MISTERI PULAU AGYRE YANG HILANG TERNYATA SALAKA NAGARA
Penulis: Iwan Taufik
Sejarah Indonesia mempunyai banyak sisi yang belum di eksplorasi, termasuk penelusuran berbagai kerajaan yang pernah ada di nusantara.Selama ini, proses mencari jejak kerajaan-kerajaan di nusantara banyakmenghasilkan informasi baik yang lama maupun yang baru; bahkan tidakjarang menimbulkan pertanyaan yang menggugah keinginan untuk menggaliserta menemukan bukti historis yang bisa melengkapi mata rantai kesejarahan Nusantara.
Kerajaan Salaka Nagara merupakan salah satu mata rantai kerajaan di nusantara. Penelusuran jejak Salaka Nagara pernah dilakukan berbagai pihak dan dari berbagai perspektif seperti yang dapat di baca padaartikel ini. Keberadaan kerajaan ini pernah tercatat di tahun 150 oleh seorang ahli ilmu bumi Yunani, Claudius Ptolemaeus dalam bukunya Geographike Hypergesis. Ptolemaeus menyebutnya sebagai Argyre, atau perak yang terletak di ujung barat Pulau Iabadious (Dalam mitologi Roma dan Yunani, Argyre dikatakan mythical island of silver ). Nama Iabadiou disamakan dengan nama dalam bahasa sansekerta, Yawadwipa, yang artinya Pulau Jelai atau Pulau Jawa.
Hingga kini, terbatasnya informasi mengenai Salaka Nagara menimbulkan berbagai pertanyaan yang hanya bisa di jawab dengan terus melakukan penggalian sejarah, mencari kaitan-kaitan historis yang akhirnya bisa semakin memperjelas latar belakang kerajaan Salaka Nagara ini.
LOKASI
Kerajaan ini berada di wilayah Pandeglang yang kini bagian dari Propinsi Banten yang dulunya merupakan kerajaan yang sangat besar bernama Kerajaan Gilingaya, atau Salaka Nagara. Menurut naskah Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara, Salaka Nagara di dirikan tahun 52 Saka,atau 130/131 Masehi (2). Lokasi di perkirakan ada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal hasil logamnya. Di kabupaten Lebak dan Pandeglang serta Serang memang sejak dulu terkenal dengan tambang logam mulia. Sementara wilayah Cikotok dan sekitarnya sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi wilayah pertambangan emas dan bahan galian lain seperti perak. Di sana juga di temukan bahan galian logam seperti galena (biji timah hitam /Pb), serta berbagai bahan non-logam seperti andesit, basalt, tras, zeolit, feldspar, bentonit, pasir kuarsa, batu sempur, batu mulia dan batubara, serta minyak bumi dan gas di daerah Ujung Kulon. Tidak mengherankan jika sejak jaman dulu Salaka Nagara sudah dikenal sebagai Negeri Perak karena hasil buminya.
Perjalanan sejarah kerajaan Salaka Nagara memiliki riwayat perjalanan yang cukup panjang. Ada sumber yang mengatakan bahwa Salaka Nagara, atau nama lainnya Gilingaya sudah ada sejak jaman Kala Brawa (1). Nama Salaka Nagara juga muncul pada penelitian sejarah kerajaan awal nusantara (2), dan di sebut sebagai cikal bakal kerajaan Tarumanegara. (2)
KERAJAAN GILINGAYA atau SALAKA NAGARA
Pendiri Kerajaan Gilingaya adalah Sang Prabu Budawaka yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara Ismaya. Setelah masanya berakhir, Sang Prabu Budawaka moksa di Gunung Karang di candi yang berada diatas Gunung Karang di daerah Watu Lawang.
Setelah itu dilanjutkan oleh Sang Prabu Bramakadi yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara Brama. Setelah lengser keprabon, sang prabu menjadi pertapa di puncak Gunung Krakatau dan digantikan oleh putranya yang bernama Sang PrabuDewaesa yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara Bayu. Prabu Dewaesa adalah raja terakhir dari Kerajaan Gilingaya ketika keraton tersebut masih menjadi pusat kerajaan. Karena sesudah sang prabu dan ayahandanya Prabu Bramakadi moksha, terjadi goncangan alam yang sangat besar, sehingga mayoritas bumi terendam air. Air baru surut pada masa akhir Kerajaan Medang Galungan di Kuningan saat di perintah oleh Prabu Satmata. Kerajaan Gilingaya yang menguasai jagad pada jaman Kala Brawa di jaman besar Kali Tirtha, di kenal juga dengan nama Salakanagri atau Salaka Nagara. Setelah surut dari kerjaan induk, sampai di jaman masa surutnya Majapahit, tetap bernama Gilingaya atau Salaka Nagara, tetapi statusnya sudah menjadi Kadipaten.(1)
Perjalanan Salaka Nagara dari masa ke masa selanjutnya mengalami pasang surut sejalan dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Mengingat bahwa kerajaan ini termasuk yang tertua di nusantara, maka hingga kini belum banyak penemuan yang bisa mengungkapkan secara lebih jelas lagi tentang Salaka Nagara. Namun demikian di tahun 1677, Pangeran Wangsakerta salah satu anggota keluarga Keraton Cirebon bersama-sama dengan tim nya, menyusun naskah Pustaka Rajya Rajya Bhumi Nusantara yang menjelaskan sejarah kepulauan nusantara, Pulau Jawa dan Tatar Sunda. Dalam salah satu naskah itulah nama Salaka Nagara muncul dan disebut sebagai cikal bakal kerajaan Tarumanegara.
CIKAL BAKAL TARUMANEGARA
Dalam naskah Wangsakerta, diceritakan bahwa Salaka Nagara merupakan sebuah wilayah di Teluk Lada. Masyarakat Salaka Nagara di masa itu memiliki sistem religi Pitarapuja, atau pemujaan roh leluhur dan Aki Tirem adalah tokoh pemimpin masyarakatnya. Di katakana pula, Dewawarman yang kelak menjadi Raja Salaka Nagara, adalah seorang duta keliling, pedagang dan perantau dari India yang tiba di Teluk Lada hingga menetap dengan Dewi Pwahaci Larasati, putri Aki Tirem, sang penguasa setempat.
Hubungan antara Aki Tirem dengan Demawarman sudah terjalin jauh sebelum Demawaman menetap di Teluk Lada. Mereka berdua telah bekerja sama mengatasi perompak yang mengganggu wilayah sekitar perairan Salaka Nagara dan sekitarnya. Aki Tirem mempunyai putri yang kemudian di nikahkan dengan Demawaman. Kelak Aki Tirem menyerahkan kekuasaan pada Demawarman.
Kerajaan Salaka Nagara baru berdiri setelah meninggalnya Aki Tirem, yakni pada kisaran tahun 130 Masehi. Demawarman mendirikan kerajaan Salaka Nagara dengan ibu kota Rajatapura dan menjadi Raja Salaka Nagara pertama, bergelar Prabu Dharmaloka Demawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Wilayah-wilayah di sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Raja Dermawarman, termasuk kerajaan Agnynusa (Negeri Api) di Pulau Krakatau. Jaman sekarang ini wilayah kuno Salaka Nagara mencakup Banten, Jawa Barat bagian barat, pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala atau Pulau Sangiang dan pesisir Sumatera bagian selatan. Demawarman membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India; dan ketika kerajaan itu menggalang kerja sama mengatasi gangguan perompak, termasuk para perompak dari Cina.
Raja Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun, dan pada kisaran tahun 168 masehi di gantikan puteranya Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Senopati Bahadur harigana Jayasakti, adik Prabu Dewawarman I menjadi raja di daerah Mandala Ujung Kulon. Sedangkan Sweta Liman Sakti, adiknya yang lain dijadikan raja di daerah Cianjur selatan Tahun 363 M (akhir Kerajaan Salaka Nagara) Kerajaan Salaka Nagara hanya sampai + tahun 363 dengan Prabu Dharmawirya sebagai Prabu Dewawarman VIII / terakhir karena Salaka Nagara sudah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanegara. Kehidupan masyarakat Salaka Nagara sangat harmonis, makmur dan sentosa, perekonomian berjalan baik.
Prabu Darmawirya Dewawarman VIII, mempunyai menantu Jayasinghawarman, seorang maharesi dari Calankayana di India (Jambudwipa). Jayasanghawarman mengungsi ke Nusantara setelah daerahnya di serang Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Setelah Jayasinghawarman mendirikan Kerajaan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralhi dari Rajatapura ke Tarumanagara, dan setelah itu Salaka Nagara statusnya berubah menjadi Kerajaan Daerah. Hingga saat ini, belum di temukan prasasti atau bukti sejarah yang bisa membuktikan keberadaan Kerajaan Salaka Nagara sebelum era Tarumanagara ini. Oleh karena itu, hingga kini banyak pihak masih meragukan dan memperdebatkan soal Kerajaan Salaka Nagara sebagai cikal bakal Tarumanagara. (2)
Peninggalan Salaka Nagara
Posisi Kerajaan Gilingaya kira-kira terdapat di kecamatan Mandalawangi yang di kelilingi oleh 4 (empat) gunung, yakni Gunung Pulosari (stratovolcano), Gunung karang (stratovolvano) dan Gunung Aseupan, serta Gunung Parakasak (volcano). Oleh karena itu beberapa peninggalan dapat di jumpai lokasi sekitar bekas kerajaan Salaka Nagara.
Beberapa literatur penelitian ( (Yoseph Iskandar , 1997, Sejarah Jawa Barat), Ayat Rohaedi,2005,Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah Panita Wangsakerta Cirebon) mengungkap adanya bukti-bukti peninggalan kerajaan, tersebar di sekitar Gunung Pulosari dan Pulau Panaitan.
Berdasarkan naskah Pustaka Raja Raja I Bhumi Nusantara, situs Cihunjuran adalah salah satu bukti peninggalan kerajaan Salaka Nagara. Ada pula batu menhir dan dolmen yang oleh masyarakat setempat di sebut Batu Alami. Ada pula batu berlubang, pada jaman itu digunakan sebagai tempat membuat ramuan obat-obatan.
Situs Batu Goong Citaman, Batu goong, peninggalan megalitik Salaka Nagara bentuknya menhir yang di kelilingi batu-batu berbentuk gamelan atau gong dan batu pelinggih. Situs ini terletak di atas bukit tidak jauh dari pemandian Citaman. Konon, situs citaman dulunya adalah situs tempat Sang Prabu Budawaka
menerima wahyu sehingga dibangun menjadi Taman Punakawan, karena di situ tempat beliau bertemu untuk pertama kalinya dengan Ki Lurah Semar yang waktu itu bernama Ki Lurah Lengser. (1) Situs Batu Ranjang, salah satu peninggalan yang masih terletak di kawasan Pulosari. Bentuknya rata di bagian atas sehingga disebut batu ranjang. Batu yang di perkirakan dari jaman logam, diperkuat dengan 4 tiang penyangga yang berukir (3). Konon kabarnya, dahulu Situs BatuRanjang merupakan situs dari pesanggrahan Sang Prabu Dewaesa saat memanggil Pangeran Makukuhan dan menobatkan Pangeran Makukuhan menjadi Mahaprabu dan terkenal dengan gelar Sang Mahaprabu Kano yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara Indra yang lalu memindahkan pusat pemerintahannya ke Gunung Mahendra. (1) Situs Batu Tumbung merupakan sebuah batu besar yang terdapat banyak guratan-guratan.
Guratan pada batu menggambarkan tentang gunung yang meletus pada masa itu, jumlah guratan menandakan sejumlah itu pula gunung-gunung di pulau Jawa yang meletus secara bersamaan di sekitar masa pergantian jaman dari Kala Brawa ke Kala Tirtha.
Asal usul Batu Tumbung
Pada saat itu Pangeran Makukuhan putra Sang Prabu Dewaesa yang menjadi Adipati di Purwacarita (Purwacarita di daerah Magetan di lereng Gunung Mahendra red sekarang Gunung Lawu) dipanggil datang ke pesanggrahan yang ada di Situs Batu Ranjang. Saat itu Prabu Dewaesa berkeinginan untuk lengser keprabon dan menghendaki Pangeran Makukuhan yang akan menggantikan beliau menjadi Raja. Tapi Pangeran Makukuhan tidak mau menerima karena kawatir dengan banyaknya Kadipaten yang akan memberontak ketika dia menjadi Mahaprabu.
Maka Pangeran Makukuhan mencari cara agar prabu Dewaesa tidak lengser keprabon dengan mengatakan Dumateng Arcapada menika pukulun mboya wonten bagaskara kembar. Pernyataan itu membuat marah Prabu Dewaesa dan mengatakan kalau begitu yang kamu inginkan maka Prabu Dewaesa dan Mpu Bramakadi akan moksa dan menghancurkan semua Kadipaten yang berpotensi mbalelo. Maka diperintahkanlah untuk membuat perahu dan memperbesar istana Balekambang untuk menyelamatkan rakyat. Tertegun dan sedih mendapat jawaban tersebut maka Pangeran Makukuhan meminta rakyat membuat apa yang diinginkan Prabu Dewaesa. Kemudiansetelah semua selesai Prabu Dewaesa dan Mpu Bramakadi moksa di Gunung Krakatau dibarengi dengan datangnya meteor yang menghantam Bumi dan meletusnya sejumlah gunung serta naiknya air laut sampai sepertiga Gunung Karang. Air laut baru surut pada saat penobatan Prabu Satmata di jaman Kerajaan Medang Galungan.
Gelar dari Pangeran Makukuhan adalah Sang Mahaprabu Kano. Nama Kano, mempunyai arti perahu itu melekat karena pada saat moksanya ayahanda dan
kakek dari Pangeran Makukuhan, siti hinggil kraton dipindah sementara ke dalam sebuah perahu besar yang dibangun di Istana Balekambang Gilingaya.
Peristiwa moksanya Sang Prabu Dewaesa dan Mpu Bramakadi, mengakibatkan terpisahnya daratan Sumatera dengan daratan Jawa, akibat meletusnya gunung-gunung juga gunung yang berada di kutub selatan sehingga es mencair dan air laut naik dan menenggelamkan hampir sebagian besar daratan di bumi pada saat itu. (1) Arca Ki Lurah Lengser dan Batu Lumpang Di kediaman Bapak Nurdin yang berjarak sekitar 2 km dari Situs Batu Tumbung, terdapat arca Ki Lurah Lengser dan Batu Lumpang serta ada patung lingga yang dipakai sebagai ganjal rumah.
Daftar pustaka :
(1) Agung Bimo Sutejo & Timmy Hartadi (Tim Laku Becik), Kraton Gilingaya : sebuah ekspedisi. Januari 2009
(2) Ayat Rohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Pustaka Jaya, 2005
(3) Team Fisip IKOM A1 NR-Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Megalitikum di Banten Selatan Sekitar Gunung Pulosari, 2008
Sumber:
http://iwantaufik.blogdetik.com/category/kerajaan-nusantara/page/6/
[5:21 PM, 8/29/2019] Ahmad Samantho:
Budawaka – Budakresna
Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh Sanghyang Rudra.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Agustus 2014
Heri Purwanto
[5:22 PM, 8/29/2019] Ahmad Samantho: PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG
Sri Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang lahir dari permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah hilang entah ke mana. Patih Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke segala penjuru namun tidak mendapatkan hasil.
Tiba-tiba datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Gilingaya. Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja Birawa karena berani menentang niatnya yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya.
Sri Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut asalkan dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi segera mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini berada di Kahyangan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Namun, ia mengaku tidak mengetahui caranya untuk bisa sampai ke sana.
Batara Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia tidak berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian mengajukan diri untuk mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Maka, Batara Reksakadi pun menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan Saptapratala untuk dipelajari Batara Rasikadi.
BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI
Dengan berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana karena telah diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga.
Kedatangan Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan niatnya, asalkan ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran. Permintaan ini sebenarnya adalah sindiran, bahwa Batara Rasikadi harus merebut Dewi Brahmaniyari melalui perkelahian.
Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan pertarungan itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara Rasikadi membawa pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki.
SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU
Batara Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja Budawaka dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi.
Akan tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk bisa menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang dewi dan masing-masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak menjadi suaminya. Batara Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa membawa pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan itu bisa terjadi berkat peta yang digambarkannya. Sementara itu, Batara Sukadi berpendapat, bahwa peta tersebut bisa digambar adalah karena ia yang pertama kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang dewi yang disembunyikan di Kahyangan Saptapratala.
Sri Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga bersaudara itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba datang pula seorang raja raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan Prajantaka yang mengaku telah mendapat perintah dewata melalui mimpi supaya mempersunting salah satu putri Sri Maharaja Budawaka demi kemakmuran negerinya.
Hal ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun berjanji akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu memberikan keadilan kepada ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu. Prabu Jambuwana segera mempelajari apa yang sebenarnya telah terjadi, kemudian ia menyampaikan pendapat bahwa Dewi Brahmaniyari hanya pantas diserahkan kepada laki-laki yang berani bertaruh nyawa demi melindunginya.
Sri Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas jasa-jasa mereka, yaitu masing-masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri Citrahoya dan Wameswara. Sesuai janjinya di awal tadi, lamaran Prabu Jambuwana pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan menikahi adik Dewi Brahmaniyari yang bernama Dewi Brahmaniyoni.
Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua pasangan tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu Jambuwana dengan Dewi Brahmaniyoni.
PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Prabu Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat ayahnya, bahwa Sri Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada mulanya menjadi penguasa di Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja Balya. Kemudian pada suatu hari Sri Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja Kerajaan Medang Kamulan sehingga terusir meninggalkan Medang Siwanda. Sri Maharaja Budawaka kemudian membangun Kerajaan Gilingaya dan menjadi raja di sana sampai saat ini.
Prabu Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka berangkat menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah pertempuran besar. Melihat pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja Budakresna akhirnya turun sendiri ke medan perang dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu terkena senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh terpotong menjadi dua.
SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA
Setelah suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun memutuskan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian menantunya, sekaligus membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu.
Begitu tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna. Rupanya telah terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak dipedulikan Sri Maharaja Budawaka. Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna adalah anggota keluarga Sri Maharaja Birawa dan bisa menjadi sasaran pelampiasan balas dendamnya.
Maka, terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan mereka kalah dan menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua. Sampai akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan yang melerai perkelahian itu.
Dewa yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu. Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena masing-masing adalah penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah saudara kandung sesama putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun kini tidak saling mengenali.
Sri Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna atas segala kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa sangat malu tidak bisa mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial dan menghapuskan kenangan buruk itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama Kerajaan Medang Kamulan menjadi Kerajaan Purwacarita.
Setelah dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya.
BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA
Sri Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat malu dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat sangat itu, ia pun tidak bersemangat lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih kembali ke wujud Batara Brahma. Maka, setelah mewariskan takhta Kerajaan Gilingaya kepada sang menantu, yaitu Batara Rasikadi, ia pun kembali ke tempat tinggalnya di Kahyangan Daksinageni.
Sepeninggal sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang baru, dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri utama tetap dijabat oleh Patih Suweda.
Sementara itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu Brahmakadali. Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya.
Batara Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di mana ia berhasil menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana.
—————————— TANCEB KAYON ——————————
Kerajaan Gilingaya (Salaka Nagara) kerajaan tertua di Pulau Jawa
Penulis: Jacinta F. Rini
02-10-2009
Konon, situs citaman dulunya adalah situs tempat Sang Prabu Budawaka menerima wahyu sehingga dibangun menjadi Taman Punakawan, karena di situ tempat beliau bertemu untuk pertama kalinya dengan Ki Lurah Semar yang waktu itu bernama Ki Lurah Lengser. (1)


Guratan pada batu menggambarkan tentang gunung yang meletus pada masa itu, jumlah guratan menandakan sejumlah itu pula gunung-gunung di pulau Jawa yang meletus secara bersamaan di sekitar masa pergantian jaman dari Kala Brawa ke Kala Tirtha.

(1) Agung Bimo Sutejo & Timmy Hartadi (Tim Laku Becik), Kraton Gilingaya : sebuah ekspedisi. Januari 2009
(2) Ayat Rohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Pustaka Jaya, 2005
(3) Team Fisip IKOM A1 NR-Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Megalitikum di Banten Selatan Sekitar Gunung Pulosari, 2008
————————————-
Kerajaan Salakanagara
09:55 | Posted in I Think, Sejarah
Dari berbagai sumber