2 Komentar

BIOGRAFI NURTANIO PRINGGOADISURYO : TOKOH DIRGANTARA NUSANTARA

Kamis, 25 Agustus 2011

Biografi Nurtanio Pringgoadisuryo : Tokoh Dirgantara Nusantara

Nurtanio perancang pesawat andalan Indonesia Ditulis oleh Edi Nurprasetya

Selasa, 18 Maret 2008 11:13

Ditengah kemunduran bangsa kita sekarang ini ada hal yang harus diingat oleh mereka yang mengaku warga negara Indonesia. Yaitu kebanggaan suatu bangsa, walaupun bagi mereka yang apatis dan pesimis akan berkata ,“buat apaan sih?” Karena kita pecinta kedirgantaraan maka yang patut kita kenang adalah seorang perintis industri penerbangan yang dikenal orang sebagai sosok pekerja keras, rendah hati dan mencintai pekerjaannya. Mudah-mudahan generasi dibawah penulis masih pernah mendengar nama Nurtanio Pringgoadisuryo. Nama ini wajib mendapat tempat yang layak pada sejarah Republik Indonesia. Sepantasnya beliau bersama Wiweko Supono mendapat Bintang Mahaputra tertinggi karena jasa rintisannya menjadi batu pijakan untuk industri kedirgantaraan Indonesia.

Nurtanio Pringgoadisuryo lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 3 Desember 1923. Masa hidup beliau terakhir tercatat 21 Maret 1966, usia yang relatuf singkat 43 th. Beliau adalah perintis industri penerbangan Indonesia. Bersama Wiweko Soepono, Nurtanio membuat pesawat layang Zogling NWG(Nurtanio-Wiweko-Glider) pada tahun 1947. Ia membuat pesawat pertama all metal dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang, disusul dengan Kunang-kunang (bermesin VW) dan Belalang, serta Gelatik (aslinya Wilga) serta mempersiapkan produksi F-27.

Cita-citanya sederhana, namun belum ada yang mewujudkannya yaitu keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya. Untuk itu, disiapkanya pesawat Arev (Api Revolusi), dari bekas rongsokan Super Aero buatan Cekoslowakia yang tergeletak di Kemayoran. Karena dedikasinya yang tinggi ia mencoba sendiri pesawat rancangannya, saat itulah Nurtanio gugur dalam penerbangan uji coba Arev. Bersama beliau turut gugur Kolonel Soepadio yang kini diabadikan sebagai nama bandara di Pontianak. Namanya, pernah melekat pada industri yang dirintisnya saat pemerintahan Soeharto merubah nama Lapip menjadi Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio)

Hal yang menambah rasa hormat penulis pada beliau adalah pemilihan jenis pesawat yang tepat untuk kondisi topografis dan sosial ekonomi rakyat Indonesia, Nurtanio banyak merancang pesawat yang tepat guna untuk kemaslahatan rakyat mulai jenis angkut ringan (general aviation) sampai cropduster yang efektif untuk pertanian, fogging nyamuk dll. Penulis yakin jika beliau masih hidup akan merancang water bomb untuk kebakaran hutan yang bisa menyerok air dari empang. Just kidding, cuman empangnya aje udah jadi BTN terus nyerok air dimana ya? Pesawat angkut ringan penulis pikir adalah solusi paling tepat untuk Indonesia yang topografinya membentang seluas Amerika namun ¾ wilayahnya lautan. Jika Amerika bisa membentangkan highway keseluruh sudut negeri itu Indonesia tidak bakal bisa karena krisis keuangan yang parah. Ditambah dengan faktor alam yang akrab dengan bencana penulis mengkhawatirkan keamanan moda transport darat.

Eksperimen Nurtanio yang sebenarnya sangat berguna di Indonesia yang agraris adalah modifikasi PZL Wilga (Gelatik) untuk cropduster, karena terbukti pernah mendongkrak hasil pertanian yang terserang hama. Ingat Indonesia pernah menjadi pengekspor beras masa orde baru, hal yang tidak akan terulang saat ini. Cropduster juga pernah dan bisa diimprovisasi untuk penanggulangan wabah akibat nyamuk baik itu demam berdarah, malaria atau chikungunya, hanya di Indonesia…

Cropduster bisa menggunakan sayap tetap maupun sayap putar, penulis teringat ketika masih training Commercial License di daerah San Joaquin Valley betapa padatnya daerah pertanian disana dengan Grumman Agcat, Cessna Agtruck, Piper Pawnee sampai heli yang nggak hafal jenisnya bahkan sampai malam hari!

belalangBelalang
kunangKunang-kunang
GelatikGelatik

Satuan Udara Pertanian (Satud Tani) sebenarnya adalah jawaban pemerintah untuk hal-hal yang disebut diatas. Sebenarnya bisa saja dengan pesawat murah meriah mengubah pesawat ringan rongsokan menjadi armada pemburu hama andal dengan modal ramean sesuai dengan luasan sawahnya sehingga terasa murah untuk petani. Jika pemerintah lewat industri pesawat menyediakan pesawatnya maka koperasi petani menanggung bensin dan obat hamanya. Keuntungan cropdusting adalah melokalisir migrasi serangan hama sehingga tidak berpindah ke daerah / provinsi lain seperti yang terjadi selama ini. Disamping itu dosis / takaran semprotan bisa diatur sehingga mengurangi pencemaran lingkungan dan mencegah peningkatan resistensi hama dan penyakit terhadap obat. Penulis melihat inilah yang dicermati Nurtanio si perintis penggunaan pesawat untuk banyak hal di Indonesia.

Pada masa perintisannya, Mayor Udara Nurtanio bersama 15 stafnya tahun 1953 dalam perbengkelan kecil Seksi Percobaan Lapangan Udara Husein Sastranegara, berhasil membuat sejumlah pesawat terbang diantaranya, pesawat serba logam (all metal) COIN (Counter-insurgency-anti gerilya) yang diberi nama Si Kumbang 1 Agustus 1954. Pesawat rancangan beliau lainnya yang pernah dibuat, Belalang 85 (1958) yang kemudian pesawat latih ini disempurnakan dan diproduksi sebagai Belalang 90. Pesawat latih ini digunakan untuk mendidik para calon penerbang Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat. Pada tahun yang sama, Nurtanio dan para asistennya berhasil membuat pesawat olah raga Kunang 25 bermesin mobil Volkswagen. Ia juga merintis membuat prototipe helikopter Kepik dan Manyang serta girokopter Kolentang.

Seandainya saja industri pesawat kita menyediakan pesawat Counter Insurgency yang murah, efektif dan efesien maka negara kita tidak lagi didikte oleh kekuatan luar melalui separatisme. Ini hanya salah satu titik penting kemandirian suatu negara sehingga dihormati oleh kawan disegani oleh lawan. Tidak seperti TNI-AU yang kelabakan akibat embargo dan larangan menggunakan pesawat untuk pengamanan dalam negeri dari ancaman separatisme, TNI-AD sudah lebih dulu sadar hal ini dengan re-powering panser-panser tua lengkap dengan suplai onderdilnya karena Inggris juga mengembargo suku cadang tank-tanknya. Ternyata hasil modif Bengkel Pusat Peralatan Angkatan Darat ini justru enak untuk memasuki daerah yang sukar dijangkau oleh tank buatan Inggris. Selain lebih lincah dan ringan panser yang berpenggerak roda juga tepat untuk medan offroad lunak dan becek yang tidak bisa dilewati tank.

Agak nglantur sebentar, penulis bertanya-tanya apa sih susahnya merancang pesawat sederhana, murah, mudah pemeliharaanya, wong membuat yang njelimet sudah bisa? Gengsi? Ngapain gengsi dengan situasi ekonomi yang parah? Toh dunia luar sudah tahu onderdil Airbus dibuat di Indonesia, kita mampu membuat pesawat canggih, hanya saja untuk pemenuhan transport udara saat ini tidak tepat menggunakan barang mahal, karena tidak selamanya harga menentukan mutu. Dengan teknologi sederhana onderdil akan mudah didapatkan, seperti pengalaman penulis menerbangkan pesawat eksperimental fiberglass FASI Pordiga Swayasa membuktikan hal ini. Mengapa tidak dirancang pesawat yang mengandung onderdil otomotif dan menggunakan BBM mobil (mogas) yang memenuhi uji kelaikan sesuai standar yang berlaku. Jika dibuat produksi massal tentu akan menekan harga per unit sehingga dapat dijangkau masyarakat terutama didaerah yang terpencil.

Sesuai dengan wangsit hitungan penulis menunjukkan penerbangan pengumpanlah, bisnis yang menguntungkan asal menggunakan pesawat komuter ringan murah meriah sekelas Twin Otter sampai kelas F-27 bukannya pesawat berbadan sedang ala B737 keatas. Jika maskapai penerbangan dalam negeri bekerja sama dengan industri pesawat memakai pesawat murah yang dimaksud maka cukup pasar domestik tujuannya. Tidak usah berpikir untuk ekspor karena cukup sudah penghinaan negara maju yang ogah mensertifikasi pesawat Indonesia demi proteksi produk mereka. Kalau perlu malah kita yang harus memproteksi produk-produk dalam negeri. Masalah rasa nasionalisme mungkin berperan disini, toh bangsa Jepang dan India sudah melakukannya puluhan tahun lalu.

Pada perjalanannya Nurtanio bersama Wiweko Supono mantan boss Garuda adalah perancang terhebat di sejarah kedirgantaraan Indonesia. Sejak sekolah di Sekolah Teknik di Surabaya ia sudah merintis teknik rancang pesawat kecil-kecilan dengan mendirikan Junior Aero Club. Beliau juga jenis orang yang ngotot mencari ilmu kedirgantaraan yang saat itu “monopoli’ kulit putih, majalah Vliegwereld salah satu sumber ilmu yang dimilikinya adalah bukti kengototannya sebab saat itu agak sulit mendapatkannya karena harus impor dari Belanda. Junior Aero Club tambah berkibar dengan hadirnya pilot didikan Belanda, Iswahyudi. Jiwa perintis beliau nampak dalam Junior Aero Club selain sebagai pendirinya juga menularkan kecintaan terhadap dirgantara dikalangan pemuda saat itu

Down to earth alias membumi itulah yang begitu nyata pada setiap rancangannya, transportasi murah namun aman adalah ide dasar yang harus dijiwai oleh industri kedirgantaraan. Kenapa sih membuat pesawat yang mahal dan susah dioperasikan oleh Indonesia yang terus menerus krismon seperti sekarang? Karena menurunkan tarif penerbangan rasanya bukan solusi untuk transportasi dalam negeri seperti sekarang ini. Penurunan tarif hanya akan mengorbankan aspek keselamatan penerbangan, emang pesawat bisa minggir kala mogok mesinnya? Bagaimanapun penerbangan berbeda dengan moda darat seperti bus yang pemiliknya bisa masa bodoh menggunakan onderdil kelas dua untuk pemeliharaannya. Hanya dengan produksi dalam negeri yang menggunakan bahan dalam negeri juga yang menjadi solusi mahalnya tarif penerbangan.

Marsekal Muda (Purn) Salatun pada Majalah Angkasa mengatakan :

Bagi saya pribadi, keharusan bangsa kita untuk dapat membuat pesawat dan piranti lainnya didasarkan alasan filosofis: bukankah definisi bagi manusia adalah, “a tool-making animal?” Jadi selama kita baru merupakan “a tool-importing animal” kita belum menjadi manusia!

Kambing hitam mahalnya seluruh ongkos di Indonesia karena orang Indonesia yang masih bangga menjadi “Tool Importing Animal”. Penulis yakin jika terus menerus demikian negara kita akan berantakan. Penulis selalu berdebat dengan rekan baik sesama penerbang maupun non penerbang bahwa moda transportasi yang paling ideal di Indonesia adalah moda udara. Dalam tulisan penulis selalu mempromosikan betapa andalnya penerbangan komuter murah untuk mendongkrak roda perekonomian negeri Sedihnya justru dari kalangan pelaku kedirgantaraanlah tampak setumpuk hambatan baik yang nyata maupun penampakan. Jika saja spirit Nurtanio masuk ke jiwa penerbang dan pelaku industri penerbangan kita maka ide membuat transportasi udara menjadi moda yang efektif, efesien, murah dan paling aman menjadi kenyataan.

Jiwa industri Nurtanio-lah yang relevan pada situasi krisis multi dimensi Indonesia saat ini adalah kebersahajaannya dalam mencari bahan-bahan / material pesawat rancangannya. Beliau pernah membuktikan dengan bahan-bahan disekitar kita mampu membuat pesawat yang laik terbang sesuai dengan standar yang ada. Seperti pada glider uji bakat (aptitude test) NWG-1 kayu jejamu dipakai untuk mengganti spruce sedangkan kain linen pembalut sayap diganti dengan kain belacu yang murah dan mudah didapat. Bahkan ada selentingan yang entah benar atau tidak beliau pernah mengambil kawat jemuran di asrama prajurit untuk penahan sayap. Diatas segalanya penulis bertanya mengapa harus pake produksi luar negeri sih untuk melayani penerbangan kita?

Marsda Salatun menambahkan pada Majalah Angkasa sebagai berikut :

Merenungkan kembali jalan hidup Nurtanio yang kukenal mulai dari seorang aero-modeller hingga menjadi pejabat resmi yang memimpin Lapip, maka Nurtanio adalah tetap Nurtanio. Pekerja keras, tidak banyak omong (bombastis), rendah hati, sopan santun, serta bekerja dengan serba apa adanya dengan biaya rendah (low cost). Pesawat-pesawat yang diciptakannya memanfaatkan komponen dan suku cadang yang ditemukan di berbagai gudang yang tak terpakai. Gaya pendekatan yang serba rasional, tidak muluk-muluk dan down-to-earth, sesuai dengan kondisi negara yang sejak awal kemerdekaan praktis tidak pernah ideal hingga sulit menciptakan kontinuitas dan konsistenitas. Tetapi gaya Nurtanio yang realistis juga, yang menyebabkan dirinya kurang dihargai karena dianggap tidak bisa mengikuti arus megalomania.

Berdasarkan pengalaman masuk ke daerah terisolasi Aceh saat tanggap bencana tsunami penulis berpendapat untuk menjangkau daerah terisolasi pada tanggap bencana hanya mobilitas udara yang menjadi jawabannya. Hal ini yang mengusik pikiran penulis setiap menyimak berita sulitnya penanggulangan bencana ditanah air. Dropping bantuan akan dapat cepat dikerjakan dari udara ketimbang menembus hutan, gunung yang rawan bencana susulan seperti longsoran, pengaturan distribusi dapat dikerjakan oleh TNI yang berkualifikasi Pandu Udara (Pathfinder) atau Pengendali Pangkalan. Sedangkan untuk daerah yang benar-benar sulit dijangkau oleh sayap tetap bisa dilakukan oleh sayap putar. Semua mudah, murah dan cepat jika gotong royong kembali dihidupkan, mengapa harus menggunakan ongkos yang besar?

Penulis juga berpikir bagaimana jika ide para perintis penerbangan seperti Nurtanio ini ditanamkan pada calon penerbang di sekolah-sekolah terbang, supaya jangan sampai pikiran mereka yang cemerlang diambil oleh para jiran yang sudah mencuri sekian banyak gagasan dan ide para pemikir Indonesia seperti saat ini. Paling tidak potensi sumber daya manusia kita sekarang semestinya bisa merealisasikan suatu konsep industri pesawat komuter dan pertanian yang murah dengan kehandalan bersaing. Untuk melangkah ke arah itu mungkin diperlukan pemikiran yang bijak dari para pemimpin bangsa ini. Agar suatu saat pengembangan teknologi yang kita lakukan dapat lebih menyentuh seluruh kehidupan masyarakat kita. Jadi mengapa tidak, kalau potensinya ada dan menunjang, pesawat komuter dan pertanian kita kembangkan lagi dengan spirit Nurtanio. Saya memimpikan industri pesawat terbang yang sederhana dan murah tapi andal, tepat guna, berhasil guna, untuk Indonesia.

crop duster1Cropduster

Sekali lagi saya ucapkan selamat, pertama ketika anda akan memulai membaca artikel ini, kemudian kini anda sudah membaca hingga akhir artikel. Itulah tokoh pertama dari dua tokoh nusantara yang saya janjikan di awal artikel. Tokoh kedua saya rencanakan dalam judul artikel terpisah agar anda tidak terlalu panjang dan lama dalam membaca. Saya sangat maklum kualitas membaca saya yang tidak tahan lama, dan saya berasumsi andapun tidak jauh beda dengan saya, hehehe……

Silakan diendapkan dulu semangat Nurtanio, semoga saya dan anda dimudahkan menerapkan dan mengembangkan hal-hal positif dari beliau untuk kemajuan bersama. Salam dirgantara dan aerodinamika…

ReplikaRI-X

Sumber : http://bramantya.wordpress.com/2009/11/07/tokoh-dirgantara-nusantara-nurtanio-pringgoadisuryo/

Nurtanio Pringgoadisuryo


Nurtanio Pringgoadisuryo (lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 3 Desember 1923 – meninggal 21 Maret 1966 pada umur 42 tahun adalah sebagai perintis industri penerbangan Indonesia. Bersama Wiweko Soepono, Nurtanio membuat pesawat layang Zogling NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) pada tahun 1947. Ia membuat pesawat pertama all metal dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang, disusul dengan Kunang-kunang (mesin VW) dan Belalang, dan Gelatik (aslinya Wilga) serta mempersiapkan produksi F-27.Cita-citanya besar, keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya. Untuk itu, disiapkanya pesawat Arev (Api Revolusi), dari bekas rongsokan Super Aero buatan Cekoslowakia yang tergeletak di Kemayoran. Karena dedikasinya yang tinggi, setelah Nurtanio gugur dalam penerbangan uji coba Arev, namanya diabadikan menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia).

Cita-cita dan keinginan serta kecintaannnya akan dunia kedirgantaraan sudah dia awali sejak masa Hindia Belanda. Nurtanio pada saat itu berlangganan majalah kedirgintaraan Vliegwereld, dan menekuni masalah aerodinamika dan aeromodelling. Pada masa itu, Nurtanio sering mengadakan surat menyurat dan korespondensi dengan sesama pencinta Aeromodelling pada zaman Hindia Belanda. Diantaranya adalah Wiweko Soepono yang saat itu sudah mendirikan perkumpulan pencinta Aeromodelling serta berlangganan majalah Vliegwereld.

Junior Aero Club

Pada masa pendudukan Jepang, di sekolah menengah tinggi teknik atau Kogyo Senmon Gakko, Nurtanio mendirikan perkumpulan Junior Aero Club yang isinya tentang bagaimana teknik pembuatan pesawat model yang merupakan dasar-dasar Aerodinamika. Karena pada masa pendudukan Jepang penggunaan bahasa Inggris dilarang, maka untuk menghidari kecurigaan ditempaknya dua orang pengawas berkebangsaan Jepang diantaranya adalah Tuan Imazawa. Disinilah Nurtanio berkenalan dan bertemu dengan R.J Salatun, yang juga berminat dalam masalah penerbangan dan kebetulan berlangganan majalah kedirgantaraan yang sama yakni Vliegwereld. Pada saat itu peserta dibatasi karena para pesertanya yang sebelumnya membludak, jadi hanya tinggal sedikit.

Di JAC, Nurtanio dan sahabatnya, R.J Salatun, juga bertemu dengan guru olahraga yang bernama Iswahyudi yang juga memiliki pengetahuan dalam masalah penerbangan, yang ketika perang dunia II pecah, sedang mengikuti pendidikan penerbang militer Belanda yang kemudian diungsikan ke Australia. Perhatian Nurtanio pada masa itu tidak hanya dalam masalah pesawat model tetapi bahkan menekuni buku-buku teknik penerbangan yang saat itu banyak berbahasa Jerman serta sudah menekuni dan menggambar rancangan glider atau pesawat layang type Zogling yang merupakan obsesinya.

Masa kemerdekaan Republik Indonesia

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma yang pada masa itu disebut dengan TKR Jawatan Penerbangan. Nurtanio mencari R.J Salatun untuk bergabung juga dengan TKR Jawatan Penerbangan. Disana, juga bergabung Prof. Ir. Rooseno dan Wiweko Soepono. Nurtanio kemudian diberi jabatan Sub Bagian Rencana di bagian Kepala Bagian Rencana dan Penerangan (semula dinamakan Propaganda namun diganti karena berkesan seperti Bagian Propaganda Nazi yang dijabat oleh sahabat Adolf Hitler, Joseph Gobbels) yang dijabat oleh Wiweko Soepono sedangkan R.J Salatun mendapat jabatan bagian penerangan. Ketiga orang ini yang kemudian disebut sebut sebagai tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia tersebut kemudian melaksanakan tugasnya antara lain mendesain tata kepangkatan Angkatan Udara yang dibantu oleh Halim Perdanakusuma yang pernah berdinas di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) dan persiapan-persiapan lainnya. Sedangkan Nurtanio langsung mendesain glidernya.

Kemudian Suryadarma memindahkan koleksi buku-buku militer dan penerbangannya ke kantor yang menjadikannya sebagai perpustakaan Angkatan Udara yang pertama, yang sering hadir di perpustakaan itu adalah Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh.

Nurtanio akhirnya berhasil menyelesaikan rancangan glidernya, ia kemudian bersama Wiweko Soepono pindah ke Maospati karena lebih lengkap fasilitasnya dibandingkan di Maguwo, Yogyakarta.

Pesawat Glider NWG-1

Setelah pindah ke Maospati, Nurtanio berhasil membuat beberapa glider yang dinamakan NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider). Pesawat ini adalah pesawat satu-satunya buatan Indonesia dengan kandungan lokal hingga 100 persen hingga hari ini. Dibuat dari kayu jamuju yang dicari di daerah Tretes untuk mengganti kayu spruce, sayap dibalut dengan kain blaco pengganti kain linen dan kemudian diolesi bubur cingur pengganti thinner. Pesawat Glider ini kemudian digunakan untuk melatih kadet-kadet penerbang yang akan dikirim ke India guna pendidikan penerbang lebih lanjut.

Sekitar tahun 1948, Nurtanio kemudian ditugaskan ke Manila, Filipina untuk melanjutkan studi kedirgantaraannya di FEATI (Far Eatern Aero Technical Insitute). Sebagai bekal hidup, Nurtanio membawa kerajinan perak Yogyakarta yang ternyata susah untuk dijual.

Si Kumbang


Pada masa selesainya perang kemerdekaan (sekitar tahun 1950), Nurtanio berhasil merancang dan membuat pesawat Sikumbang yang merupakan pesawat all metal pertama Indonesia itu. Nurtanio kemudian berencana menerbangkan ke daerah Sekaten, Yogyakarta dari Bandung. Sahabatnya R.J Salatun mempunyai firasat buruk tentang penerbangan itu dan berniat membatalkannya. Karena dia punya akses langsung kepada Kepala Staf Angkatan Udara Suryadarma, Salatun memberikan argumen kepada Suryadarma agar membatalkan rencana penerbangan Nurtanio ke Yogyakarta dengan alasan Nurtanio adalah satu-satunya kostruktur penerbangan yang dimiliki Angkatan Udara. Suryadarma setuju dengan alasan Salatun dan memerintahkan stafnya untuk memberikan radiogram pembatalan rencana penerbangan ke Yogyakarta. Untuk mengobati rasa kesalnya, Nurtanio menerbangkan pesawat Sikumbang itu keliling udara Bandung di sekitar Lanud Husein Sastranegara.

Tidak lama kemudian pesawat itu didaratkan di Lanud Husein karena mengalami gangguan berupa mesinnya mati. Nurtanio mengambil kesimpulan seandainya dia melakukan penerbangan ke Yogyakarta, maka dia harus mendarat darurat di daerah rawan yang masih dikuasai DI/ TII karena mengalami mesin mati.


Pada saat itu, Indonesia menerima berbagai macam pesawat dan peralatan perang dari Belanda sebagai pelaksanaan pengakuan kedaulatan yang merupakan buah dari Konfrensi Meja Bundar. Untuk Angkatan Udara, Indonesia menerima berbagai pesawat diantaranya P-51 Mustang, Pembom sedang/ringan B-25 Mitchell dan pesawat angkut DC-3 Dakota. Pesawat-pesawat itu masih berwarna metal aluminium karena tidak diberi cat kamuflase. Alasan Nurtanio adalah pesawat itu permukaannya menjadi lebih licin sehingga mengurangi hambatan (drag). Namun kemudian muncullah gejala politik kurang baik yang diwarnai pembentukan dewan-dewan daerah oleh pimpinan wilayah politik dan pimpinan wilayah angkatan perang (yang dijuluki warlord) sebagai protes akibat kebijakan pemerintah pusat yang secara ekstrim dapat menjurus kearah disintegrasi. Bila kemungkinan itu terjadi, maka Angkatan Perang Indonesia khususnya Angkatan Udara Republik Indonesia akan dibuat repot.

Untuk mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk, R.J Salatun yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Penerbangan merangkap Sekretaris Gabungan Kepala-Kepala Staf memberi masukan kepada KSAU Suryadarma untuk mulai memberi kamuflase kepada pesawat-pesawat AURI selagi PO (periodiek overhaul). Dengan demikian jika terjadi konflik, AURI tidak akan kerepotan. Nurtanio kecewa dan bertanya hal itu untuk apa. Tidak lama kemudian ketika AURI jadi ujungtombak penumpasan PRRI/Permesta, seluruh armada udaranya sudah diberi kamuflase.

Pesawat Gelatik dan merintis Aeroindustri

Pada masa Menteri Keamanan Nasional dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution dan deputinya Jendral Hidayat, Nurtanio memperoleh kredit dari Polandia sebesar (atau sekecil) 1,5 juta dollar Amerika Serikat untuk Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan AURI menjadi LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan yang merupakan cikal bakal IPTN nantinya). Caranya, dengan alih teknologi produksi melalui perakitan pesawat pertanian PZL-104 Wilga yang dinamai Gelatik oleh Presiden Soekarno. Dalam mengajukan proposalnya, Jenderal Nasution maupun Jenderal Hidayat sangat terkesan oleh sifat Nurtanio yang begitu realistis dan tidak muluk-muluk.

Menurut Ir. Hoo Kian Lam (pemilik pesawat terbang Walraven W-2 PK-KKH dan pernah berusaha mendirikan industri penerbangan pada masa Hindia-Belanda), yang ikut serta dalam kunjungan ke pabrik PZL di Warsawa, Nurtanio yang memimpin delegasi menerbangkan sendiri pesawat Wilga hingga sangat mengesankan bagi pejabat-pejabat Polandia.

Namun ketika usulan R.J Salatun berdasarkan pengalamannya pada tahun 1958 ketika ditawari Perdana Menteri RRC, Chou-en Lai untuk memproduksi pesawat jet Type 56 (lisensi MiG-17 versi China), Nurtanio berkata bahwa untuk proyek Gelatik yang begitu membumi saja dukungan dana dan pembiayaannya sudah tersendat-sendat. Ketika proyek Wilga/Gelatik berjalan, Nurtanio mengeluhkan kondisi sosial ekonomi para karyawannya yang membuat kaget orang Polandia. Sampai satu kali mereka perhatikan, kenapa semua karyawan meninggalkan pekerjaannya. Ternyata sedang mengantri minyak tanah.

Namun sejarah mencatat, bahwa SDM yang dididik di perakitan pesawat Gelatik berperan besar saat Lapip menjadi Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) yang merupakan modal dasar IPTN pada tahap permulaan. Pada dasawarsa 70-an, Marsekal TNI (purn) Ashadi Tjahjadi ( mantan Kepala Staff Angkatan Udara/KSAU) melihat jig (cetakan untuk produksi) pesawat Gelatik yang diterlantarkan di udara terbuka di halaman Lipnur. Ashadi berniat memanfaatkan lagi untuk suatu usaha bagi para purnawirawan AURI (TNI-AU) berupa major overhaul pesawat -pesawat Gelatik. Alangkah mengecewakan ketika gagasan itu ditolak oleh B.J. Habibie dengan alasan itu termasuk aset perusahaan.

Selain kegiatannya di LAPIP, Nurtanio bersama staf dan penerbang AURI juga aktif dalam memantau kesiapan teknis armada-armada udara yang dimiliki AURI saat itu. Diantaranya adalah kelemahan pada pesawat tempur MiG-19 Farmer versi awal yang dioperasikan AURI yang selalu memberikan indikasi adanya kesalahan saat digunakan meski pesawat ini memberikan keselamatan dan keamanan dengan penggunaan mesin ganda. Setelah terjadi pembicaraan antara R.J Salatun, Nurtanio dan Leo Wattimena (salah seorang penerbang legendaris AURI selain Rusmin Nuryadin), kesalahan itu terletak pada tongkat kemudinya (stick force) yang selalu berubah-ubah (tidak stabil). Sebenarnya KSAU Suryadarma menolak menerima pesawat itu namun Deputi KSAU Uni Soviet Marsekal Rudenko dalam perundingan di Kremlin dimana R.J Salatun ikut hadir, mengancam bahwa dua skadron (sekitar 24 pesawat) pesawat tempur MiG-21 Fishbed tidak dapat diberikan kecuali Indonesia mau menerima 10 pesawat tempur MiG-19 Farmer. Pesawat MiG-19 ini kemudian pada awal orde baru dijual ke Pakistan.

Tahun 1964, AURI menjalin kerjasama dengan Insitut Teknologi Bandung dan Pindad untuk mengembangkan roket di bawah proyek “PRIMA” (Proyek Pengembangan Roket Ilmiah dan Militer Awal) yang dipimpin Budiardjo dan R.J Salatun. Hasil kongkritnya adalah terciptanya Roket Ilmiah Kartika I yang merupakan roket sounding kedua di negara Asia-Afrika saat itu, sesudah Jepang. Alat telemetrinya yang kedua sesudah India, berhasil merekam sinyal-sinyal dari satelit cuaca TIROS dengan alat buatan dalam negeri. Pada waktu roket Kartika sedang didesain, para sarjana dan teknisi LAPIP ikut dikerahkan.

Sekitar pertengahan tahun 1965, didirikan KOPELAPIP yang bertujuan membuat pesawat Fokker F -27. Pilihan atas F -27 dapat dimengerti, karena pasarnya besar meskipun pabrik Fokker rupa -rupanya menganggap bahwa pesawat itu sudah melewati puncak produksinya sehingga yakin akan mengalami penurunan. F-27 secara operasional merupakan pesawat yang handal, meskipun jika diperhatikan dari teknik produksi bagi industri penerbangan pemula semacam KOPELAPIP di Indonesia pada masa itu sangat terlalu maju yakni teknik pembuatannya tidak pakai paku keling tetapi dengan merekatkan lempengan-lempengan aluminium (metal bonding).

Proyek itu merupakan suatu langkah maju yang ambisius mengingat investasi di bidang industri penerbangan sangat minim. Pengambil keputusan yang tertinggi tidak ayal lagi tergiur oleh cara pendanaan proyek yang mengandalkan hasil ekspor komoditi lemah seperti kumis kucing atau kayu manis.

KOPELAPIP dipimpin seorang menteri. Pengurusnya terdiri dari orang-orang yang (maaf), sebelumnya tidak pernah terdengar ada kaitannya dengan pembuatan pesawat terbang atau kedirgantaraan. Sahabatnya, R.J Salatun tidak tega menanyakan kepada Nurtanio tentang KOPELAPIP karena setelah berjerih-payah puluhan tahun dalam merintis industri kedirgantaraan di Indonesia dari nol, sekali tempo ada jabatan menteri, ternyata bukan diberikan kepadanya. Kemudian terdengar kabar bahwa bertentangan dengan gagasan semula tentang cara pendanaan dengan komoditi lemah, sang menteri minta izin ekspor minyak bumi.

Akibat meletusnya G-30S/PKI dan pergantian pemerintahan, maka KOPELAPIP mengalami kegagalan. Bahkan kemudian hal itu membawa keuntungan bagi pabrik Fokker, larisnya pesawat turboprop Fokker F-27 yakni timbulnya krisis energi terutama minyak bumi akibat konflik di Timur Tengah karena pecahnya Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur, yang membuat pasaran pesawat turboprop yang dikenal hemat bahan bakar melonjak disamping munculnya seorang salesman berbangsa Inggris yang ulung telah mendongkrak pemasaran pesawat F -27 hingga menjadi paling laris diantara produk-produk Fokker.

Akhir pengabdiannya

Nurtanio tetaplah seorang Nurtanio, dari seorang aero-modeller hingga menjadi pejabat resmi yang memimpin LAPIP. Pekerja keras, tidak banyak omong (bombastis), rendah hati, sopan santun, serta bekerja dengan serba apa adanya dengan biaya rendah (low cost). Pesawat-pesawat yang diciptakannya memanfaatkan komponen dan suku cadang yang ditemukan di berbagai gudang yang tak terpakai. Gaya pendekatan yang serba rasional, tidak muluk-muluk dan sangat membumi, sesuai dengan kondisi Indonesia yang sejak awal kemerdekaan dianggap praktis tidak pernah ideal hingga sulit menciptakan kontinuitas dan konsistenitas. Tetapi gaya Nurtanio yang realistis juga, yang menyebabkan dirinya kurang dihargai karena dianggap tidak bisa mengikuti arus megalomania.


Nurtanio banyak pengalaman, baik sebagai penerbang maupun pejabat yang bertanggung jawab atas pemeliharaan seluruh armada udara AURI selama tahun-tahun sulit. Ia pernah menceritakan suatu paradoks yakni ketika anggaran untuk security dan prosperity masih serasi, industri lokal mampu menghasilkan rubber hose untuk pesawat DC-3 Dakota. Tapi ketika anggaran untuk pertahanan keamanan meningkat sampai 75 persen dari anggaran total, kemampuan lokal tadi lenyap. Padahal di negara yang sudah maju, anggaran pertahanan justru akan menggairahkan industri dalam negeri yang dimanfaatkan untuk menyembuhkan resesi. Begitulah tragedi yang harus dialami bangsa yang belum mandiri.

Nurtanio pernah mengatakan, bahwa pendekatan ke arah pembuatan pesawat terbang bisa juga ditempuh melalui peningkatan maintenance (perawatan dan pemeliharaan) secara bertahap. Dimulai dengan maintenance by repair, dan akhirnya maintenance by manufacturing. Ia mengatakan, melalui kerjasama dengan Polandia dalam pembuatan pesawat Gelatik dia bertujuan meningkatkan SDM ke produksi pesawat.

Nurtanio sendiri lebih memilih realistis, dan memilih berkonsentrasi kepada bagaimana mencapai sasaran yang sedang dihadapinya. Penolakannya akan modifikasi pesawat Lavochkin LA-11 menjadi pesawat jet juga berdasarkan pilihannya itu. Menjelang akhir hayatnya, dia baru memberitahu bahwa dia sedang memodifikasi pesawat STOL (Short Take Off Landing/Tinggal Landas dan Mendarat di landasan pendek) bermotor ganda. Nurtanio juga mengungkapkan keprihatinannya atas terpuruknya AURI paska peristiwa G30S/PKI yang gagal.

Meski mengedepankan rasio, sebagai orang timur, Nurtanio juga percaya dengan hal-hal yang bersifat ghaib, seperti kemunculan hantu dalam perjalanan kereta api yang dihubungkan dengan tragedi atau kecelakaan, atau munculnya bau wangi ketika pada waktu uji terbang dengan Kolentang, gyrocopter rakitan disain Benson di atas sebuah hanggar Lanud Husein Sastranegara, atau bahkan kecelakaan ringan yang dialami di Pameungpeuk, ketika dia menjabat sebagai Direktur Jenderal LAPAN saat kegiatan pembangunan stasiun peluncuran roket giat-giatnya dibangun. Meski minat Nurtanio hanya sebatas gejala-gejala paranormal.

Nurtario gugur pada suatu kecelakaan pesawat terbang pada tanggal 21 Maret 1966, ketika menerbangkan pesawat Aero 45 atau Arev yang sebenarnya buatan Cekoslowakia, yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra. Pesawat ini sebenarnya akan digunakan untuk penerbangan keliling dunia, dan Nurtanio mengalami kecelakaan saat kerusakan mesin, dia berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega Bandung namun gagal karena pesawatnya menabrak toko.

Namun sejarah kemudian mencatat bagaimana setelah gugur Nurtanio tertimpa aib. LIPNUR diubah menjadi IPTN. Nama Nurtanio dihapus. Alasan menghapus nama Nurtanio yang disampaikan secara resmi, sangat sepele. Tuduhannya, adanya surat pribadi dengan kop perusahaan sehingga keluarga Nurtanio difitnah akan memiliki saham IPTN. Isu itu kemudian, yang sangat disayangkan, dibesar-besarkan bahkan didramatisir.

sumber: Wikipidia Indonesia

2 comments on “BIOGRAFI NURTANIO PRINGGOADISURYO : TOKOH DIRGANTARA NUSANTARA

  1. Pada mulanya adalah Nawaitu.. Sebuah Persimpangan antara Mulia – Hina, Cemerlang – Gulita, Keren – Dekil, Manthabz – Bhudhugz.. Nurtanio Never Dies…

  2. sebagai orang yang punya anak lahir di Kandangan Kalsel ikut bangga dan terharu karena dulu banyak yang punya prestasi dan para pemimpin memperlihatkan keahlianya nggak seperti sekarang cuma pencitraan diri untuk kepentingan pribadi maf ada juga yg baik looo

Tinggalkan komentar

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.