2 Komentar

SEJARAH INTELEKTUALISME ISLAM NUSANTARA (1)

SEJARAH INTELEKTUALISME ISLAM NUSANTARA (1)

By Dr. Abdul Hadi WM

Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa, sastra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra bukan saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupaikarya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.

Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilahproses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.

Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Hikayat Nabi-nabi; (2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. (3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; (4) Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; (5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam; (6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan; (7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi; (8) Cerita Berbingkai; (9) Kisah-kisah Jenaka. Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.

(1)Hikayat Nabi-nabi.Hikayat jenis ini lazim disebut Hikayat Anbiya’ atau

Surat Anbiya’. Termasuk ke dalamnya ialah kisah tentangNabi Adam, Idris, Nuh, Saleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, Yusuf, Syuaib, Musa, Daud, Sulaiman, Ayub, Yahya dan Isa a.s. Di samping itu terdapat kisah nabi-nabi secara secara perorangan. Yang paling populer di antaranya ialah Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Raja Jumunah (dan Nabi Isa), Hikayat Zakaria, Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Nabi Allah Ayub, Hikayat Nabi Musa Bermunajat, dan lain-lain. Nabi-nabi ini sering muncul sebagai tokoh dalam kisah lain. Misalnya Nabi Sulaiman a.s. dimunculkan sebagai tokoh bayangan dalam kisah binatang (fabel) seperti Cerita Pelanduk Jenaka.

Versi Melayu dari kisah para nabi itu digubah berdasarkan sumber Arab dan Parsi seperti Kitab al-Mubtada wa Qisas al-Anbiya’ (Buku tentang Kejadian Alam dan Cerita Para Nabi) karangan Wahb ibn Munabba (w. 730 M), Ara`is al-Majalis: Qisas al-`Anbiya’ (Para Pengantin dalam Majlis: Kisah Para Nabi) karangan Tha`labi (abad ke-10 M), dan Qisas al-`Anbya’ karangan Ibn Khalaf dari Nisyapur, Iran (Ismail Hamid 1983:19).Di Perpustakaan Nasional Jakarta terdapat dua belas versi dari hikayat ini. Diantaranya yang digubah oleh Ahmad bin Muhammad al-Syilabisi (dari Sulawesi), Encik Husein dari Bugis dan Muhammad Syam dari Lingga, Riau. Pada pendahuluan kitab ini dipaparkankisah permulaan kejadian alam semestayang diawali dengan kejadian Nur Muhammad. Sejarah kejadian manusia, menurut penulis kitab ini, tidak dimulai dari munculnya Adam, tetapi dari kejadian Nur Muhammad di alam ketuhanan.

(2) Kisah-kisah berkenaan dengan riwayat dan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Putri Salamah (yang mendapat pelajaran dari Nabi, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis Melalui kisah-kisah ini pengarang menyampaikan ajaran Islam. Dalam Hikayat Putri Salamah misalnya Nabi mengajarkan bagaimana tugas seorang istri dalam Islam.

Dalam Hikayat Nur Muhamad atau Hikayat Kejadian Nur Muhamad dikisahkan bahwa sebelum menciptakan segala sesuatu di dalam semesta Tuhan menjadikan Nur Muhamad terlebih dahulu sebagai asas kejadian.Nur Muhamad, yang artinya ialah cahaya yang tepuji, merupakan konsep sufi tentang unsur ruhani segala ciptaan, khususnya manusia, yang digambarkan sebagai cahaya terpuji yang berkilau-kilauan. Konsep ini dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhamad, yang akhlaq dan pengetahuannya terpuji serta menerangi alam semesta.

Sebuatan Nur Muhamad diperkenalkan mula-mula pada abad ke-9 oleh Ibn Ishaq, penulis riwayat Nabi Muhamad paling awal. Pada abad ke-10 M konsep itu dipopulerkan oleh sufi terkemuka Sahl al-Tustari.Konsep nur dirujuk pada hadis qudsi dan surah al-Nur al-Qur’an. Dalam versi Melayu hikayat ini sering dimasukkan sebagai pendahuluan karya bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatin karangan Nuruddin al-Raniri, Hikayat Anbiya’ dan Tambo Minangkabau.Versi terkenal dari hikayat ini ialah gubahan Ahmad Syamsudin dari Aceh pada tahun 1646 M dengan judul Tarikh Mukhtasar (Ringkasan Sejarah), yang disadur dari naskah Parsi Rawdat al-Anbah (Syurga Para Kekasih) karangan Husaini pada tahun 1495 M. Salinan terbaru ialah karangan Ki Agus Haji Khatib Thaha dari Palembang yang ditulis pada tahun 1856. Dalam bentuk puisi, hikayat ini muncul dalam syair-syair tasawuf karangan Hamzah Fansuri pada abad ke-16 M.

Hikayat berkenaan dengan Nabi Muhamad yang juga tidak kalah penting ialah Hikayat Seribu Masalah yang memaparkan masalah eskatologi Islam, yang diuraikan melalui berbagai perumpamaan. Salah satu versi terkenal ialah yang ditulis di Aceh pada akhir abad ke-17 M berdasarkan versi Arab Masa`il Abdullah bin Salam li Nabiyyin (Pertanyaan-pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Junjungan Nabi kita).Rngkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah), seorang pemimpin Yahudi bernama Abdullah bin Salam menyatakan akan memeluk agama Islam bersana 700 pengikutnya apabila Nabi dapat menjawab berbagai pertanyaan. Abdullah bin Salam kemudian menanyakan soal-soal di sekitar kejadian alam, kehidupan di akhirat, syurga dan neraka, pahala dan siksaan. Nabi menjawab semua persoalan itu dengan memuaskan (Edwar Djamaris 1982).

3) Kisah Para Sahabat. Menceritakan kehidupan dan perjuangan para sahabat

Nabi Muhamad yang muncul sebagai tokoh penting Islam setelah Nabi. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Abu Bakar, Hikayat Amir al-Mu`minin Umar, Hikayat Sayidina Ali, Hikayat Usman bin Affan, Hikayat Abu Syamah, Hikayat Abu Bakar dan Rahib Yahudi,Hikayat Ali Kawin,Hikayat Raja Handak, Hikayat Hasan dan Husein, Hikayat Salman al-Farsi, Hikayat Tamim al-Dari dan lain-lain. Hikayat para sahabat ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Misalnya Hikayat Abu Bakar yang menceritakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam yang jarang diketahui umum. “Diceritakan setelah Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, seorang tokoh bernama Marwan dipecat dari jabatannya karena didapatkan menyebarkan fitnah. Setelah beliau wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Dalam masa pemerintahannya terjadi peperangan hebat antara tentara Islam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib melawan tentara Khusraw dari kemaharajaan Parsi di bawah pimpinan Rustam. Dalam peperangan tersebut kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Putri Maharaja Khusraw Syahrbanu kawin dengan Husein bin Ali dan Nurbayan kawin dengan Muhamad bin Abu Bakar”.

Hikayat Abu Syamah menceritakan keadilan khalifah Umar bin Khattab.

“Diceritakan Abu Syamah putra Umar bin Khattab sakit parah sekembalinya dari medan perang di Khalwan. Setelah sembuh dari sakitnya ia berjalan-jalan mengitari kota Madinah untuk menghirup udara. Seorang Yahudi yang mengetahui keadaan Abu Syamah menemuinya dan menawarkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Abu Syamah menerima tawaran itu dan pergi ke rumah orang Yahudi itu. Di rumah orang Yahudi itu dia diberi minuman keras yang dikatakan sebagai obat, sehingga ia mabuk. Dalam keadaan mabuk Abu Syamah menggauli anak gadis orang Yahudi itu sehingga hamil. Orang Yahudi mengadu kepada Umar tentang perbuatan anaknya. Abu Syamah dihukum rajam sampai mati”.

(4) Hikayat Para Wali. Di antaranya yang masyhur ialah Hikayat Rabiah al-Adawiyah, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syekh Naqsabandi dan lain-lain.

(5) Hikayat Pahlawan atau Epos. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat

Muhamad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Malik Saiful Lizan, HikayatSaif bin Dhi Yazan, Hikayat Semaun dan lain-lain. Para pahlawan Islam ini diperkenalkan agar sejarah perjuangan kaum Muslimin di negeri Arab dan Parsi tidak asing dan menjadi bagian dari sejarah kaum Muslimin secara keseluruhan. Tokoh Hikayat Iskandar Zulkarnain didasarkan atas legenda Iskandar Agung dari Macedonia yang telah menaklukkan banyak negeri dari Balkan hingga India. Penulis Muslim menghubungkan kisah raja ini dengan kisah Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam al-Qur’an. Winstedt (1938) mengemukakan bahwa sastrawan Arab yang mencampurkan legenda Iskandar Agung dan Iskandar Zulkarnain ialah Umara. Versi Arab dari kisah ini ialah karangan Mubasyir (1503), tetapi versi Melayu digubah berdasarkan hikayat yang ada dalam sastra Parsi, yaitu Iskandar-namah karangan Nizami al-Ganjawi, penulis Iran abad ke-12 M.

Di samping Hikayat Iskandar Zulkarnain, dua hikayat lain yang populer ialah

Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah. Hikayat Amir Hamzah sangat populer di kalangan masyarakat Muslim hingga awal abad ke-20 Berbagai versinya dijumpai dalam sastra Melayu, Jawa, Madura, Sunda dan lain-lain.Versi cerita ini seperti yang dikenal hingga sekarang memang berasal dari sastra Parsi, bahkan versinya dalam bahasa Arab juga disalin dan disadur dari naskah Parsi. Versi-versi yang tertulis dalam bahasa Parsi antara lain Dastani Amir Hamzah, Qissah Amir Hamzah dan Asmar Hamzah. Sumber ilham cerita ialah Hamzab bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad s.a. w., lahir pada tahun 569 M. Pada awalnya Hamzah menentang ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penganut yang taat dan gigih memperjuangkan kebenaran risalah agama ini. Dalam Perang Uhud melawan pasukan Quraysh, Hamzah mati syahid. Kisah kepahlawanannya hidup terus dalam jiwa kaum Muslimin dan banyak kisah ditulis mengenai dirinya. Tetapi kemudian di Parsi kisahnya dicampur aduk dengan pahlawan lain yang juga bernama Hamzah bin Abdullah, yang hidup pada zaman Abbasiyah. Ketokohan Hamzah bin Abdullah sangat diagungkan oleh orang Parsi, yang berjuang menentang pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (Ismail Hamid 1983:76-7).

Sinopsis cerita: ”Setelah Amir Hamzahmasuk Islam, keberaniannya segera diketahui oleh kaum Muslimin.Beliau dipilih menjadi kepala pasukan tentara untuk menaklukkan Yaman. Maharaja Nusyirwan dari negeri Parsi mendengar berita kepahlawanan Amir Hamzah ini. Dia diundang ke istananya di Madain. Di sana Smir Hamzah jatuh cinta kepada putri Muhrnigar. Bakhtik, wazir maharaja Nusyirwan sangat benci pada orang Arab. Dia merancang pembunuhan terhadap Amir Hamzah, yaitu dengan memberi syarat bahwa Amir Hamzah dapat menikahi sang putri apabila sanggup pergi ke Mesir, Rum dan Yunani untuk mengumpulkan upeti. Amir Hamzah menyanggupi syarat tersebut. Dia berangkat ke Mesir. Namun malang, di sana dia ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi karena kelihaiannya, Amir Hamzah bisa melarikan diri dari penjara, kemudian mengembara ke berbagai negeri, terutama Asia Tengah. Setelah pulang dari pengembaraan, oleh maharaja Nusyirwandia diperbolehkan menikah dengan putri Muhrnigar.Bakhtik tetap benci pada Amir Hamzah dan berusaha mengalahkannya. Mata Amir Hamzah dibuat buta. Tetapi Nabi Khaidir berhasil memulihkan penglihatan Amir Hamzah. Pada akhir cerita Bakhtik dibunuh oleh tokoh bernama Umar Umayyah. Setelah peristiwa itu Amir Hamzah memimpin pasukan memerangi raja-raja kafir dan menyebarkan agamaIslam. Tetapi malang sekali, Amir Hamzah akhirnya gugur ketika berperang dengan Raja Lahad.”

Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Meskipun hikayat ini ditulis berdasarkan sumber Arab, tetapi dikembangkan menjadi sebuah hikayat oleh penulis-penulis Parsi pada abad ke-14 M. Dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniya, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalibdan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniya menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanafdan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.

Dalam sastra Melayu hikayat ini telah dikenal sejak akhir abad ke-15 M dan digubah besrdasarkan sumber Parsi yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 (Brakel 1975:5). Ringkasan ceritanya sebagai berikut: ”Ketika Ali dipilih menjadi khalifah ke-4 setelah terbunuhnya Usman bin Affan, Mu’awiya– keponakan Usman yang menjabat sebagai gubernur Damaskus – menentang keputusan itu. Dia merancang untuk membunuh Ali. Perang berkobar antara pengikut Ali dan Mu’awiya. Keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan dalam pertempuran yang menentukan pasukan Ali berada di atas angin. Tetapi melalui cara yang licik, Mu’awiya menawarkan perundingan. Dalam perundingan diputuskan untuk mengadakan tahkim, yaitu melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh beberapa hakim yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjabat khalifa dan sejak itu resmilah Dinasti Umayya memerintah kekhalifatan Islam. Pemerintahan Umayyah berlangsung antara tahun 662 hingga 749 M. Tidak lama setelah itu Ali dibunuh di Kufa dan para pengikutnya terus melancarkan berbagai pembrontakan terhadap Umayya. Pada masa pemerintahan Yazid, pengganti Mu’awiya, timbul pula pembrontakan yang menewaskan Hasan dan Husein. Muhammad Hanafiya bangkit dan mengumpulkan pasukan, kemudian melancarkan peperangan menentang Yazid. Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid terbunuh secara mengerikan, yaitu jatuh ke dalam danau yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiya menobatkan putra Husainn, Zainal Abidin menjabat sebagai imam. Ketika itu dia mendengar kabar bahwa bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam sebuah gua. Dia pun pergi ke tempat itu untuk memerangi mereka. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia mendengar suara ghaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk ke dalam gua. Tetapi dia tidak menghiraukan seruan itu. Dia terus saja membunuh musuh-musuhnya. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”

(6)Hikayat bangsawan Islam. Biasanya berbentuk cerita tentang petualangan

bercampur percintaan, dan sebagian besar termasuk ke dalam jenis pelipur lara. Namun demikian unsur didaktiknya cukup dominan. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Jauhar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman,Hikayat Umar Umayah, Hikayat Raja Khaibar,Hikayat Ahmad Muhamad,Hikayat Siti Hasnah, Hikayat Siti Zubaidah Perang Dengan Cina dan lain-lain. Sebagian dari hikayat-hikayat ini dikembangkan dari kisah-kisah yang terdapat dari cerita berbingkai dan sebagian lagi dikembangkan menjadi alegori sufi. Pada umumnya cerita dalam kisah-kisah ini bermain di wlayah Tiimur Tengah, Asia Barat, Parsi dan India. Nama tempat yang memang ada dalam sejarah seperti Baghdad, Madain dan Turkistan. Tetapi juga terdapat juga nama-nama rekaan bercorak Arab dan Parsi seperti Syarqastan, Sanjatan, Malik al-Ghuyur dan lain sebagainya.

Melengkapi hikayat bercorak Parsi muncul pula hikayat-hikayat yang mengandung baik unsur Hindu maupun Islam seperti Hikayat Jaya Langkara, Hikayat Gul Bakawali, Hikayat Si Miskin, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Berma Syahdan, Hikayah Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Tokoh-tokoh dalam hikayat ini adalah pahlawan tempatan dan lingkungan terjadinya cerita juga di bumi Melayu, kecuali Hikayat Gul Bakawali. Meskipun digubah dari cerita yang sudah ada pada zaman Hindu, namun unsur Islam dari hikayat ini sangat jelas. Misalnya seperti terlihat pada Hikayat Indraputra. Dalam hikayat ini unsur Islam tampak pada hal-hal seperti berikut. (1) Diceritakan ketika berusia tujuh tahun Inderaputra sudah fasih membaca al-Qur’an; (2) Beberapa naskah hikayat ini dimulai dengan Basmallah; (3) Dalam pengembarannya Inderaputra selalu mengingat keagungan Allah s.w.t., bahkan selalu berdoa dan berzikir; (4) Ia hanya beristri empat orang; (5) Ayahnya Raja Bikrama salat dan berdoa di masjid ketika mengetahui bahwa anaknya hilang (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad 1993:160).

(7) Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi. Sebagian dari alegori sufi digubah berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Dalam sastra Jawa contoh terbaik ialah Cerita Dewa Ruci. Adapun alegori yang disadur dari sumber sastra Parsi ialah Hikayat Burung Pingai, Hikayat Perkataan Alif dan lain-lain. Yang terkenal ialah Hikayat Burung Pingai yang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini..

Dalam Mantiq al-Tayr diceritakan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin atau raja. Burung Hudhud tampil ke depan bahwa raja paraburung sekarang ini berada di puncak gunung Kaf, namanya Simurgh. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, kata Hudhud, burung-burung harus terbang bersama-sama mencari raja diraja mereka. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu: (1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana’, baqa’ dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda.Burung Bulbul sudah terlanjur lengket cintanya pada bunga mawar, sehingga menganggap perjalanan itu tidak perlu dilakukan.Elang sudah merasa puas dengan kedudukannya sebagai raja budak duniawi. Kutilang merasa lemah dan tidak berdaya. Merak sudah merasa enak tinggal di taman yang indah. Hudhud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan. Baru setelah itu burung-burung itu bersedia melakukan penerbangan yang jauh dan sukar. Ternyata yang sampai di tujuan hanya 30 ekor burung. Dalam bahasa Parsi tiga puluhartinya Si-murgh.Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972).

Dalam tradisi sastra sufi, burung digunakan sebagai tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan merindukan Tuhan, asal usul keruhaniannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan – yang walaupun kelihatannya jauh letaknya, namun sebenarnya lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubah suai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri menulis syair-syair menggunakan lambang burung, seperti terlihat dalam ”Syair Tayr al`Uryan Unggas Sultani”. Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut:

”Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjwab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh (sebagaimana tujuh lembah keruhanian dalam Mantiq al-Tayr).Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli. Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masing-masing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengutip Hadis qudsi, ’Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya’. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri” (Ibid 141).

Demikian penggantian tokoh Hudhud dengan burung Nuri mempunyai alasan. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidakhadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman.

(7)Cerita Berbingkai. Cerita semacam ini sangat digemari pembaca, sehingga

versi dari masing-masing cerita banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak termasuk fabel. Yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman. Yang tidak termasuk fabel ialah HikayatSeribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Selain sebagai sarana pengajaran, hikayat-hikayat ini berperan sebagai pelipur lara. Cerita berbingkai dan fabel memang berasal dari kesusastraan Sanskerta.Melalui kesusastraan Parsi kisah-kisah semacam itu sampai ke dalam buaian peradaban Islam dan dikembangkan lebih jauh hingga mencapai bentuknya yang lebih sempurna dan mempesona. Para sastrawan Muslim juga meningkatkan bobot cerita-cerita ini, dengan memberinya kandungan moral serta pesan kemanusiaan dan keruhanian yang universal. Yang paling populer dari hikayat-hikayat tersebut ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Judul asli hikayat ini ialah Alfa Layla wa Layla, dan di Eropah dikenal denan judul Arabian Nights. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas seperti Hikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu ialah salinan awal abad ke-18 M. Pada tahun 1895 untuk kesekian kalinya hikayat ini diterjemahkan kembali dari salah satu versi Arab abad ke-15 oleh Datuk Mahakurnia Alang Ahmad dari Perak (Ismail Hamid 1983:123).

(8)Kisah Jenaka. Kisah jenaka yang populer ialah serial Hikayat Abu Nawas

dan Hikayat Umar Umayya. Berdasarkan model ini kemudian muncul kisah-kisah jenaka dengan menggunakan tokoh tempatan seperti Pak Belalang (Melayu), Si Kabayan (Sunda), Modin Karok (Madura) dan lain-lain. Termasuk kisah jenaka dan sekaligus fabel ialah Kisah Pelanduk Jenaka.

Kesadaran Diri Baru

Akhir masa peralihan Hindu ke Islam sebenarnya tidak bisa dibatas secara jelas. Hal ini disebabkan karena karya-karya dari abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya. Penyaduran dan penciptaan kembali hikayat-hikayat itu juga dilakukan secara intentif dalam bahasa-bahasa Nusantara lain sepertiJawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar dan Mandailing hingga abad ke-19 M. Tetapi pada akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai pusat baru kegiatan penulisan sastra Melayu, gelombang kedua pemikiran Islam bermula. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya.

Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderunganuntuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf. Terutama dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi. Gejala dominan kedua ialah upaya untuk merumuskan sistem kekuasaan berdasarkan cara pandang Islam. Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat untuk menyusun teori kenegaraan yang ideal (Taufik Abdullah 2002).Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang berpengaruh bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara dalam abad-abad selanjutnya. Tokoh-tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya dapat dikatakan mewakili gejala dominan pertama. Sedangkan gejala dominan kedua diwakili oleh Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Dua tokoh yang disebut terakhir ini muncul pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis dan ilmiah.

Ciri lain dari gelombang kedua ini ialah suburnya penulisan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf.Para penyair Melayu tidak lagi sekadar menyadur dan menggubah kembali karya-karya Arab dan Parsi, melainkan mulai benar-benar melahirkan karya yang orisional dan ekspresif. Pengaruh dari munculnya karya-karya semacam ini ialah bangkitnya sebuah kesadaran baru, khususnya kesadaran pentingnya individualitas. Karya-karya para penulis Aceh ini memperlihatkan bahwa, diakui atau tidak, Islam telah merupakanbagian dari ’diri yang sah’ dan utuhdalam sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa Nusantara. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).

Hamzah Fansuri. Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakanhidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.

Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf dalam tariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya danmengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa dan Kalimantan. Sebagai sufi dia menempuh jalur pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama oleh karya-karya Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami. Semua nama itu merupakan sufi terkemuka Arab dan Parsi pada abad ke-13 – 15 M.

Hamzah Fansuri menulis banyak kitab, tetapi yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masingSyarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Syarab al-Asyiqin dianggap sebagai karyanya yang pertama dalam bahasa Melayu dan sekaligus risalah tasawuf pertama dalam bahasa Melayu (al-Attas 1970). Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[1]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dalam dua misra’ (Ali Hasymi 1975)

Syair-syairnya punya ciri-ciri khusus yang sebagian darinya kemudian ditransformasikan menjadi konvensi puitika dan estetika sufi Melayu. Banyaknya kata-kata dan istilah Arab, khususnya dari al-Qur’an dan Hadis, dalam syair-syairnyamenunjukkan bahwa pada masa hidupnya proses islamisasi kebudayaan Melayu berlangsung dahsyat. Dan sang penyair sudah memainkan peranan utama sebagai pelaku dari proses islamisasi itu. Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah Fansuri ialah:Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk. Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi.Di antara tamsil atau citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misal anggur atau arak adalah lambang kemabukan mistik. Simbol lain yang digunakan penyair ialah burung (untuk ruh), ikan yang menyatu dengan lautan (persatuan mistik) ; kekasih atau Mahbub (Tuhan); kapal yang berlayar ke Bandar Tauhid (perjalanan ruhani seorang beriman);bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; Ka’bah (lambang hati seseorang yang imannya teguh) dan lain-lain. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkunganbudaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur dirubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur dirubah dengan takir dari daun pisang. Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya.

Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Ciri lain yang menonjol dalam pembaharuan Hamzah Fansuri dalam sastra Nusantara ialah penekanannya terhadap individualitas. Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”.

Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutupuntaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fana’ (hapusnya nafsru rendah disebabkan menyatu dengan Kehendak Yang Abadi. Bentuk lain pembebasan jiawa ialah makrifat. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu

Tempatnya kapur di dalam kayu

Asalnya manikam di manakan layu

Dengan ilmu dunia di manakan payu

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus

Seperti kayu sekalian hangus

Asalnya laut tiada berarus

Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI, MS Jak. Mal. 83)

Dalamsyair “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu…” dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman fana’, seperti dikatakannya “Seperti kayu sekalian hangus”. Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh

Ronanya habis sekalian luruh

Zahir dan batin menjadi suluh

Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII, Ibid)

Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkaan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyir menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu.Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil

Menjadikan insan alim dan jahil

Dengan hamba-Nya da’im Ia washil

Itulah mahbub yang bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan

Lagi alim lagi bangsawan

Kasihnya banyak lagi gunawan

Olehnya itu beta tertawan

Bersunting bunga lagi bermalai

Kainnya warna berbagai-bagai

Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)

Olehnya itu orang terlalai

Ingat-ingat kau lalu lalang

Berlekas-lekas jangan kau mamang

Suluh Muhammad yogya kaupasang

Supaya salim jalanmu datang

Rumahnya `ali berpatam birai

Lakunya bijak sempurna bisai

Tudungnya halus terlalu pingai

Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai

Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk

Memakai khandi pergi menjaluk

Ke dalam pagar yogya kaumasuk

Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

(Ikat-ikatan II, Ibid)

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut daribawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga, alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Bukhari al-Jauhari dan Taj al-Salatin

Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,

Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.

Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.

Tema sentral buku ini ialah keadilan, karena kehidupan sosial keadilanlah jalan yang mampu membawa manusia menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja,akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di sorga. Ia adalah bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah.

Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang Ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan.

Adapun tanda ulil albab ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.;(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah danberita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

Karena itu seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat seperti berikut: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

Dalam fasal ke-5Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. (1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan; (2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat; (3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasaibidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik; (5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad; (6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan; (7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (8) Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara; (9) Tidak senang bermain perempuan; (10)Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.

Fasal ke-6dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.

Sejarah dan Undang-undang

Buah dari kesadaran baru yang juga tidak kalah menonjol ialah semakin dirasakan pentingnya penulisan karya bercorak sejarah dan undang-undang. Dalam tradisi kecendekiawanan Muslim, penulisan karya sejarah menempati urutan penting karena terkait langsung dengan ajaran agama. Al-Qur’an menyebutkan bahwa ayat-ayat Tuhan terbentang di alam semesta dan diri manusia. Ayat-ayat Tuhan yang di alam semesta bukan hanya fenomena-fenomena alam, melainkan juga berbagai peristiwa sejarah. Berbeda dengan fenomena alam yang kurang melibatkan peranan manusia, sejarah sepenuhnya melibatkan peranan manusia. Pembukaan dan pendirian sebuah negeri, peperangan, naik turunnya seuatu dinasti atau daulah pemerintahan, penghancuran dan pembangunan kota, pelayaran ke negeri-negeri jauh, pribadi dan akhlaq tokoh politik, pemerintahan, agama dan intelektual, yang mengubah jalannya sejarah dan menentukan perkembangan peradaban, sangat menarik perhatian cendekiawan atau sastrawan Muslim sejak abad ke-7 dan 8 M.

Dimulai dengan Hikayat Raja-raja Pasai dan kemudian Sejarah Melayu, yang telah mulai ditulis pada zaman kesultanan Malaka pada abad ke-15 M, karya bercorak sejarah kemudian ditulis secara intentif di pusat-pusat kegiatan politik Islam pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M.Selain karya-karya yang telah disebutkan, karya bercorak sejarah yang juga dapat digolongkan awal tarikh penulisannya ialah Hikayat Aceh yang ditulis pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Karya lain yang ditulis sesudah Hikayat Aceh ialah Bustan al-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, khususnya Bab II yang fasal-fasal permulaanmenerangkan sejarah nabi-nabi dan raja-raja, sedangkan fasal 12 mengenai sejarah Aceh yang mencapai puncak kegemilangannya pada zaman Iskandar Muda dan Iskandar Tsani (1637-1641 M).

Karya bercorak sejarah sangat banyak dijumpai dalam khazanah sastra Melayu dan Jawa pada zaman Islam, melampaui zaman sebelumnya. Di antara karya jenis yang terkenal dalam bahasa Melayu ialah Hikayat Merong Mahawangsa (tentang sejarah Kedah), Hikayat Banjar dan Kota Waringin, Hikayat Johor, Salasilah Kutai, Hikayat Patani, Hikayat Siak, Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis, Salasilah Raja-raja Brunei, Hikayat Pahang, Sejarah Raja-raja Riau, Hikayat Mokoko (Bengkulu), Hikayat Palembang, Hikayat Upu Daeng Manambon, HikayatMaulana Hsanuddin (sejarah penyebaran agama Islam di Banten), Tuhfat al-Nafis (karya Raja Ali Haji), Hikayat Bengkulu, Hikayat Tuanku Imam Bonjol, Hikayat Syekh Jalaluddin, Hikayat Rasulullah Yang Jatuh Kepada Sunan Giri Kedaton dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Sunda dan Madura karya bercorak sejarah disebut babad. Istilah ini baru muncul sejak berkembangnya agama Islam. Di antara babad yang terkenal ialah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Demak, Babad Mataram, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Pasundan, Babad Cirebon, Babad Sumenep, Babad Besuki, Serat Babad Dipanegara, dan lain-lain.

Sejauh mengenai sejarah sebuah kerajaan atau beberapa negeri yang merupakan sebuah kerajaan besar, terdapat ciri umum yang sama atau mirip di antara karya-karya bercorak sejarah itu.Apabila seorang penulis menceritakan masa lampau yang jauh, maka digunakan unsur mitos dan legenda yang hidup dalam masyarakat. Sarana mitos atau legenda kadang digunakan secara simbolik, kadang-kadang sebagai sarana untuk memberikan legitimasi kepada raja dan keturunannya yang berkuasa. Sejarah Melayu misalnya menceritakan bahwa raja-raja Melayu merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain. Setelah itu baru sejarah yang sebenarnya mulai dipaparkan. Jika dimulai dari sejarah masa lampau yang dekat, unsur mitos dan legenda tidak dipaparkan, seperti misalnya tampak dalam Bustan al-Salatin fasal 12 dan Tuhfat al-Nafis. Ini jelas berbeda dengan penulisan sejarah zaman Hindu. Raja-raja dalam historiografi Hindu disebutkan sebagai titisan Dewa, khususnya Wisynu. Perbedaannya yang lain ialah dalam historiografi Islam, tarikh mulai disebutkan dengan jelas.

Ciri umum karya bercorak sejarah ialah sebagai berikut: (1) Menceritakan asal-usul raja; (2) Menceritakan keturunan raja-raja; (3) Mengisahkan pembukaan sebuah negeri oleh seorang raja dan asal-usul penamaan negeri yang baru dibuka; (4) Menceritakan bagaimana agama Islam berkembang di negeri bersangkutan, siapa tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam penyebaran itu dan bagaimana kemudian Islam dipraktekkan dalam berbagai aspek kehidupan; (5) Menceritakan keadaan negeri, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dari awal hingga masa paling akhir ketika buku itu ditulis. Kadang pemaparan peristiwa yang lebih akhir ditambahkan oleh para penyalin kitab itu.

Berkenaan dengan kedatangan dan perkembangan agama Islam, hikayat-hikayat itu dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah seperti Hikayat Aceh, Misa Melayu, Hikayat Pahang dan Hikayat Johor. Hikayat-hikayat ini tidak mengemukakan kisah kedatangan agama Islam karena pada waktu ditulis, Islam sudah dianut oleh masyarakat luas dan telah pula berkembang pesat. Sebagai gantinya yang diceritakan ialah adat istiadat dan kebiasaan raja serta masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan ajaran Islam, penyelenggaraan upacara keagamaan dan hari raya. Kelompok kedua, termasuk Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi dan lain-lain. Kitab-kitab ini dimulai dengan menceritakan jauh sebelum agama Islam datang dan kemudian bagaimana agama Islam mula-mula berkembang.

Dalam Sejarah Melayu misalnya berbagai hal yang berkenaan dengan agama Islam dipaparkan secara agak rincu. Setelah upacara pengislamannya, raja lantas pergi mempelajari agama kepada seorang ulama terkemuka Makhdum Syekh Abdul Aziz. Pelajaran paling awal ialah tatacara salat. Berkenaan dengan adat istiadat dan larangan, disebutkan misalnya bagaimana raja berangkat ke masjid di bulan Ramadhan, salat tarawih dan kemudian salat Id. Dikemukakan beberapa kutipan hadis dan pepatah Arab berkenaan dengan dosa dan pahala. Juga diceritakan datangnya ulama penting dari negeri Arab yang menetap di Malaka untuk mengajar agama, serta singgahnya dua orang ulama dari Jawa dalam perjalanan menuju Pasai dan Mekah. Dua tokoh tersebutkelak menjadi wali terkemuka, yakni Sunan Giri dan Sunan Bonang.

Kadang juga diceritakan hubungan kerajaan Islam yang satu dengan yang lain. Hikayat Banjar misalnya menyebutkan bagaimana Demak menerima agama Islam dan bantuan apa yang diberikan raja Demak dalam mengislamkan Banjarmasin. Diceritakan pula peranan orang Jawa dalam mendirikan Kota Waringin. Demak menerima Islam setelah Raja Majapahit kawin dengan putri raja Pasai yang beragama Islam.

Dalam periode terakhir dari gelombang kedua pemikiran Islam, yaitu setelah mantapnya kerajaan-kerajaan Islam, maka mulailah sastra kenegaraan dan undang-undang ditulis. Di antara sastra kenegaraan yang ditulis pada zaman kejayaan Aceh selain Taj al-Salatin ialah Bustan al-Salatin (diuraikan nanti). Karya-karya kenegaraan sebenarnya tidak banyak, namun pengaruhnya sangat besar bagi penulisan karya bercorak sejarah dan undang-undang, Dalam sastra sejarah, sering nasehat-nasehat tentang pemerintahan dikutip dari sastra kenegaraan. Misalnya dalam Salasilah Kutai, raja Majapahit yang dimintai nasehat oleh raja Kutai yang baru mememuk agama Islam tentang seluk-beluk memimpin pemerintahan yang baik, dengan senang hati mengutip bagian-bagian yang relevan dari Taj al-Salatin. Bagi sastra undang-undang sendiri, sastra kenegaraan merupakan rujukan utama di samping adat istiadat yang berlaku serta sumber-sumber al-Qur’an, Hadis dan fiqih dari madzab Sunnah wa al-Jamaah.

Sastra Undang-undang tidak kalah banyaknya ditulis seperti karya bercoak sejarah. Berdasarkan cara pengambilan keputusan, sastra undang-undang dibagi dalam dua kelompok, yaitu: (1) Kumpulan Undang-undang Adat Tumenggung, dan (2) Kumpulan Undang-undang Adat Perpatih. Sedangkan mengenai isinya dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Undang-undang berkaitan dengan raja, pembesar kerajaan dan administrasi pemerintahan; (2) Undang-undang tentang kriminalitas dan hukumannya; (3) Undang-undang berkenaan dengan aturan dalam masyarakat seperti perkawinan, perceraian dan waris; (4) Adat istiadat raja-raja dan pembesar kerajaan. Penyusunan undang-undang ini tidak sepenuhnya diambil dari tradisi Islam, sering juga memasukkan unsur lokal dan Hindu (Winndstedt 1969; Zalila Sharif 1993:446-7).

Dalam Adat Tumenggung keputusan dilakukan dari atas dan tidak didasarkan musyawarah. Dalam Adat Perpatih keputusan didasarkan atas musyawarah. Termasuk dalam Undang-undang Adat Tumenggung ialah Hukum Kanun Malaka (banyak versi), Undang-undang Palembang, Undang-undang dalam Pegangan Moko-moko (Bengkulu), Undang-undang Aceh, Undang-undang Johor, Undang-undang Jambai, Adat Raja-raja Melayu, Adat Aceh, Undang-unang Kedah, Undang-undang Laut Melaka, dan lain-lain. Yang ditulis pada abad ke-19 : Thamarat al-Muhimmah, Muqaddimah fi Intizam,Itqan al-Muluk b Ta`dil al-Suluk. Sedangkan yang termasuk Undang-undang Adat Perpatih ialah Undang-undang Minangkabau, Tambo Minangkabau, Kitab Kesimpanan Adat Minangkabau,Undang-undang Sembilan Puluh Sembilan (Negeri Sembilan, Malaysia), dan lan-lain.

Penulisan kitab undang-undang ini mengandung banyak unsur sastra. Misalnya uraian tentang ‘kawin semenda’ dalam Undang-undang Adat Perpatih. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa suami mesti tinggal di rumah istri dan disebut orang semenda atau penumpang. Yang berkuasa di rumah itu mamak, saudara dari istrinya. Hubungan orang semenda dengan ninik mamak diumpamakan sebagai “Mentimun dengan durian”, dan dinyatakan sebuah prosa berirama:

Orang semenda di tempat semenda

Jika cerdik teman berunding

Jika bodoh disuruh arah

Tinggi banir tempat berlindung

Rimbun daun tempat berlindung

Disuruh pergi, dipanggil datang,

Yang patah disuruh menunggu jemursan

Yang pekak disuruhmencucuh meriam

Yang berani dibuat kepala lawan

Kalau kaya hendakkan emasnya

Kalau alim hendakkan ilmunya

(Ibid)

Dalam sastra undang-undang yang membicarakan seluk pemerintahan, dibicarakan misalnya cara-cara seorang raja tampil sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Dalam kitabnya Thamarat al-Muhimmah Raja Ali Haji misalnya mengatakan bahwa ada tiga sebab munculnya seorang raja dan kemunculannya sah dilihat dari hukum Islam: (1) Bai`at dari para ulama; (2) Istikhlaf, telah ditetapkan untuk menggantikan raja sebelumnya; (3) Taghlab, dengan cara merebut kekuasaan dari raja sebelumnya. Jika raja yang diturunkan tahta itu tidak adil atau zalim, maka cara demikian diperbolehkan. Dalam buku itu juga dikemukakan tata tertib pengadilan, tugas seorang qadi.

Puisi Dalam Sastra Melayu

Pada zaman Islam puisi mengalami perkembangan pesat dalam kesusastraan Melayu. Ia kadang-kadang lebih efektif dalam menyampaikan pengalaman keagamaan dan mistik dibanding prosa. Perkembangan pesat puisi Melayu Islam pada abad ke-16 dan 17 M, serta keanekaragaman jenisnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan perasaan orang Melayu yang telah dipengaruhi nilai-nilai Islam, dan juga selain merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan pengalaman keagamaan dan mistik, sejak lama orang Melayu – sebagaimana bangsa Nusantara yang lain – menyukai pengucapan puitik dalam menyampaikan gagasan.

Dilihat dari sumbernya keanekaragaman bentuk puisi Melayu pada zaman

Islam dapat dibagi ke dalam empat kelompok: (1) Bentuk puisi yang ditransformasikan dari tradisi lisan atau tulis yang telah berkembang sebelum Islam. Termasuk dalam kelompok ini ialah pantun, gurindam, talibun, seloka dan mantera. Pantun, gurindam dan talibun hanya berbeda jumlah baris, tetapi kerangkanya sama terdiri dari sampiran dan isi. Jumlah baris sampiran dan isi sama banyaknya. Pantun terdiri dari empat baris, sampiran 2 baris dan isi dua baris. Gurindam dua baris, 1 baris ampiran dan 1 baris lagi isi. Talibun delapan baris. Seloka adalah bentuk puisi yang berasal dari sastra Sanskerta, biasanya terdiri dari empat baris, tanpa mengenal pembagian sampiran dan isi. Seloka Melayu biasanya berisi sindiran atau ejekan; (2) Bentuk puisi yang bersumber dari tradisi Arab Parsi. Yang populer ialah ‘syair; (3) Bentuk puisi yang bersumber dari sastra Parsi seperti ghazal, nazam, ruba’i, kit`ah dan matsnawi. Bentuk-bentuk puisi ini diperkenalkan oleh para penulis Melayu sebagai sisipan dalam hikayat-hikayat seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Seribu Satu Malam dan Taj al-Salatin. Sebagian besar bentuk-bentuk puisi ini ditulis mengikuti aturan yang berlaku dalam persajakan Parsi.Semua bentuk puisi Parsi jarang dipakai setelah abad ke-17 M, namun memberi lahirnya bentuk puisi baru; (4). Bentuk puisi yang ditranformasi dari sumber Parsi seperti teromba atau puisi berirama. Sumbernya ialah matsnawi, tetapi disesuaikan dengan cita rasa persajakan Melayu. Bentuk puisi lain seperti bidal dan pepatah, mungkin sudah ada sebelum zaman Islam sebagaimana jampi atau mantra. Di antara bentuk puisi yang paling sering digunakan ialah pantun, gurindam, syair dan teromba atau bahasa berirama.

Pantun. Seperti telah dikemukakan pantun adalah puisi empat baris yang terdiri dari sampiran dan isi. Tiap baris pada umumnya terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, dengan pola sajak akhir AAAA atau ABAB. Sampiran biasanya melukiskan lingkungan alam dan budaya orang Melayu, sedangkan isi memuat maksud atau pesan moral yang ingin diperkatakan. Kaitan antara sampiran dan isi terletak pada persamaan atau kemiripan bunyinya pada setiap kata yang digunakan, kadang pada asosiasi citraan yang dilahirkannya. Pembagian ke dalam sampiran dan isi ini mungkin ada kaitannya dengan estetika Islam yang membagi teks ke dalam surah (bentuk lahir) dan ma`na (bentuk batin atau makna). Tidak diketahui kapan pantun muncul dalam bentuknya seperti dikenal sekarang.Pantun tertulis paling awal yang dijumpai berasal dari abad ke-16 M dalam naskah tasawuf Asrar al-`Arifin karanganHamzah Fansuri, yaitu:

Kunjung-kunjung di bukit tinggi

Kolam sebuah di bawahnya

Wajib insan mengenal diri

Sifat Allah pada tubuhnya

Bandingkan dengan pantun yang populer, yang entah kapan ditulis seperti berikut:

Pulau Pandan jauh di tengah

Di balik pulau angsa dua

Hancur badan dikandung tanah

Budi baik dikenang jua

Sering pantun disisipkan dalam karangan prosa, misalnya seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu (1607) karangan Tun Sri Lanang:

Telur itik dari Senggora

Pandan tergeletak dilangkahi

Darahnya titik di Singapura

Badannya terlantar di Langkawi

Pantun yang mengandung pesan keagamaan antara lain ialah seperti berikut:

Kemumu di dalam semak

Terbang melayang selaranya

Meski ilmu setinggi tegak

Tidak sembahyang apa gunanya

Dalam syair tasawuf abad ke-17 M dari Aceh, karangan Abdul Jamal dan Hamzah Fansuri, terdapat perkataan ‘bandun’ yang mirip perkataan ‘pantun’ dan dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai sajak dengan aturan tertentu yang dinyanyikan seperti pantun. Dalam beberapa bahasa Nusantara seperti Madura nyanyian atau sajak yang dinyanyikan disebut pantun. Berdasarkan isi atau temanya pantun biasa dibagi ke dalam beberapa kelompok: (1) Pantun Kanak-kanak; (2) Pantun atau cinta kasih sayang; (3) Tatacara kehidupan dalam masyarakat; (4) Pentun teka-teki; (5) Pantun Agama; (6) Pantun puji-pujian; (7) Pantun Nasehat; (8) Pantun Cerita.

Gurindam. Nama gurindam sudah dikenal sejak abad ke-13 M, tetapi artinya tidak tepat sama sebagaimana arti yang diberikan pada abad ke-19 M. Pada mulanya gurindam berarti perumpamaan secara umum. Sutan Takdir Alisyahbana (1952) berpendapat bahwa gurindam merupakan puisi dua baris, masing-masing baris bersajak dan mengutarakan suatu gagasan secara berkesinambungan. Isinya biasanya nasehat, pengajaran budi pekerti atau agama, sendagurau, ejekan dan sindiran. Menurut Raja Ali Haji dalam Bustan al-Katibin (abad ke-19 M) gurindam adalah perkataan bersajak pada masing-masing pasangan, akan tetapi perkataannya baru lengkap jika diikuti oleh pasangannya. Baris pertama adalah syarat atau sampiran, baris kedua adalah jawab atau maksud. Contohnya:

Persamaan yang indah-indah

Ialah ilmu yang memberi faedah

Raja Ali Haji ingin mengatakan bahwa keindahan yang bermakna dalam karya sastra haruslah juga memberi faedah. Dengan perkataan lain estetika terkait dengan etika. Pada masa yang akhir gurindam selalu dihubungkan dengan kreativitas Ali Haji. Dialah yang menghidupkan kembali bentuk persajakan lama ini dengan gaya baru, sebagaimana terlihat dalam karyanya Gurindam Dua Belas. Petikan gurindam Raja Ali Haji ialah sebagai berikut:

Barang siapa tiada memegang agama

Tiada boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat

Maka yaitulah orang bermakrifat

Barang siapa mengenal Allah

Suruh dan tegahnya tiada salah

Barang siapa mengenal diri

Dia mengenal Tuhan yang bahari

Barang siapa mengenal dunia

Tahulah ia barang yang teperdaya

Gurindam Raja Ali Haji jelas berbeda dengan gurindam tradisional, yang terdiri dari sampiran dan isi. Pada gurindam Raja Ali Haji terdapat kesinambungan pernyataan dalam baris-barisnya. Contoh gurindam yang biasa ialah seperti berikut:

Tua-tua keladi

Kian tua makin menjadi-jadi

Bentuk gurindam yang sama, yang terdiri dari sampiran dan isi,juga ditulis oleh Raja Ali Haji sebagai berikut:

Dangdut tali kecapi

Kenyang perut senang di hati

Syair. Syair adalah sajak empat baris, biasanya dengan pola bunyi akhir AAAA, tetapi ada juga yang pola bunyi akhrnya ABAB, AABB, AABC dan AABAJumlah suku kata pada setiap barisnya pada umumnya antara 8 sampai 12. Dalam bentuknya seperti dikenal sekarang, syair Melayu pada mulanya diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 M dan karena jumlah barisnya empat, Syamsuddin al-Sumatrani (wafat 1630 M) dalam bukunya Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri menyebut syair ala Hamzah Fansuri sebagai ruba`i, artinya puisi empat baris yang pernyataan dari baris-barisnya berkesinambungan. Pada abad ke-17 M murid-murid Hamzah Fansuri menyebut ruba`i Melayu sebagai sya`ir, sedangkan Hamzah Fansuri sendiri dalam risalah tasawufnya Asrar al-`Arifin menyebutnya “sajak empat secawang”. Perkataan syair yang awal antara lain dijumpai dalam salah satu dari empat versi Syair Perahu karyapengikut Hamzah Fansuri yang hidup pada abad ke-17 M. Dalam puisinya itu kata syair dipertukarkan dengan ‘madah’ (dari kata Arab madih, kata jamaknya mada`ih, yang artinya puisi pujian), seperti berikut:

Inilah gerangan suatu madah

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah

Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiadalah berapa lama hidupmu

Ke akhirat jua kekal diammu

Pada mulanya syair digunakan untuk menyampaikan ajaran tasawuf atau ilmu suluk, yaitu metode keruhanian dalam Islam mencapai makna terdalam Tauhid, kesaksian bahwa Allah itu esa. Tetapi kemudian juga dipakai sebagai media menyampaikan kisah percintaan, sejarah, hikayat dan lain-lain. Berdasarkan isi atau temanya sastra syair dapat dibagi ke dalam kelompok seperti berikut: (1) Syair Tasawuf; (2) Syair Nasehat Keagamaan; (3) Syair Nasehat Budi Pekerti dan Adat istiadat (4) Syair Sejarah; (5) Syair Hikayat; (6) Syair Percintaan; (7) Syair Ibarat; (8) Syair Tema-tema lain di luar yang telah disebutkan.

Syair Tasawuf. Memuat ajaran tasawuf atau pengalaman sufi, misalnya mengenai tahap-tahap perjalanan ruhani (maqam) menuju Tuhan atau Kebenaran Tertinggi dari tauhid. Biasanya memakai kias dan tamsil anthromorfis, kosmologis, ontologis dan erotik.Kecuali karya-karya Hamzah Fansuri, yang termasuk syair jenis ini ialah syair-syair anonim dan syair-syair yang jelas nama pengarangnya. Syair-syair yang jelas nama pengarangnya ialah: Syair Tajalli (Hasan Fansuri), Syair Ta`ayyun Awwal,Syair Keindahan, Syair Sifat-sifat Tuhan, Syair Mubtadi, Syair A`yan Tsabitah, Syair Cahaya, Syair Alif (Abdul Jamal), Syair Ma`rifat, Syair Martabat Tujuh (Syamsudin al-Sumatrani), Syair Ma`rifat Allah (Abdul Rauf Singkel), Syair Mekah Madinah, Syair Sunu (Syekh Daud abad ke-19 M), dan lain-lain. Salah satu syair Abdul Jamal yang mempengaruhi Amir Hamzah, penyaiar abad ke-20, ialah:

Wahdat itulah bernama bayang-bayang

Di sana nyata wayang dan dalang

Muhit-Nya lengkap pada sekalian padang

Musyahadah di sana jangan kepalang

Syair-syair Tasawuf yang anonim antara lain ialah Syair Dagang, Syair Perahu (ada tiga versi yang berbeda-beda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’ (Lautan Perempuan), Syair Ta`rif al-Huruf, Syair Perkataan Alif, Syair Unggas Bersoal Jawab, Syair Burung Pingai dan lain-lain.

Syair Nasehat Keagamaan. Memuat rincian ajaran agama meliputi syariat, fqih, usuluddin, eskatologi, adab atau tentang rukun iman, rukun Islam dan lain-lain. Misalnya Syair Naik Haji, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Kiamat, Syair Ibadat, Syair Rukun Nikah, Syair Neraka, Syair Isra’ Mi`raj, Syair Maulid Nabi, Syair Cerita Dalam Kubur dan lain-lain.

Syair Nasehat Umum. Termasuk dalam kelompok ini antara lain Syair Nasehat, Syair Amanat, Syair Pengajaran, dan lain-lain. Jumlah syair semacam ini sangat banyak dalam khazanah sastra Melayu.

Syair Sejarah. Syair sejarah juga sangat banyak jumlahnya. Seperti karya bercorak sejarah, ia juga mengungkapkan sejarah sebuah negeri dengan tokoh-tokoh utamanya atau sejarah perjuangan seorang tokoh penting dalam sejarah politik dan intelektual Islam. Tetapi terdapat perbedaan antara syair sejarah dan prosa sejarah. Perbedaannya antara lain: bagian-bagian yang tidak diuraikan panjang lebar dalam prosa, diungkapkan secara panjang lebar dalam syair sejarah. Misalnya adegan peperangan. Begitu juga uraian kepribadian dan watak seorang tokoh yang tidak begitu diuraikan dalam karya bercorak sejarah, diuraikan panjang lebar dalam syair sejarah. Dengan demikian aspek estetika sangat ditekankan dalam syair sejarah. Termasuk dalam kelompok ini ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Perang Banjarmasin, Syair Perang Aceh, Syair Sultan Mahmud, Syair Singapura Terbakar Api, Syair Raja Haji, Syair Sultan Maulana, Syair Perang Siak, Syair Kompeni Belanda Berperang Dengan Cina,Syair PerangWangkang, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Maharaja Abu Bakar, Syair Awang Semaun, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Sultan Yahya, Syair Lampung Karam, Syair Moko-moko, Syaor Perang Betawi, Syair Timur dan lain-lain.

Syair Hikayat. Isinya sama dengan hikayat. Misalnya Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Haris Fadilah, Syair Bidasari, dan lain-lain.

Syair Percintaan. Isinya kisah percintaan bercampur petualangan yang biasa digolongkan sebagai roman dalam sastra Eropa. Misalnya Syair Badr al-Zaman, Syair Nakhoda Asyiq, Syair Badr al-`Asyiq, Syair Taj al-Muluk, Syair Ken Tambuhan, Syair Dandan Setia, Syair Johar Manik, Hikayat Andaken Penurat, Syair Yatim Nestapa, Syair Si Lindung Delima, Syair Siti Zawiyah, Syair Gul Bakawali, dan lain-lain.

Syair Ibarat. Isinya kisah perumpamaan yang menggunakan tokoh binatang atau tumbuh-tumbuhan. Tujuannya sebagai sindiran. Misalnya Syair Ikan Terubuk, Syair Burung Nuri, Syair Burung Pungguk Merindukan Bulan, Syair Lalat dan Nyamuk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Ikan, dan lain-lain.

Sufi, Fuqaha dan MufassirAceh

Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak kejayaannya sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam yang sangat berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani (1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan, tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.

Syamsudin al-Sumatrani. Dia juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang prolifik. Dia adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan dan pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana menteri. Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan oleh Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16, dirumuskan sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin. Sumbangan tokoh ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya membahas ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara sistematis.

Dalamm hubungannya dengan sastra, peranan Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk mengembangkan kritik sastra berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil. Metode ini telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M. Karya Syamsudin mengenai ta`wil tampak dalam risalahnyaSyarah Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil adalah metode penafsiran sastra dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna batin dan makna isyarah atau sugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya. Konteks sejarah dan budaya penulis juga harus diketahui sebagai syarat pemahaman yang mendalam dan bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme sufi juga perlu diketahui dan simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi, ontologi, epistemologi dan psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna yang diturunkan dari makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas oleh seorang yang berilmu.

Syamsudin al-Sumatrani tidak banyak menulis puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang tergolong sastra kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin Orang Beriman), Mir`at al-Iman (Cermin Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna (Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan Tuhan), Mir`at al-Muhaqqiqin (Cermin Penuntut Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara Hakikat), Nur al- Daqa`iq,Kitab al-Haraqah, dan lain-lain.

Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan berikut, yang menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham wujudiyah:

“Ada pun ruh al-qudus itu nyata pada hati sanubari, maka al-qudus itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.), dan yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua pun. Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan, yang memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya, tiada sesuatu daripadanya jua…” (T. Iskandar 1987).

Abdul Samad al-Falimbangi, sufi abad ke-18 dari Palembang, mengatakan dalam sebuah kitabnyabahwa karya Syamsudin Pasai mengupas tasawuf seni yang tinggi sekali peringkatnya.

Nuruddin al-Raniri. Dia adalah seorang ulama sufi, ahli fiqih (fuqaha) dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir, Gujarat, India.Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani.Setelah Sultan Iskandar Tsani naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan diterima menjadi ulama istana. Sebelumnyadia pernah tinggal di Pahang, Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim. Kitab ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar Tsani wafat, oleh penggantinya jabatan ulama istana diberikan kepada murid Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin. Dia wafat pada tahun 1658 M. Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di antaranya ialah Hill al-Zill,Tybian fi ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum, Kabar Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman, dan lain-lain. Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia mempelajari bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.

Karya Nuruddin al-Raniri yang paling terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), yang ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin yang dianggapnya belum lengkap.Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.

Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.

Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal.Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Parsi, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.

Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia,

terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib. Nilai sastra Bustan al-Salatin tampak dalam uraian tentang Taman Gairah dan Gegunungan yang terletak di kompleks istana kesultanan Aceh, sebagai berikut:

“Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah… Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati… Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqiitu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuahgunungan, di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”

Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 M. Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam istana kerajaanParsi, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.

Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.” Airadalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan pencerahan.

Abdul Rauf Singkel dan Yusuf Mengkasari. Abdul Rauf Singkel atau al-Singkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M. Dia adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang prolifik. Mir`at al-Tullab merupakan kitab syariah pertama yang isinya lengkap dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid.

Karya-karya lain yang penting dari Abdul Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail A`yani, `Umdat alMuhtajina fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan, Daqa`iq al-Huruf, Majmu` al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah pengikut Tariqat Qadiriyah, Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah. Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf juga menulis beberapa syair tasawuf, namun syair-syairnya itu tidak begitu dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah Syair Ma`rifat. Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam sastra kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini

Syekh Abdul Rauf adalah ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani terkenal karena dalam bukunya Syafinat al-Hukkam memperbolehkan wanita menjadi pemimpin atau raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799)adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda bersama Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan, tetapi aktivitasnya sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik berlanjut hingga akhir hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang 30 buah dalam bahasa Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq dan Taj al-Asrar.

Seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf Mengkasari menganut faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu berbeda dari keempat tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang disebut Nur Muhammad atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi sifat-sifat dan pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda. Pertama, sebagai asas penciptaan alam semesta. Kedua, sebagai hakikat sejati dari Diri Manusia. Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat manusia, yang menurutnya ada tiga: Kiblat Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia. Kiblat amal ialah Ka`bah dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang beriman menghadapkan wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti disebutkan al-Qur’an, Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat rahasia ialah seluruh alam semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.

Palembang dan Banjarmasin

Setelah Aceh, muncul beberapa pusat kegiatan penulisan sastra Islam yang lain pada abad ke-18 M. Pusat-pusat baru ini seakan-akan berlomba melahirkan ulama besar. Pusat-pusat baru yang paling aktif pada zaman baru ini ialah Palembang, Banjarmasin dan Patani. Palembang tumbuh sebagai pusat kegiatan penulisan sastra Melayu Islam menjelang pertengahan abad ke-18. Karya-karya yang dihasilkan penulis Palembang berbeda dari karya-karya penulis Aceh, walaupun sama-sama bertolak dari ilmu tasawuf. Karya-karya Aceh terutama membawakan aliran wujudiyah Ibn `Arabi, yang sangat kental dengan persoalan metafisika dan estetika. Karya-karya Palembang lebih berorientasi pada pemikiran Imam al-Ghazali, yang menekankan pada masalah akhlaq dan berusaha mengaitkan fiqih dengan tasawuf seerat mungkin.

Di antara penulis-penulis sastra kitab terpenting dari Palembang beserta karyanya ialah Syihabuddin bin Abdullah Muhammad al-Falimbangi (Syarah yang Latif atas Kitab Mukhtasar Jawhaat al-Tawhid, Risalah dan Kitab `Aqidat al-Bayan; Kemas Fakhrudin al-Falimbangi (Fath al-Rahman, Futuh al-Sya,m, Tuhfat al-Zaman, Kitab Mukhtasar); Abdul Samad al-Falimbangi (Ulasan Ikhya `Ulum al-Din, Ratib Syekh Samman, Zuhrat al-Murid, Hidayat al-Salikin, Sair al-Salikin); Muhammad Muhyddin bin Syihabuddin (Hikayat Syekh Muhammad Samman); Kemas Muhammad bin Ahmad (Nafahat al-Rahman, Bahr al-Ajaib); Muhammad Makruf bin Abdullah Khatib (Uraian tentang Tariqat Qadiriyah dan Naqsabandiyah); Syekh Daud Sunur (Syair Mekkah dan Madinah, Syair Sunur. Selain juga muncul penulis karya-karya imaginatifSultan Mahmud Badaruddin (Hikayat Martalaya, Hikayat Raja Budak, Syair Kumbang, Syair Burung Nuri, Pantun Badaruiddin); Pangeran Panembahan Senapati (Syair Air Mawar, Syair Patut Delapan); Ahmad bin Abdullah (Hikayat Andaken Penurat), Kiyai RanggaSetyanandita (Hikayat Mareskahek), Pangeran Tumenggung Karta Menggala dan Demang Muhiddin.

Selain Kemas Fakhrudin dan Abdul Samad al-Falimbangi, penulis yang menonjol dari Palembang ialah Sultan Mahmud Badaruddin (1766-1852). Ia memegang tampuk pemerintaham amtara tahum 1804-1821, merupakan seoranng sultan yang terpelajar, cerdik dan berbakat sastra. Dia mengangkat senjata melawan kolonial Belanda dan dibuang ke Ambon. Dalam pengasingannya itulah dia menulis karyanya yang terkenal Syair Burung Nuri, sebuah alegori bertemakan kerinduan dan percintaan. Keindahan bahasa syair ini dapat dirasakan melalui kutipan berikut:

Nuri berangkat masuk peraduan

Rebah berbaring memanggil kawan

Dayang nin datang menghadap tuan

Nuri berbisik kata merawan

Ayuhai dayang pergilah diri

Segera menghadap Simbangan bestari

Memohonklan seketika paksi Muri (Murai, pen.)

Kepala sakit tiada terperi

(Koster 1996)

Semakin kuatnya cengkraman kekuasaan Belanda pada akhir abad ke-18 mmbuat kegiatan penulisan kreatif di banyak tempat di Indonesia mengalami kemunduran, tidak terkecuali di Palembang. Namun demikian tidak berarti kegiatan tersebut terhenti sama sekali. Di Banten misalnya yang sejak lama berada di bawah kekuasaan kolonial, para ulamanya tetap melanjutkan kegiatan penulisan sastra kitab hingga akhir abad ke-19 M. Di antara ulama Banten yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda dan masih terus mengasah kalamnya pada abad ke-19 ialah Muhammad Nawawi Tanara, yang lebh dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1879). Karena menentang pemerintahan kolonial, seperti halnya Sultan Badaruddin al-Falimbangi, dia harus meninggalkan tanah airnya dan menetap di Mekkah untuk kedua kalinya hingga akhr hayatnya. Di sana dia menulis karya-karyanya dalam bahasa Melayu dan Arab. Di antara karyanya yang masyhur ialah dua kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis menggunakan metode ta’wil atau hermeneutika keruhanian sufi. Satu di antaranya ialah Tafsir al-Munir dan yang lain ialah Murah Lubaid li kasyfi Ma`na al-Qur’an al-Majid atau Kitab besar berisi ungkapan-ungkapan makna yang dalam dari al-Qur’an (Rifa’i Hasan 1989:39-48).

Kota lain yang memainkan peranan penting sebagai pusat penulisan sastra kitab pada abad ke-18 ialah Banjarmasin. Di sini lahir sejumlah ulama yang prolifik melahirkan karya-karya Islam dalam bahasa Melayu. Tiga orang yang menonjol dari mereka ialah Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari dan Usman al-Fantayani bin Syahabuddin al-Banjari. Karya Syekh Arsyad al-Banjari antara lain ialah Sabil al-Muhtadin, Tuhfat al-Raghibin dan Risalah Turunnya Imam Mahdi. Karya Muhammad Nafis ialah al-Dur al-Nafis, sedangkan Usman al-Fantayani menulis kitab Taj al-Arus (Streenbrink 1984:66).

Di Semanjung Melayu pusat-pusat kegiatan penulisan berada di Patani, sebuah wilayah negeri Melayu yang diduduki tentara Siam pada abad ke-19 M. Seorang ulama terkenal yang berjuang menentang pendudukan Siam ialah Daud Abdullah al-Fatani. Dia seorang ulama yang brilian dan sangat banyak melahirkan karya dalam bahasa Melayu dan Arab. Karya-karyanya meliputi bidang yang luas seperti tasawuf, fiqih, usuluddin dan syair-syair keagamaan. Seperti ulama Palembang, aliran pemikiran tasawuf yang mempengaruhi ulama Patani ialah pemikiran Imam al-Ghazali. Karya Syekh Daud al-Fatani yang awal adalah terjemahan Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali dan saduran Ihya’ `Ulum al-Din.Karyanya yang lain dan mengandung kupasan mendalam tentang tasawuf ialah Kasyf al-Ghimmah. Karyanya yang lain ialah Dhiya al-Murid, Muniyat al-Masalli, Hidayah al-Muta’alim, Wardu al-Zawahir, Fath al-Manan, Jawahir al-Saniyyah dan Sulam al-Mubtadi (Hawash Abdullah, tanpa tahun:123-45). Selain Syekh Daud, penulis Patani lain yang terkenal ialah Muhammad Salleh bin Zainal Abidin al-Fatani, Umar bin Zain al-Abidin dan Haji Wan Ngah

Selain Patani, Kelantan juga memainkan peranan penting pada abad ke-19 M/ Di sini lahir beberapa penulis sastra kitab. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Abdul Samad bin Muhammad Salih al-Kelantani alias Tuan Tabal. Karyanya antara lainJala`al-Qulub, Munyat Ahl Awhah fi Bayan al-Tawbah, Munabbih al-Ghafilin dan Minhat al-Qarib. Kitabnya ini membicarakan tasawuf, fiqih dan usuluddin sekaligus (`Uthman el-Muhammady 1976:246-248).

Riau dan Betawi

Ada anggapan umum di kalangan orientalis bahwa kegiatan penulisan sastra Melayu mengalami kemunduran memasuki abad ke-19 M. Anggapan demikian tidak beralasan karena di berbagai tempat seperti Palembang, Johor, Riau, Langkat, Singapura, Siak, Bengkulu, Jambi, Pontianak, Banjarmasin dan Betawi penulisan sastra kitab dan sastra imaginatif masih semarak. Begitu pula di wilayah Nusantara lain yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Bugis, Sumbawa dan lain-lain. Dari tempat-tempatinimuncul banyak sekali penulis kreatif, hanya saja belum sempat dicatat secara teliti oleh sarjana-sarjana sastra Nusantara. Walau demikian mesti diakui bahwa Riau dan Johor merupakan pusat yang paling memainkan peranan penting bagi eksistensi sastra Melayu. Dua kerajaan ini pada mulanya merupakan sebuah kerajaan, namun akibat intervensi Inggris dan Belanda kemudian terpecah menjadi dua kerajaan.

Pada masa ini pulau Penyengat menjadi tempat persemaian penulis yang paling hidup pada abad ke-19 M. Semaraknya kegiatan penulisan d Riau Penyengat ini tidak terlepas dari tradisi yang dipegang kuat oleh bangsawan-bangsawan Melayu keturunan Bugis. Mereka mencintai ilmu agama dan sejarah. Di samping itu sejak lama mereka gemar mencatat segala sesuatu yang dijumpai dalam hidupnya seperti soal kematian, kelahiran, benda pusaka yang mereka miliki, kekayaan dan benda-benda yang diperoleh, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah yang mereka alami sendiri. Mereka gemar mencatat itu semua dengan harapan agar keturunan mereka selalu ingat kepada asal-usulnya dan tahu pula harta pusaka dan warisan yang mereka miliki, yang berasal dari nenek moyangnya. Pada akhir pertengahan abad ke-19 bangsawan-bangsawan keturunan Bugis pencinta sastra ini mendirikan klub penulis bernama Perkumpulan Rusydiah. Lembaga ini didirikan denga tujuan memelihara dan mengembangkan bahasa dan kesusastraan Melayu Islam. Pendirinya ialah Tengku Abdul Kadir, Raja Khalid alp-Hiutami dan Sayyid Syekh al-Hadi. Untuk mencapai tujuannya itu selain mengadakan perbincangan sastra, juga menerbitkan buku-buku karya para anggotanya. Ada kalanya menerbitkan antologi bersama. Salah satu antologi bersama yang dihasilkan klub ini ialah Risalat al-Fawaid al-wafiat fi syarah ma`ana al tahiyyat. Abu Hassan Sham 1993:64).

Tariqat Naksabandiyah yang diperkenalkan pada abad ke-19 oleh Syekh Ismail memainkan peranan penting dalam kegiatan intelektual di Riau. Di antara penulis yang menjadi anggotanya tercatat Raja Riau ke-8 Ali, Raja Riau ke-9 Haji Abdullah danRaja Ali Haji. Raja Riau ke-8 melahirkan karya keagamaan seperti Syair Nasihat dan Raja Haji Abdullah menulis beberapa syair seperti Syair Qahar Masyhur, Syair Syarkan, Syair Encik Dusaman, dan Syair Madhi. Lagi penulis Riau lain sebelum mereka ialah Raja Ahmad bin Raja Haji (ayah Raja Ali Haji), yang mengarang Syair Perang Johor dan Syair Ungku Putri, serta bersama putranya menyusun karya agung Tuhfat al-Nafis (Ibid)..

Pada masa ini pengaruh Eropa sudah meluas di kalangan masyarakat Melayu. Interaksi kebudayaan Melayu dan Eropa melahirkan suasana pemikiran baru, sebagaimana tampak pada karangan-karangan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Semenanjung. Berbeda dengan Abdullah Munsyi yang melihat kebudayaan Eropa dengan apresiasi yang tinggi, penulis-penulis Riau Penyengat mengkuatirkan kemerosotan kebudayaan Melayu dan Islam. Oleh karena Raja Ali Haji dan karib kerabatnya mendirikan klub Rusydiah sebagai tempat mendidik penulis-penulis berbakat. Dengan cara demikian bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu bisa dipelihara dan dikembangkan, tidak tenggelam oleh Eropanisasi yang sedang dijalankan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda, khususnya melalui lembaga pendidikan modern yang mereka dirikan.

Usaha Perkumpulan Rusydiah membuahkan hasil yang menakjubkan. Dari klub ini lahir banyak penulis kreatif hingga akhir abad ke-19 M. Selain Raja Ali Haji sendiri, dari perkumpulan ini Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Tuan Bilik, Raja Zaleha, Haji Ibrahim dan lain-lain.Raja Tengku Kelana memperoleh pendidikan di Mesir, darimana pemikiran pembaharuan yang diperkenalkan Muhammad Abduh dibawa ke Riau dan mempengaruhi pemikiran keagamaan di situ. Namun melabihi yang lain, pengarang yang paling menonjol dan all-round ialah Raja Ali Haji (1807-1870).

Raja Ali Haji. Tokoh terkemuka ini bukan saja seorang penyair dan ahli sastra, tetapi juga ahli bahasa dan sejarah yang menguasai bidang-bidang ilmu agamadan hukum secara luas. Sebagai tokoh spiritual ia adalah pemimpin Tariqat Naqsabandiyah. Berkat bacaannya yang luas, pada masa tuanya ia sempat menerima gagasan pembaharuan Islam yang berkembang di Mesir pada permulaan abad ke-19, khususnya dari Muhammad Abduh. Kendati demikian ia masih melihat relevansi pemikiran Imam al-Ghazali. Bertolak dari semangat pemikiran Imam al-Ghazali, kecintaan yang besar terhadap kebudayaan Melayu dan semangat anti-kolonial yang diwarisidari kakeknya, Raja Ali Haji melahirkan karya-karyanya.

Karya-karya Raja Ali Haji antara lain ialah Hikayat Abdul Muluk (1846), Gurindam 12 (1847), Bustan al-Katibin (1850), Pengetahuan Bahasa (1856-1859), Salasilah Melayu dan Bugis (1860), Tuhfat al-Nafis (dikarang bersama ayahnya Raja Ahmad, 1865), Syair Siti Siyanah, Suluh Pegawai, Taman Permata, Sinar Gemala Mestika Alam, Tsamrat al-Muhimmah, Al-Ustha dan Al-Qubra. Selain Gurindam 12, karya Raja Ali Haji yang terkenal ialah Tuhfat al-Nafis. Di situ dia memperlihatkan kepakarannya dalam bidang sejarah. Dilihat dari corak penulisan dan maksud penyampaiannya, Tuhfat merupakan gabungan sastra adab dan historiografi. Realitas sejarah dilihat oleh pengarangnya dari perspektif tasawuf. Sedangkan sumber ilham penulisannya ialah peristiwa-peristiwa sejarah abad ke-18 dan 19 yang terjadi di lingkungan kerajaaan Riau dan Johor.

Buku ini dimulai dengan puji-pujian kepada Allah s.w.t. dan salawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sesudah itu dia menyampaikan maksud penulisan karyanya. Yaitu menguraikan peristiwa-peristiwa penting yang dialami raja-raja Melayu dan Bugis selama dua abad sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-19.Peristiwa-peristiwa sejarah yang dipaparkan dijadikan sarana untuk menyampaikan gagasan sufistik pengarang, khususnya tentang pentingnya akhlaq, cinta agama, tradisi dan pengetahuan. Semua itu penting untuk memelihara negara dan masyarakat. Kemerosotan negeri-negeri Melayu dan krisis politikyang dialami pada abad ke-18 dan 19 bersumber dari krisis moral dan lunturnya keimanan serta kecintaan raja-raja Melayuterhadap agama dan kebudayaan Islam. Krisis itu akhirnya mengundang campur tangan kolonial Inggris dan Belanda, sehingga kerajaan Riau dan Johor akhirnya terpecah belah.

Dalam buku ini pengarang mengingatkan raja-raja yang gemar mengumbar nafsu dan mementingkan diri seperti Sultan Mahmud dari Johor yang mengakibatkan bencana bagi negara dan rakyat. Raja Ali Haji juga menggambarkan dengan cermat betapa dahsyatnya proses demoralisasi melanda kehidupan raja-raja dan bangsawan Melayu selama hampir satu abad hingga Tuhfat ditulis. Akibat dari demoralisasi itu ialah perpecahan antara etnik-eknik Muslim, khususnya Melayu, Bugis dan Minangkabau. Perpecahan dibuat parah karena kelobaan para pemimpin masing-masing kaum yang saling mendengki satu dengan yang lain. Sebagai karya yang tergolong sastra adab, Tuhfat juga membicarakan persoalan raja yang baik dan buruk. Hubungan dengan pemikiran Imam al-Ghazali tampak di sini.

Raja buruk biasanya congkak, serakah, jahat, iri hati, pendengki dan sok benar sendiri, serta gemar menghamburkan uang, tidak acuh pada masalah administrasi, tidak suka humor dan menghambat kemajuan berpikir. Kaum ulama, cendekiawan dan budayawan dipinggirkan dalam pemerintahannya. Pendidikan diabaikan. Perbedaan Tuhfat dengan karya sejarah yang lebih awal, terletak pada penghapusan unsur legenda dan mitos. Tarikh peristiwa-peristiwa yang diceritakan dikemukakan secara rinci dan cermat. Kedaulatan seorang raja, menurut penulis buku ini, tidak dapat diukur hanya berdasarkan garis keturunan. Seorang raja memiliki kedaulatan apabila ia memliki kemampuan memimpin dan pengetahuan yang luas dalam bidang yang dperlukan seperti hukum, politik, agama, sejarah, bahasa dan kebudayaan.

Pengarang Betawi. Batavia atau Betawi muncul sebagai salah satu tempat penting kegiatan penulisan sastra Melayu pada awal abad ke-19 M. Walaupun tidak semarak sebagaimana di Riau Penyengat, namun karya yang dihasilkan penulis Betawi memiliki kedudukan khusus dalam perkembangan sastra Indonesia. Karena itu ia tidak semestinya diabaikan dalam penulisan sejarah sastra. Kegiatan di Betawi ini bermula dengan didirikannya Algemeene Secretarie pada tahun 1819 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lembaga ini menghimpun jurutulis untuk menyalin naskah-naskah Melayu Lama untuk kepentingan politik pemerintah kolonial. Namun dalam perkembangannya ternyata berbelok arah, ketika keturunan para jurutulis itu kemudian tumbuh menjadi pengarang yang mandiri dalam melahirkan karyanya.

Di antara penulis generasi awal yang lahir melalui lembaga ini ialah Cing Saidullah, Muhammad Sulaeman, Muhammad Hasan dan Abdul Hadi. Pada mulanya mereka menyalin naskah-naskah Melayu abad 17 dan 18, tetapi kemudian ternyata dilanjutkan dengan menggubah sendiri cerita-cerita lama menjadi karya baru. Pada pertengahan abad ke-19 kegiatan penulisan bertambah semarak. Penulis-penulis Betawi terkenal yang muncul sejak masa itu antara lain ialah Sapirin, Sapian, Muhammad Bakir bin Sapian, Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab dan Ahmad Beramka (Chamber-Loir 1984; Mu’jizah 1995).Karya mereka berbeda dengan karya penulis Melayu dari daerah lain dalam hal bahasa dan corak pengungkapan cerita. Unsur-unsur dialek Betawi yang kaya dengan humor memenuhi karya mereka. Pola penceritaannya pun sudah dipengaruhi gaya realis sastra Eropa.

Karya-karya gubahan baru yang dilahirkan penulis Betawi antara lain Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Sultan Taburat, Hikayat Syekh Abdul Kadior Jailani, Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syair Buah-buahan, Syair Kupu-kupu, Syair Siti Zawiyah, Hikayat Mashudulhaq, Hikayat Siti Hasana, Syair Abdul Muluk, Syair Ibadat, Syair Zain al-Khayr Bertanda Islam, Syair Kembang Merambat, Hikayat Raja Budak, Nyai Dasima, Syair Himop dan lain-lain.Pengarang Betawi paling terkemuka ialah Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka. Karya Muhammad Bakir yang terkenal ialah Hikayat Nakhoda Asyik dan karya Ahmad Beramka ialah Nyai Dasima, Hikayat Hasan Mukmin dan lain-lain.

Tentu saja perkembangan sastra Melayu tidak ditutup dengan kegiatan yang tumbuh di Riau dan Betawi. Di beberapa daerah lain pun sampai awal abad ke-20, sebelum munculnya sastra Indonesia modern, karya-karya Melayu lama masih terus disadur, digubah dan diterbitkan baik dalam Jawi maupun dalam tulisan Latin. Bersamaan dengan itu ditulis pula karya-karya tradisional baru yang telah mencerminkan pengaruh kebudayaan modern dan pemikiran pembaharuan Islam.


Rujukan Khusus dan Umum

Abdul Hadi W. M.(2001). Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka

Firdaus.

———————-(2002) Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap

Karya-karya Hamzah Fansuri.Jakarta: Yayasan Paramadina.

Abu Hassan Sham (1993). Puisi-puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa

dan Pustaka.

Abu Hassan Sham & Mariyam Salim (1995). Sastera Undang-undang. Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ahmad Daudy (1978). Syekh Nuruddin al-Raniry.Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. University Malay

Press.

————————— (1971). Concluding Postscript to the Origin of the Malay

Sha`ir.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ali Hasymi(1975). Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri oleh Syamsudin al-Sumatrani.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

————–(1995).Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Arnold,M. (1968). The Preaching of Islam. Lahore: Ashraf Press.

Azyumardi Azra (1995).Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Braginsky, V. I. (1993). Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks. Jakarta:

RUL.

——————- (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra

Melayu Dalam Abad 7-19 M. Jakarta: INIS.

Brakel, L. F. (1969-1970). “Persian Influence on Malay Literature”. Dalam Abr.

Nahrain. Jilid 9: 407-426.

—————-(1975). The Hikayat Muhammad Hanafiyyah. The Hague:Martinus

Nijhoff.

Browne, Edward G. A. (1976). A Literary Hstory of Persia. 4 vols. Cambridge:

Cambridge University Press.

Chamber-Loir, Henri (1984). « Muhammad Bakir: A Batavian Schribe and Author in

the Nineteenth Century”. Dalam RIMA 18:44-72.

Collins, James (1993). “Bahasa Melayu di Batas Zaman: Renungan Sejarah, Ramalan

Arah”. Kertas Kerja Hari Sastera Malaysia, Shah Alam Selangor 4-7 Juni 1993.

Drewes. G. W. J. (1968). « Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of

Bonang ». BKI, 124:209-40.

Edwar Djamaris (1980). Menggeali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai

Pustaka.

——————-(1981). Naskah Undang-undang dalam Sastra Lama. Jakarta: Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Hawash Abdullah (tanpa tahun). Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di

Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas.

Hooykaas, C. (1947), Over Maleische Literatuur. Leiden: E. J. Brill.

Hussein Djajadiningrat (1979). Kesultanan Aceh. Alih Bahasa Teuku Hamid. Banda

Aceh: Proyek Rehabilisasi dan Perluasan Museum Aceh.

Ibrahim Alfian (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat

Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Iskandar,T. (1966). Nuru’d-Din ar-Raniri Bustanu’s-Salatin Bab II Fasal 13. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

(1987). ”Abdul Rauf Singkel Tokoh Syatariyah Abad ke-17”. Dalam

Mohamad Daud Mohamad Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hal. 72-84.

Ismail Hamid (1983). Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam.

Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Javad Shakur ((1962, ed.). Fariduddin al-`Attar`s Mantiq al-Tayr.Teheran: Kitab

Furush-i Tehran.

Jumsari Jusuf (1979). Tajussalatin. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Khalid Hussain (1966). Tajus Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koster, G. L. (1996). “Stranded in a Foeign Land: Sultan Mahmud Badaruddin’s

Syair Nuri”. Jakarta: Indonesia Circle, No. 68.

Liaw Yock Fang (1982). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka

NasionalPte. Ltd.

Matheson, Virginia (1982). Tuhfat al-Nafios: Raja Ali Ahmad dan Raja Ali Ají.

Petaling Jaya: Fajar Bakti.

———————– (1987), “Syair Sebagai Satu Genre Dalam Kesusasteraan Melayu”.

Dalam Siti Hawa Haji Saleh Cendekia Keusasteraan Melayu Tradicional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Md. Salleh Yaapar (2002). Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Mohd. Shaghir Abdullah (1991). Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Kuala

Lumpur: Khazanah Fathaniyah.

Mu`jizah (1995). Hikayat Nakhoda Asyik. Jakarta: Pusat Bahasa.

Nieuwenhujze, C. A. O. (1945). Shamsu’l-Din van Pasai: Bijdrage tot de Kennis der

Sumatransche Mystiek. Disertasi Rijkuniversiteit Leiden.

Schimmel, Annemarie (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The

University of North CarolinePress.

Steenbrink (1984). “Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari:1710-1812, Tokoh Fiqh

dan Tasawuf”. Dalam bukunya Beberapa Aaspek Tentang Islam di Indonesia

Abad ke-19 M. Jakarta: Bulan Bintang.

Takdir Alisyahbana, Sutan (1965). Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat.

Taufik Abdullah (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perpsektif Sejarah”.

Makalah Diskusi Peluncuran Buku Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta

5 September 2002.

Teeuw, A. (1994). Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Ronkel, Ph. S. (1895). De Roman van Amir Hamzah. Disertasi. Leiden: E. J. Brill.

Winstedt, R. O. (1969). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur:

Oxford University Press.

Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad (1993). Kesusasteraan Melayu Tradisional.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.


[1] Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001:198).

2 comments on “SEJARAH INTELEKTUALISME ISLAM NUSANTARA (1)

  1. ulasan anda tentang sejarah intelektual Islam nampaknya lebih kepada sejarah tokoh muslim Nusantara . harapan saya juga diulas perubahan sosial masyarakat melayu terhadap beberapa mozaik pemikiran Islam

  2. Ass wr wb. terima kasih saya sangat senang sekali telah dapat membaca artikel yang ada di dalam blog ini. dan saya minta izin untuk mengkopi artikel ini untuk saya simpan agar mudah dibaca kembali. terima kasih

Tinggalkan Balasan ke Mohammad syawaludin Batalkan balasan

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdahanum

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.