam bukunya yg berjudul “Atlas Wali Songo” menyebutkan bahwa konsep WALI SANGA, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yg secara umum oleh kalangan penganut Sufisme diyakini meliputi 9 (sembilan) tingkat kewalian, yg oleh Syekh Muhyiddin Ibnu Araby dalam kitabnya yg berjudul “Futuhat al-Makkiyyah” dijabarkan sebagai berikut:

  1. Wali Quthub, yakni pemimpin para wali di alam semesta.
  2. Wali Aimmah, yakni pembantu Wali Quthub dan sekaligus menggantikannya jika wafat.
  3. Wali Autad, yakni wali penjaga empat arah penjuru mata angin.
  4. Wali Abdal, yakni wali penjaga tujuh musim.
  5. Wali Nuqaba, yakni wali penjaga hukum syari’at.
  6. Wali Nujaba, yakni wali yg hanya berjumlah tujuh orang pada setiap zaman.
  7. Wali Hawariyyun, yakni wali pembela kebenaran agama.
  8. Wali Rajabiyyun, yakni wali yg karomahnya muncul setiap Bulan Rajab.
  9. Wali Khatam, yakni wali yg mengurus wilayah kekuasaan Umat Islam.

Nah dalam upaya dakwah Islam yg disebarkan oleh WALI SANGA dengan prinsip dakwah “al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah” (unsur-unsur budaya lokal yang beragam dan dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid kemudian diserap ke dalam dakwah Islam) dan prinsip dakwah “maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan” (menyampaikan Islam dengan cara dan tutur bahasa yang baik) inilah kemudian konsep 9 (sembilan) tingkat kewalian yg sufistik dari Syekh Muhyiddin Ibnu Araby diadopsi dan diadaptasi untuk menggantikan konsep DEWATA NAWA SANGHA yg memang telah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA ini diabadikan dalam Rontal Bhūwanakośa yg ditulis dalam Bahasa Kawi (Bahasa Jawa Kuno) sebagai nama-nama Dewa penjaga delapan arah penjuru mata angin, yakni:

  1. Arah Timur : Dewa Iśwara.
  2. Arah Tenggara : Dewa Maheśwara.
  3. Arah Selatan : Dewa Brahmā.
  4. Arah Barat Daya : Dewa Rudra.
  5. Arah Barat : Dewa Mahādewa.
  6. Arah Barat Laut : Dewa Śangkara.
  7. Arah Utara : Dewa Wishnu.
  8. Arah Timur Laut : Dewa Śambhu.

Ditambah satu orang Dewa penjaga titik pusat, yakni:

  1. Arah Tengah : Dewa Śiwa.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA itu sendiri sebenarnya merujuk kepada Tuhan Yang Acintya, yakni Tuhan Yang Tidak Bernama, yg kemudian dinamai dengan nama Dewa-Dewa.

Mari kita simak…

  1. Timur : Dewa Iśwara.
    Makna dari kata Iśwara adalah “Yang Berkuasa”.
  2. Tenggara : Dewa Maheśwara.
    Makna dari kata Maheśwara adalah “Yang Maha Berkuasa dari Segala Yang Berkuasa“.
  3. Selatan : Dewa Brahmā.
    Makna dari kata Brahmā adalah “Yang Menciptakan”.
  4. Barat Daya : Dewa Rudra.
    Makna dari kata Rudra adalah “Yang Menghapus Kesedihan”.
  5. Barat : Dewa Mahādewa.
    Makna dari kata Mahādewa adalah “Cahaya dari Segala Cahaya”.
  6. Barat Laut : Dewa Śangkara.
    Makna dari kata Śangkara adalah “Yang Maha Beruntung“.
  7. Utara : Dewa Wishnu.
    Makna dari kata Wishnu adalah “Yang Maha Meliputi”.
  8. Timur Laut : Dewa Śambhu.
    Makna dari kata Śambhu adalah “Yang Maha Mewujudkan Keberuntungan”.
  9. Tengah : Dewa Śiwa.
    Makna dari kata Śiwa adalah “Yang Maha Suci”.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA ini sesuai dengan apa yg dinyatakan dalam Kitab Rêgweda,

“Sungguh Dia Bapa kami yang sesungguhnya, Pembuat kami yang sesungguhnya, Penguasa kami yang sesungguhnya. Siapa yang mengetahui semua tentang Dia? Dia yang Tunggal, Dewa yang digelari dengan NAMA-NAMA DEWA. Dia pula yang dituju oleh semua yang ada dengan penuh tanya.”
( Kitab Rêgweda:10:82 )

Dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA inilah kemudian lahir SURYA MAJAPAHIT sebagai lambang kebesaran Kerajaan Majapahit.

Dan Konsep kosmologi DEWATA NAWA SANGHA inilah yang oleh WALI SANGA dalam upaya dakwahnya kemudian diadaptasi menjadi konsep WALI NAWA SANGHA, dimana kedudukan sembilan manusia adikodrati penjaga delapan arah mata angin plus satu titik pusat yg dikenal sebagai DEWA, kemudian digantikan oleh sembilan manusia-manusia yg dicintai Tuhan yg dikenal dengan istilah AULIYA (أَوْلِيَاءَ), bentuk jamak dari kata tunggal WALIY (ولي).

Sampai disini akhirnya kita menjadi paham bahwa ternyata konsep WALI SANGA sebenarnya merupakan adaptasi dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Dewa) yg bersifat Hinduistik menjadi Konsep WALI NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Wali) yg bersifat Sufistik.

Dalam catatan sejarah, keberadaan tokoh-tokoh WALI SANGHA ini selain diposisikan sebagai WALIYULLAH yakni orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah, pada kenyataannya ternyata mereka juga diposisikan sebagai WALIYUL ‘AMRI, yakni orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum Umat Islam dan sekaligus sebagai pemimpin masyarakat yg berwenang menentukan dan memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian maupun dalam bidang keagamaan.

Dari sinilah kemudian tokoh-tokoh WALI SANGHA ini dijuluki dengan gelar SUHUNAN yg diambil dari kata SUHUN – KASUHUN – SINUHUN yg dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti “menjunjung” atau “menghormati” yg lazimnya dipakai sebagai gelar untuk menyebut seorang “Guru Suci” (mursyid thariqah dalam Islam) yg punya kewenangan melakukan upacara penyucian yg disebut DIKSHA dalam Agama Hindhu (sepadan dengan kata BAI’AT dalam Agama Islam). Dalam perjalanan waktu, gelar SUHUNAN ini kemudian mengalami transliterasi bahasa menjadi SUNAN.

Jika Konsep DEWATA NAWA SANGHA diadopsi menjadi SURYA MAJAPAHIT sebagai lambang kebesaran Kerajaan Majapahit yg wilayah kekuasaannya mencakup delapan penjuru mata angin dimana Pulau Jawa menjadi pancer atau titik pusatnya, maka demikian pula halnya dengan Konsep WALI NAWA SANGHA yg mengadopsi SURYA MAJAPAHIT dimana kedudukan WALI SANGHA harus mampu menjadi Pembawa Cahaya Islam yg mampu menerangi delapan penjuru mata angin Bhumi Nusantara dimana Pulau Jawa berkedudukan sebagai pancer atau titik pusat dakwahnya.

Dari awalnya Dakwah Islam hanya dilakukan oleh Syekh Jumadil Kubro (kakek Sunan Ampel), Syekh Maulana Ishaq (ayahanda Sunan Giri), dan Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang) sebagai generasi pertama WALI SANGA di wilayah Nusantara yg mencakup: Malaka (Malaysia), Pasai (Aceh) dan Ampeldenta (Surabaya), lalu pada generasi WALI SANGA pasca bergabungnya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri, Dakwah Islam pun kemudian terus meluas ke segenap penjuru wilayah Nusantara yang mencakup: Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar (Kalimantan), Lombok (NTB), Timor (NTT), Makassar (Sulawesi), Ambon (Maluku) hingga sampai ke Fakfak (Papua).

Catatan tambahan:
Dalam Kitab “Kanzul Ulum” yg ditulis oleh Ibnu Bathuthah, yg naskah aslinya masih tersimpan di perpustakaan Istana Kesultanan Ottoman di Istanbul, Turki, disebutkan bahwa pembentukan WALI SANGA ternyata dilakukan oleh Sultan Turki yg bernama Sultan Muhammad I sebagai sebuah tim khusus yg membawa Misi Dakwah Islam di Pulau Jawa yg anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang, yakni diantaranya:

  1. Syekh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki.
  2. Syekh Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand.
  3. Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir.
  4. Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi, berasal dari Maroko.
  5. Syekh Maulana Malik Isra’il, berasal dari Turki.
  6. Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Iran.
  7. Syekh Maulana Hasanuddin, berasal dari Palestina.
  8. Syekh Maulana Aliyuddin, berasal dari Palestina.
  9. Syekh Subakir, berasal dari Iran.

Kesembilan Ulama yg tergabung dalam struktur WALI NAWA SANGHA inilah yg menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESATU, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1404-1435 Masehi.

Ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 Masehi, maka pada tahun 1421 Masehi dikirimlah seorang Ulama pengganti yang bernama Ahmad Ali Rahmatullah, anak dari Syekh Ibrahim Asmarakandi yg menjadi menantu Sultan Campha (sekarang Thailand Selatan), yg juga masih keponakan dari Syekh Maulana Ishaq.

Karena masih kerabat istana, maka Ahmad Ali Rahmatullah yg kerap dipanggil dengan nama Raden Rahmat kemudian diberi daerah perdikan di Ampeldenta (Surabaya) oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Dari sinilah kemudian Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat dikenal dengan nama Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel).

Dengan masuknya Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel) ke dalam struktur WALI NAWA SANGHA, maka Prabu Kerta Wijaya yg saat itu menjadi Raja Kerajaan Majapahit diharapkan dapat masuk Islam. Dialog antara Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel) yang mengajak Prabu Kerta Wijaya masuk Islam ini tertulis dalam Serat Suluk Walisana, Sinom Pupuh IV, bait 9-11 dan bait 12-14.

Selanjutnya pada tahun 1435 Masehi, ada dua orang anggota Dewan WALI SANGA yang wafat, yaitu Syekh Maulana Malik Isra’il dari Turki dan Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar dari Iran. Dengan meninggalnya kedua anggota Dewan WALI SANGA ini, maka kemudian Dewan WALI SANGA mengajukan permohonan kepada Sultan Turki yg saat itu dijabat oleh Sultan Murad II (menggantikan Sultan Muhammad I) untuk dikirimkan dua orang Ulama Pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.

Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 Masehi, dikirimlah 2 (dua) orang Ulama, yaitu :

  1. Sayyid Ja’far Shadiq, berasal dari Palestina, yg selanjutnya bermukim di Kudus dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus), bertugas menggantikan Syekh Maulana Malik Isra’il. Dalam Babad Demak disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shadiq adalah satu-satunya anggota WALI SANGA yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
  2. Syarif Hidayatullah, yg juga berasal dari Palestina, yg selanjutnya bermukim di Gunung Jati, Cirebon dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), bertugas menggantikan Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran hasil perkawinan Nyi Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah Umdatuddin dari Mesir.

Dengan masuknya Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus) dan Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEDUA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1435-1462 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1462 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Syekh Maulana Hasanuddin dan Syekh Maulana Aliyuddin, keduanya berasal dari Palestina. Kemudian, pada tahun 1463 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Subakir, yg berasal dari Persia dan Syekh Maulana Ishaq, yg berasal dari Samarqand.

Dalam sidang Dewan WALI SANGA di Ampeldenta (Surabaya) tahun 1463 Masehi, kemudian diputuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Raden Makdum Ibrahim, putra Susuhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), yg selanjutnya bermukim di desa Bonang, Tuban, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang), bertugas menggantikan Syekh Maulana Hasanuddin.
  2. Raden Qasim, juga merupakan putra putra Susuhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), yg selanjutnya bermukim di Lamongan, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan Drajat (Sunan Drajat), bertugas menggantikan Syekh Maulana Aliyuddin.
  3. Raden Paku, putra Syekh Maulana Ishaq, yg selanjutnya bermukim di Giri Kedaton, Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Syekh Maulana Ishaq.
  4. Raden Mas Said, putra Adipati Tuban, yg bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur, yg selanjutnya bermukim di Kadilangu, Demak dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), bertugas menggantikan Syekh Subakir.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KETIGA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1463-1465 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1465 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra, yg berasal dari Mesir dan Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi, yg berasal dari Maroko, disusul kemudian pada tahun 1481 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), dan terakhir pada tahun 1505 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton).

Dewan WALI SANGA kemudian kembali mengadakan sidang yang juga diadakan di Ampeldenta (Surabaya) untuk memutuskan memasukkan dua orang anggota baru dan mengganti ketua Dewan WALI SANGA yang sudah berusia lanjut.

Ketua Dewan WALI SANGA yang dipilih dalam sidang tersebut adalah Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), sedangkan 4 (empat) orang anggota baru yang masuk adalah:

  1. Raden Fatah, putra Raja Majapahit Prabhu Brawijaya V, yang merupakan Adipati Demak, bertugas menggantikan Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra.
  2. Fathullah Khan, putra Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), bertugas menggantikan Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi.
  3. Sayyid Abdul Jalil, yg kemudian setelah menjadi anggota Dewan WALI SANGA, dikenal dengan julukan Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah; Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar karena beliau tinggal di daerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan. Beliau bertugas menggantikan Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel).
  4. Raden Faqih, yg kemudian dikenal dengan nama Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II), bertugas menggantikan kakak iparnya, yakni Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton).

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEEMPAT, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1466-1513 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1513 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), dan disusul kemudian pada tahun 1517 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar, dan disusul kemudian pada tahun 1518 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Fatah, dan terakhir pada tahun 1525 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Makdum Ibrahim atau Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang),

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Raden Umar Said, putra Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), yg selanjutnya bermukim di Gunung Muria dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Muria (Sunan Muria), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga).
  2. Syekh Abdul Qahhar, yg selanjutnya bermukim di Sedayu dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar.
  3. Sultan Trenggana, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Fatah.
  4. Raden Husamuddin, yg selanjutnya bermukim di Lamongan dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan), bertugas menggantikan kakaknya, yakni Raden Makdum Ibrahim atau Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang).

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KELIMA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1514-1533 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1533 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Qasim atau Susuhunan Drajat (Sunan Drajat), dan disusul kemudian pada tahun 1540 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Faqih atau Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II), dan teeakhir pada tahun 1546 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sultan Trenggana.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 3 (tiga) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Sunan Pakuan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Qasim atau Susuhunan Drajat (Sunan Drajat).
  2. Raden Zainal Abidin, yg selanjutnya bermukim di Demak dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Demak (Sunan Demak), bertugas menggantikan kakaknya, yakni Raden Faqih atau Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II).
  3. Sunan Prawoto, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sultan Trenggana.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEENAM, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1534-1546 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1549 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sunan Prawoto, disusul kemudian pada tahun 1550 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus), dan disusul kemudian pada tahun 1551 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Umar Said atau Susuhunan ing Muria (Sunan Muria), dan disusul kemudian pada tahun 1569 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), dan disusul kemudian pada tahun 1570 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Zainal Abidin atau Susuhunan ing Demak (Sunan Demak), dan Raden Husamuddin atau Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan), dan Sunan Pakuan, dan disusul kemudian pada tahun 1573 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Fathullah Khan, dan terakhir pada tahun 1582 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet atau Jaka Tingkir.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 9 (sembilan) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet, yg kemudian dikenal dengan nama Jaka Tingkir, bertugas menggantikan Sunan Prawoto.
  2. Sayyid Amir Hasan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus).
  3. Sayyid Saleh, putera dari Sayyid Amir Hasan, yg kemudian dikenal dengan nama Panembahan Pekaos, bertugas menggantikan kakek dari pihak ibunya, yakni Raden Umar Said atau Susuhunan ing Muria (Sunan Muria).
  4. Maulana Hasanuddin, yg selanjutnya bermukim di Banten dan selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin Banten, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati).
  5. Sunan Giri Prapen, putera dari Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), bertugas menggantikan Raden Zainal Abidin atau Susuhunan ing Demak (Sunan Demak).
  6. Sunan Mojo Agung, bertugas menggantikan Raden Husamuddin atau Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan).
  7. Sunan Cendana, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Sunan Pakuan.
  8. Maulana Yusuf, cucu dari Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), yg selanjutnya bermukim di Banten dan selanjutnya dikenal dengan nama Syekh Maulana Yusuf Banten, bertugas menggantikan pamannya, yakni Fathullah Khan.
  9. Raden Pratanu Madura, yg juga dikenal dengan nama Sayyid Yusuf Anggawi, bertugas menggantikan Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet atau Jaka Tingkir

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KETUJUH, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1547-1591 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1599 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Abdul Qahhar atau Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu), disusul kemudian pada tahun 1650 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sunan Mojoagung, Sunan Cendana, dan Sunan Giri Prapen.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Syekh Abdul Qadir, yg selanjutnya bermukim di Magelang dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang), bertugas menggantikan Syekh Abdul Qahhar atau Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu).
  2. Syekh Samsuddin Abdullah Al-Sumatrani, bertugas menggantikan Sunan Mojo Agung.
  3. Syekh Abdul Ghaffur bin Abbas Al-Manduri, bertugas menggantikan Sunan Cendana.
  4. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, bertugas menggantikan gurunya, yakni Sunan Giri Prapen.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEDELAPAN, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1592-1650 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1740 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Amir Hasan, disusul kemudian pada tahun 1749 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, dan disusul kemudian pada tahun 1750 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Abdul Qadir atau Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang), Syekh Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin Banten, Syekh Maulana Yusuf Banten dan Sayyid Saleh atau Panembahan Pekaos.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 6 (enam) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Syekh Nawawi Al-Bantani, bertugas menggantikan Sayyid Amir Hasan.
  2. Syekh Shihabuddin Al-Jawi, bertugas menggantikan Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi.
  3. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, bertugas menggantikan Syekh Abdul Qadir atau Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang).
  4. Syekh Abdul Mufahir Muhammad Abdul Kadir, bertugas menggantikan kakek buyutnya, yakni Syekh Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin Banten.
  5. Syekh Abdul Rauf Al-Bantani, bertugas menggantikan Syekh Maulana Yusuf Banten.
  6. Syekh Ahmad Baidhawi Azmatkhan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Saleh atau Panembahan Pekaos.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESEMBILAN, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1651-1750 Masehi.

Selanjutnya pada periode tahun 1751-1830 Masehi, Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 7 (tujuh) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Pangeran Diponegoro, bertugas menggantikan gurunya, yakni Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
  2. Sentot Ali Basah Prawirodirjo, bertugas menggantikan Syekh Shihabuddin Al-Jawi.
  3. Kyai Mojo, bertugas menggantikan Raden Pratanu Madura atau Sayyid Yusuf Anggawi.
  4. Kyai Hasan Besari, bertugas menggantikan Syekh Abdul Rauf Al-Bantani.
  5. Abdul Fattah, yg juga dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa Banten, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Syekh Abdul Mufahir Muhammad Abdul Kadir.
  6. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, bertugas menggantikan Syekh Abdul Ghaffur bin Abbas Al-Manduri.
  7. Bhujuk Lek Palek, yg dikenal juga dengan nama Sayyid Abdur Rahman, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Syekh Ahmad Baidhawi Azmatkhan.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESEPULUH, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1751-1830 Masehi. Dan sejak periode tahun 1830-1900 Masehi, Dewan WALI SANGA kemudian dibekukan oleh Kolonial Belanda.

Sampai disini akhirnya kita benar-benar menjadi paham bahwa ternyata konsep WALI SANGA itu adalah adaptasi dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Dewa Penjaga Delapan Penjuru Mata Angin dan Satu Titik Pusat) yg bersifat Hinduistik menjadi Konsep WALI NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Wali Yang Mencakup Wilayah Dakwah Delapan Penjuru Mata Angin Nusantara dan Satu Titik Pusat Pulau Jawa) yg bersifat Sufistik.

Demikian dan Semoga Bermanfaat.

Wallahu ta’ala ‘alamu bishshawab.

Mohon maaf atas kekhilafan dan kesalahan yang datangnya dari diri saya pribadi.

Sarwa Rahayu,
Jaya Jayanti Nusantaraku,
🙏🙏🙏

Bhumi Ma-Nuuwar al-Jawi
Senin, 9 Maret 2020 Masehi.
Itsnain, 14 Rajab 1441 Hijriah.
Senin Wage, 14 Rejeb Tahun Wawu 1953 Jawa.

Tinggalkan komentar

. FPI, HTI DAN KHILAFAH HANYALAH ALASAN UNTUK MELEGALKAN FASISME & MEMPERTAHANKAN DOMINASI KAUM TAMAK DINEGRI INI

oleh
Tito Gtsu
.
FPI, HTI DAN KHILAFAH HANYALAH ALASAN UNTUK MELEGALKAN FASISME & MEMPERTAHANKAN DOMINASI KAUM TAMAK DINEGRI INI

Zaman Orde Baru, muslim Indonesia terpolarisasi menjadi tiga kelompok, NU, Muhammadiyah, dan selain keduanya . Tapi peta gerakan Islam, pasca runtuhnya rezim militer Orba Tahun 1998, berubah drastis. Golongan islam tumbuh bak jamur di musim hujan. Menarik diamati.

Sekarang ini, kita banyak menyaksikan muncul golongan muslim baru. Anehnya, meski baru hadir di bumi pertiwi, gerakan baru ini mempertanyakan dasar negara Indonesia: kenapa Indonesia memilih Pancasila padahal muslim menjadi pemeluk mayoritas di negeri ini? Itulah retorikanya, “mayoritas”. Mereka lalu berkampanye “mimpi-mimpi”: Khilafah Islamiyah atau NKRI bersyari’ah. Narasinya mulai dari ide penyatuan politik hingga obsesi kehidupan pribadi yang islami: parfume halal, pengobatan dan cara berpakaian Nabi, dan lain sebagainya. Bagi anak-anak yang terlahir tahun 1990an, baru menginjak remaja sekitar awal tahun 2000an, ide-ide tersebut cukup mendapat sambutan. Bahkan, mereka memang menarget anak-anak yang baru lahir kemarin sore, dengan mengajari anak-anak balita teriak “kami muslim, mereka kafir”.

Bagi orang yang sudah dewasa, terlebih mengikuti dinamika keislaman dan perpolitikan negeri ini, ide negara Islam bukanlah hal baru. Ide negara Islam sudah selesai “dihentikan” dengan Pancasila. Kita bisa melihat dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh bangsa yang tergabung dalam BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang undang dasar negara, kemudian dilanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Tim 9 piagam Jakarta (tokoh Islam diwakili oleh KH Wahid Hasyim (NU), KH Agus Salim (Muhammadiyah) dan Kahar Muzakkar (DI) berdiskusi alot tentang penerimaan pancasila dan redaksi sila pertama yang semula berbunyi:

“Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bukan Allah yang Maha Esa.

Sayangnya Amerika Serikat ikut membantu munculnya Darul Islam (DI) dengan Tentara Islam Indonesia (TII) berawal dari ketidakpuasan S.M. Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar atas dasar negara Indonesia Pancasila dan penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta sehingga pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat mendeklarasikan Darul Islam (DI) bersama Tentara Islam Indonesia (TII) dengan cita-cita menerapkan syariat Islam, DI/TII mendapatkan pengaruh dan melakukan pembrontakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, pada akhirnya setelah 13 tahun membrontak tahun 1962 Darul Islam dapat dipadamkan.

Pendiri bangsa bukan dengan cara sembarangan telah menetapkan Pancasila, Pancasila sudah melewati perjalanan dan perenungan panjang, Pancasila merupakan kesepakatan bersama (kalimatun sawa) dan jalan tengah yang menyatukan perbedaan suku, ras, agama dan golongan, pemilihan Pancasila sebagai dasar Negara sudah final dan bersifat frozen, kenapa memilih Pancasila? karena Pancasila tidak bertentangan dengan 5 hal yakni Al-Qur’an, Alhadist, Piagam Madinah masa Rasulullah, Piagam najran era Khalifah Syaidina Abu Bakar As-Siddiq dan Piagam Aeliya pada zaman Khalifah Umar bin khatab.

Menurut Gus Dur Pancasila adalah sebagai perekat bangsa, secara teoritis tata negara yang dianut Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni Imam Al-mawardi, Ibnu Khaldun, Imam Syafii dsb. Beliau berpendapat bahwa agama saja tidak cukup untuk membentuk Negara.

Pembentukan Negara disamping mazhab atau paham, keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah (rasa keterikatan). Tujuannya untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Karena alasan berdirinya Negara adalah adanya perasaan kebangsaan.

Walaupun demikian NU selalu mendapatkan tuduhan keji dari para lawan politik yang Ingin menjatuhkan pemerintahan.

Pada Tahun 1962 NU yang diwakili K.H. Idham Khalid pada saat itu menjabat Wakil Perdana Mentri Bidang Keamanan sukses menumpas DI / TII bahkan komandan Operasi Mayjen Ibrahim Adjie berhasil menangkap Pemimpin DI /TII Karto Suwirjo (dihukum mati) dan memenjarakan para petingginya.

Tetapi pada Tahun 1965 para pengikut Karto Suwiryo dibebaskan oleh Angkatan Darat yang dipimpin Jendral Soeharto

Setelah peristiwa G30S, kelompok-kelompok antikomunis melakukan konsolidasi kekuatan. Angkatan Darat bergerak cepat. Selain terlibat langsung menumpas orang-orang PKI, mereka pun bekerja sama dan memfasilitasi kekuatan-kekuatan anti-PKI, salah satunya DI/TII. dengan perjanjian transaksional.(Jaman Orba Soeharto adalah Hukum)

Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut pendekatan terhadap eks anggota DI/TII langsung dilakukan oleh bos Opsus, Ali Moertopo.

Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto, Ali menjanjikan fasilitas dan pengampunan jika eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan tentara.

Gayung bersambut. Ajakan Opsus diamini para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Begitu sepakat mereka segera bergerak. “Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno,” tulis Conboy

Penumpasan PKI juga mengikutsertakan lebih dari 10.000 orang eks DI/TII. Menurut peneliti sejarah DI/TII Solahudin, saat menjalankan penumpasan, mereka didukung penuh Kodam Siliwangi dan agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

“Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI/TII mendapatkan bantuan pinjaman senjata.” Mereka dikenal sangat kejam.membantai siapa saja yang diindIkasikan PKI. Pembantaian dilakukan dengan sangat kejam meliputi wilayah Jakarta dan seluruh jawa, Sumatera Kalimantan dan Sulawesi Selatan terutama kepada rakyat sipil dan keturunan etnis Tionghoa.

Operasi bersama yang dilakukan tentara dengan eks anggota DI/TII berlangsung sukses. Rezim Orde Baru menepati janjinya untuk memberikan ganjaran yang setimpal. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, Orde Baru lewat tangan tentara juga memberikan kemudahan usaha kepada para eks anggota DI/TII.

Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI, diangkat sebagai ketua Gapermigas (Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kotamadya Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN dengan imbalan yang memadai: rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan.

Menurut Solahudin, situasi mapan itu menjadikan eks anggota DI/TII sejenak melupakan cita-cita mereka untuk mendirikan Negara Islam. “Saat itu kami tak berpikir sama sekali untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII,” ujar Adah Djaelani seperti dikutip dalam buku karya Solahudin

Tidak hanya memberikan fasilitas secara perorangan, pada 21 April 1971 pemerintah Orde Baru juga (lewat BAKIN) memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekitar 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan itu. Para pejabat BAKIN mengajak mereka bergabung dengan Golkar.
“Merespons ajakan itu, para ex tokoh DI/TII Sebagian besar menyetujui.

Padahal pada tahun yang sama berdiri Partai Persatuan Pembangunan sebagai representasi NU , Muhamadiyah, Parmusi Syarikat Islam dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Hal yang sangat lucu ketika Organisasi Islam yang dikenal moderat dan toleran bergabung dengan Partai Islam (Partai Persatuan Pembangunan) sedangkan yang radikal bisa bergabung dengan Golkar Itulah yang jadi pertanyaan saya sampai hari ini, mungkin Itulah hebatnya politik transaksional sambil berpikir jika Dien Samsudin juga mantan orang Golkar tapi Saya no comment lho! 😂

Sejarah kemudian membuktikan, sebagian anggota DI/TII melahirkan golongan Islam yang baru terutama Setelah Masa reformasi dan mereka sekaligus loyalis Orde Baru.

Pada Tahun 1998 TNI membentuk Pam Swakarsa untuk menjaga keadaan genting di Jakarta dan peranan ini diambil oleh FPI dan organisasi ini berkembang dengan pesat mungkin Karena fasilitas yang diberikan TNI dan dukungan dana dari para Pengusaha.
Hebatnya organisasi ini betul-betul eksis dengan keahlian Habib Rizieq melakukan orasi dan mendapatkan sumber financial yang baik sehingga mendapatkan pengikut yang cukup banyak dan militan.

Pada masa pemerintahan SBY Karena sering bersebrangan dengan NU (seperti Kita ketahui hubungan SBY dan Gus Dur agak kurang baik setelah diberhentikan Gus Dur ketika menjadi Presiden).

SBY menghidupkan yayasan pengajian dan majelis zikir Darusalam dikoordinir oleh Bahtiar Nasir, AA Gym , dll yang mengakomodir semua Ormas Islam dan ulama yang diluar NU bahkan konon mereka semua mendapatkan kucuran APBN termasuk HRS Bos FPI walaupun pernah dipenjarakan di Masa SBY (saya tak mau mengatakan ini juga transaksional takut!!dibilang Kafir 😂).

Pada Pemilu 2014 gerakan Islam loyalis Orba (Maaf ini hanya bahasa istilah saya karena menganggap mereka tak punya Platform yang jelas 🙏kadang Aswaja, kadang HTI kadang Wahabi kadang juga Pancasilais😂) tumbuh subur dan selalu ikut dalam orasi politik bahkan mereka (ini menurut mereka🙏) sukses menjatuhkan BTP alias Ahok dalam kasus penistaan Agama , setelah itu banyak orang-orang yang mempunyai akses financial yang kuat bergabung padahal mereka tak pernah punya sejarah kedekatan dengan Islam , seperti Yusuf Martak CEO Bakrie Grup dan Lapindo Grup, Cendana Grup (seperti sering Kita lihat foto-fotonya di medsos 😂) dan Haikal Hassan sepengetahuan saya HH adalah anak seorang Pengusaha kaya raya pada masa Orba yang banyak mendapat previlage dalam usahanya dari Pak Harto kemudian Bahar Bin Smith anak pendiri Persatuan Habib Indonesia (maaf saya tidak Tau legal standing Organisasi ini dan apa visi misinya 🙏).

Dengan kekuatan financial yang ada mereka bisa merangkul ex anggota HTI bahkan PKS (masih mungkin Karena PKS Juga sering berubah-ubah 😂) . mereka menganggap sebagai platform mewakili umat Islam yang saya juga tidak tau arah tujuan organisasi tanpa bentuk ini 🤣 dianggap organisasi tidak ada legalitasnya dianggap tidak ada tapi sering nyinyir dan demo 😂, karena walaupun mereka saya anggap bagian kecil dari umat Islam tapi mereka merasa bahwa merekalah yang berhasil menurunkan dan mengalahkan Ahok atau BTP dalam Pilkada DKI dan mereka selalu menghujat dan menimbulkan kegaduhan di Negara yang Kita cintai ini.

Syukurlah sekarang sudah dibubarkan pemerintah dan masyarakat Indonesia Ternyata Makin cerdas.

Demikian cerita dari saya semoga beemanfaat untuk menganal Jejak Kadrun di Nusantara eh Maaf Jejak Khilafah loyalis Orba eh Jejak kaum Tamak dan Fasis..🙏😂

Apabila ada kesalahan Mohon dimaafkan karena manusia tempatnya salah dan dosa yang Maha benar adalah Allah Yang Maha Esa (berasa jadi ustad nih Gue 🤣🙏)

Tinggalkan komentar

Sejarah Singkat Wali Songo Penyebar Islam di Pulau Jawa (Bagian ke-1 dari 9 Tulisan)

Sejarah Singkat Wali Songo Penyebar Islam di Pulau Jawa (Bagian ke-1 dari 9 Tulisan)

Serambi Nusantara

Prabu Siliwangi dan Kosmologi Sunda: Telaah Tasawuf Ketuhanan Leluhur Nusantara

Oleh Ki Eka ”Sengara”

Dalam telaah almarhum Edi S. Ekadjati, kosmologi Sunda kuno terbagi dalam tiga hal, yaitu   bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati).

Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me­miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Sedangkan buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat naha pencipta yang disebut Ijunajati Nistemen.

Kalau kita membuka literasi tradisi Sunda, akan banyak kita temukan kearifan perenial yang menekankan kita agar memiliki tiga bentuk kesadaran, yakni kesadaran ketuhanan (transendensi), kesadaran  kemanusiaan (humanisasi) dan kesadaran lingkungan (ekologi).

Pertauatan tiga bentuk kesadaran inilah yang akan mendorong terwujudnya semesta yang adil berkeadaban (sangkala) sekaligus pintu masuk untuk meraih kebahagiaan di alam niskala dan puncaknya  merengkuh keheningan bersama Sang Kuasa (jatiniskala).

Sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sesudah maupun sebelum masa Pajajaran terbentuk. Naskah “Carita Parahiyangan” mendeskripsikan adanya kaum resi Sunda (Kaum Spiritual) yang menganut ageman asli Sunda (Nu ngawakan Jati Sunda).

Mereka mempunyai tempat kegiatan, atau semacam tempat suci yang bernama “Kabuyutan Parahyangan”, yaitu suatu hal yang tidak dikenal dalam agama lain, bahkan dibedakan dengan “Kabuyutan Lemah Dewasasana, yang dianggap sebagai pusat kegiatan keagamaan Budha. Naskah Carita Parahyangan menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah Sewabakti Ring Batara Upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.

Sejak masa megalitikum dan neolitikum masyarakat di tanah Sunda sudah memiliki pemahaman tentang ghaib sebagai jiwa yang lepas dari raga manusia yang meninggal, namun tidak pergi jauh, berada di sekitar tempat tinggal sewaktu masih hidup, hanya sebagai roh yang gaib. Arwah leluhur diyakini dapat memancarkan kekuatan gaib yang berdampak baik maupun buruk, sangat tergantung kepada cara perlakuan manusia yang masih hidup terhadap arwahnya.

Agar arwah memancarkan kebaikan dan dapat mencegah kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan acara acara ritual penghormatan. Penghormatan demikian sangat tergantung kepada masing-masing kelompok atau individu, karena sampai sekarang tidak diketahui, cara-cara ritual yang dilakukan pada masa lalu, kecuali dari upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Baduy.

Pada periode selanjutnya di tanah Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Budha. Periode ini secara resmi dapat diketahui dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Pasundan awal, seperti Salakanagara, Taruma Negara, dan Kendan. Sekalipun demikian, masyarakat asli masih banyak yang tetap menganut keyakinan yang dianut leluhurnya.

Keterangan tentang kukuhnya masyarakat pribumi terhadap keyakinan leluhurnya antara lain berdasarkan sejumlah keterangan. Pertama, berita Fashien, seorang pendeta Budha dari Cina yang terdampar di Tarumanagara pada tahun 413 M, selama lima bulan menetap di Yavadi (pulau Jawa). Fashien lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Budha, bahkan menyebut masih banyaknya penduduk yang menganut agama nenek moyangnya. Kisahnya ditulis dalam buku yang berjudul Fa Kao Chi.

Kedua, pada masa pemerintahan Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (382 M), berupaya merubah cara keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun tidak membuahkan hasil. Padahal Rajaresi mengajarkannya kepada para penghulu desa, dan mendatang kan para brahmana dari India, namun rakyat masih banyak yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.

Ketiga, naskah-naskah yang menempatkan hirarki Hiyang diatas panteon agama lainnya, seperti “Dasa Perbakti”, di dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, Jatiraga dan Kawih Paningkes.

Jika saja ageman Sunda Wiwitan sebagaimana yang nampak dari anutan warga Baduy dikaitkan dengan peradaban megalitik, maka akan diketahui, bahwa prinsip warga Baduy percaya kepada satu yang kuasa, Batara Tunggal, pemilik karakteristik satu kekuasaan dan kekuatan yang tak tampak (Maha Gaib), tetapi berada di mana-mana, dan sangat bijaksana dan suci.

Istilah Batara di mungkinkan sebagai bentuk adaptasi dari bahasa keyakinan sesudahnya, tanpa merubah substansi atau maksud. Istilah Batara kemudian ditambahkan kepada Tunggal, sehingga menjadi BATARA TUNGGAL(Judistira K. Garna : 2006).

Penggunaan bahasa, seperti dalam menyebutkan nama BATA RA CIKAL digantikan dengan sebutan ADAM TUNGGAL, atau me nyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah islam wiwitan untuk sebutan agama Sunda Wiwitan (lihat Asep Kurnia dkk : 21010), hal ini dimungkinkan karena adaptifnya bahasa keyakinan urang Sunda Buhun terhadap isti lah-istilah yang digunakan pada jamannya, namun memiliki maksud dan substansi yang sama dengan paradigmanya, untuk menyebut pemilik adikodrati.

Begitupun jika kita berbicara mengenai salah satu kebesaran dan warisan budaya Sunda khususnya dari Tanah Pajajaran yang erat kaitannya dengan Sribaduga Maharaja Prabu  Siliwangi dimana beliau begitu banyak memberikan pengaruh pada tatanan berbudaya,beragama,dan bernegara bagi pewaris bangsa khususnya ditanah Sunda.

Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Dia memerintah Pajajaran sekitar tahun 1482-1521. Siliwangi dikenal sebagai raja yang mencintai rakyatnya. Dia meminta agar pajak hasil bumi tidak memberatkan rakyat. Dia juga mengatur pemerintahan dengan cukup baik sehingga Pajajaran disegani. Kekuasan Siliwangi dan Pajajaran meredup seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara. Bahkan keluarga dan anaknya pun masuk Islam.

Tetapi di sini ada sebuah pesan dari Sribaduga Maharaja Prabu siliwangi menjelang kemangkatan dan misteri makam dan pusara beliau, dengan berkata: “Kembali ke Jatiniskala adalah cita-cita orang dahulu yang saleh, sehingga kematianpun disebut ngahyang, dari ada menjadi ghaib, atma menuju tempat bersemayamnya Hyang. Peristiwa ngahiyang ada dua cara.

Pertama, atma manusia menuju alam kelanggengan namun jasadnya masih tetap didunia. Kedua, jiwa dan raganya lenyap, ngahiyang atau tilem. Karena manusia meminjam jasad dari yang berhak (atau yg memiliki). Seperti jika manusia meminjam barang maka harus dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, termasuk raganya. dan ngahiyang dapat terjadi jika manusia semasa hidupnya dapat menghindarkan semua perbuatan buruk.”

Di sini dapat ditemukan bahwa makna dari Innalillahi wa inna illaihi Rojiun, Segala sesuatu yg berasal dari Allah (Yang Berhak) akan kembali kepada Allah (Yang Berhak) telah dipahami oleh Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Ada kaitan pelajaran tasawuf bahwa dalam ajaran tanah Sunda sudah mengenal ketuhanan dan memaknai akan keberadaan Yang Maha Esa atau tunggal dan juga Yang Maha berhak atau memiliki kehidupan.Atma disini dapat berarti Ruh yang berasal dari keabadian.

Dengan kata lain, kebahagiaan niskala dan jatiniskala hanya dapat dilakukan ketika seseorang mampu merasukan rasaning eling dalam kehidupan sangkala. Semacam ingatan abadi terhadap asal usul, dalam spiritualisme Jawa eling sangkan paraning dumadi. Sebentuk eling yang akan menjadi haluan pembebasan/liberasi dari segala bentuk potensi yang dapat menistakan harkat kemanusiaan.

Ingatan seperti ini akan membuat seseorang (suatu bangsa) menjalani hidup dengan penuh pertimbangan, memiliki skala prioritas, tidak terjebak dalam ungkapan cul dog dog tinggal igel, moro juang ngalepaskeun peusing. Eling yang dijangkarkan kepada akar spiritual: Dzat Yang Maha Eling. Apakah Mungkin Sang Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim dan sudah menjadi Muslim sebelum wafat? Wallahu a’lam bish showab.

← Situs Cibalay sebagai Warisan Peradaban Megalitikum Tertua di DuniaBudayawan Bogor Bumikan “Pabaru” Sunda →

You May Also Like

Lebih Dekat dengan Suku Dayak Bumi Segandu, Losarang, Indramayu (Bagian 2-Habis)

27 December 2020 0

Bulan Haul Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani Ditutup Pembagian Ratusan Paket Sembako

27 December 2020 0

Karya Langka Ulama Besar Bogor Mengguncang Dunia

4 January 2021 0

WISATA

Wisata

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak

16 December 2020  admin

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak Kabupaten Bogor adalah surganya cagar budaya. Ungkapan tersebut ada

Berkunjung ke Bogor? Yuk, Nikmati Sensasi Lezatnya Laksa Pak Inin

16 December 2020

TG: 125×125 Ads

About Us

Serambi Nusantara love Indonesia sejarah dan kebudayaan nusantara

Useful Links

Perbaikan Data

Contact

Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor 16310

Tlp/WA : 085693430009 (Rusmana)

Email: info@serambinusantara.com

Tinggalkan komentar

Kampung Adat Urug

Skip to content

Friday, January 1, 2021

Latest: Tatap Tahun Baru 2021, Portal Berita Serambi Nusantara DiluncurkanAkhiri 2020, BoyGreen Tanam Ratusan Pohon Buah di Embung Gilirejo BoyolaliWarga Kota Bogor Gelar Haul ke-11 Sang Guru Bangsa, KH Abdurrahman WahidMenelusuri Kampung Adat Sisa Peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran di Desa UrugPondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”

Serambi Nusantara

Jelajah Budaya & Wisata

Budaya 

Menelusuri Kampung Adat Sisa Peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran di Desa Urug

 1 January 2021  Fahir  0 Comments

Warga Kampung Adat Urug Mengklaim sebagai Keturunan Langsung Prabu Siliwangi

Sejumlah “leuit” (lumbung padi), artsitektur khas Kerajaan Pakuan Pajajaran, masih tersisa di Kampung Adat Urug, Sukajaya, Kabupaten Bogor. Foto: bersumber dari web jabarprov.go.id

Kerajaan yang eksis dan pernah jaya di Tanah Pasundan tidak terhitung jumlahnya. Bila merujuk masa sejarah dari tahun 120 Masehi tatkala Aki Tirem Luhur Mulia mendirikan perkampungan (kerajaan) Salaka Negara, ada puluhan kerajaan yang tersebar di Tanah Sunda. Namun dari sekian banyak kerajaan yang ada, yang datang silih berganti, yang paling menyita perhatian besar publik adalah Pakuan Pajajaran, yang berpusat di kawasan Batutulis dan sekitarnya, Kota Bogor.

Berbanding lurus dengan pembahasan sejarah kerajaan Sunda yang banyak menyinggung Pakuan Pajajaran, berbicara mengenai raja atau pemimpin Tatar Sunda pada masa silam juga didominasi oleh sosok pemimpin Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi, yang bertahta pada 1482-1521 M. Nama Sang Pamanah Rasa begitu menyatu dalam benak masyarakat Sunda.

Prabu Siliwangi memimpin Kerajaan Sunda selama 41 tahun, dari 1482 hingga 1521. Ada beberapa raja lain yang memipin jauh lebih lama. Sebut misalnya, Prabu Niskala Wastu Kancana. Ia adalah kakek kandung dari sang tokoh bergelar Jaya Dewata, yang berkuaasa selama 104 tahun, yaitu dari tahun 1371 hingga 1475 M. Pemimpin lain yang memiliki masa kekuasaan panjang, yaitu Prabu Darmasiksa. Kakek Raden Wijaya, pendiri Majapahit ini, bertahta selama 122 tahun, yakni dari 1175 hingga 1297 M.

Kebesaran dan keharuman nama Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu dan tak lekang oleh zaman. Tak heran bila nama Pajajaran atau Prabu Siliwangi dapat ditemukan di hampir seluruh seantero Tatar Sunda. Ratusan tempat yang pernah disinggahi atau dijadikan sebagai lokasi meditasi sang prabu dengan mudah ditemukan di tanah Sunda. Uniknya tidak sedikit daerah yang mengklaim sebagai lokasi “moksa” atau pusara sang raja, yang membuat kisahnya menjadi eksotis dan diselimuti misteri.

Saat ini banyak sekali komunitas masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan langsung dari Prabu Siliwangi (seuweu siwi Siliwangi). Dari berbagai komunitas masyarakat maupun perorangan yang menyebut dirinya sebagai turunan langsung Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Adat Urug, Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kampung Urug adalah satu dari segelintir kampung adat Sunda, jika tidak dikatakan satu-satunya, yang tersisa di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor.

Kampung Adat Urug terletak di sebuah lembah yang subur di wilayah perkebunan sawit Desa Urug. Kampung adat ini masih melaksanakan tradisi turun temurun yang diwariskan para leluhur Sunda Pakuan Pajajaran. “Seren Taun”, yaitu upacara adat syukuran panen padi. Tak ayal di kampung ada ini masih terapat “leuit” alias lumbung padi kuno. Kampung Adat Urug dipimpin oleh kasepuhan adat atau kokolot Abah Ukat Raja Aya.

Bersama Kokolot Kampung Adat Urug, Abah Ukat Raja Aya

Menurut Kokolot Kampung Adat Urug, Abah Ukat Raja Aya, sejarah Kampung Urug memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Abah Ukat mengklaim dirinya sebagai generasi ke-11 turunan Prabu Siliwangi.

Kampung Adat Urug merupakan guru dan sesepuh adat bagi banyak kampung adat tersisa di sekitar wilayah Bogor dan Banten Kidul. Urug adalah ejaan dari kata/istilah guru yang dibaca terbali dari belakang. “Namanya sengaja dibalik dari Guru jadi Urug untuk menyamarkan jejak,” klaim Abah Ukat.

Bagi Abah Ukat Raja Aya, sejarah yang ia pahami berasal dari buyut dan leluhurnya, yang diceritakan turun temurun secara lisan. Cerita itulah yang ia pegang. Termasuk kaitannya dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, ia menyimak sejarahnya secara lisan dari orang tuanya.

Meskipun Kampung Adat Urug sebagai warisan peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang tersisa, Abah Ukat Raja Aya tidak mengetahui secara percis tahun berdiri situs bersejarah ini. Tidak ada catatan berupa dokumen tertulis yang dipegang atau diwariskan turun temurun. Abah Ukat Raja Aya mengatakan, sejarah yang ia pahami selain berasal dari transmisi lisan secara turun temurun juga diperolehnya melalui “wangsit” atau petunjuk.

Salah satu sudut Kampung Adat Urug

Dari catatan yang saya himpun dari berbagai sumber, Kampung Adat Urug diperkirakan sebagai warisan peninggalan Prabu Nilakendra, raja Sunda Pakuan Pajajaran yang bertahta pada 1561-1567. Prabu Nilakendra dikenal sebagai sosok raja yang gemar berkelna dan jalan-jalan. Ia mempin Kerajaan Pakuan Pajajaran pada era akhir, dua tahun sebelum “runtag”.

Bukti dari klaim relasi historis dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, ditemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kampung Adat Urug merupakan aset berharga warisan leluhur Sunda Pakuan Pajajaran yang masih melestarikan adat “karuhun”. Kampung adat yang masih tersisa di Bogor. Keberadaan “leuit”, “rumah bilik panggung” hingga “seren taun” patut terus dipertahankan sebagai warisan tersisa dari era panjang perjalanan bangsa Sunda, bukan hanya sebagai cermin warisn Pakuan Pajajaran, namun juga warisan Sunda secara keseluruhan. ***

Ahmad Fahir

← Pondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”Warga Kota Bogor Gelar Haul ke-11 Sang Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid →

You May Also Like

Perkokoh Budaya Sunda di Tengah Masyarakat

 15 December 2020

Bogor, Akar Sejarah dan Cikal Bakal Peradaban Nusantara (Bagian 1)

 28 December 2020 0

Pondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”

 31 December 2020 0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

 Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

WISATA

Wisata 

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak

 16 December 2020  admin

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak Kabupaten Bogor adalah surganya cagar budaya. Ungkapan tersebut ada

Situs Badigul, Warisan Penting Sejarah Bangsa yang Masih Terkubur

 15 December 2020

TG: 125×125 Ads

About Us

Serambi Nusantara love Indonesia sejarah dan kebudayaan nusantara

Useful Links

Perbaikan Data

Contact

Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor 16310

Tlp/WA : 085693430009 (Rusmana)

Email: info@serambinusantara.com

Tinggalkan komentar

Titik Nol Digital Edutainment AYS

Titik Nol Digital Edutainment AYS

Tinggalkan komentar

My Late RIP FB account

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.