
“SANDYAKALA ING WANGSA SANJAYA DI BHUMI JAWA”.
____________________________________
Menelisik literatur berjudul “Sandyakala Kejayaan & Kemasyhuran Kerajaan Nusantara”, (2018), ditulis oleh Jkd dan Rita. W. Astuti, (penerbit “Uwais Inpirasi Indonesia”). Ponorogo, Jawa Timur. Dalam buku itu, disebutkan tatkala Ratu Shima mangkat, roda pemerintahan di Kalinga dilanjutkan oleh puterinya “Parwati” bersama suaminya “Mandiminyak”.
Adapun tokoh Mandimiynak ini, berasal dari kerajaan di Tatar Sunda yang memerintah pada periode 703-710 M. Dengan demikian secara otomatis Mandiminyak menguasai dua imperium sekaligus, yakni di kerajaan Sunda Galuh, Jawa Barat dan di kerajaan Kalinga atau Bhumi Mataram Kuno alias Bhumi Mataram Hindu di Jawa Tengah.
Di kerajaan Sunda Galuh, ketika Mandiminyak wafat tahkta diteruskan oleh puteranya bernama “Bratasenawa”, yang memerintah pada periode 710-716 M. Akan tetapi, walaupun Bratasenawa berkedudukan di Sunda Galuh, namanya terpahat dalam Prasasti Canggal, berangka tahun 654 Caka atau 732 M yang terdapat di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jika ditelisik dari peristiwa tersebut, maka dapat diperkirakan adanya hubungan historis antara kerajaan Sundah Galuh yang berlokasi di Jawa Barat dan kerajaan Kalinga yang berada di Jawa Tengah.
Sumber seperti “Prasasti Sitirengga” dan “Prasasti Canggal”, berangka tahun 732 M, yang dibuat pada masa Sanjaya berkuasa (732-746), disebutkan dari perkawinan Parwati-Mandiminyak memiliki puteri bernama “Sannaha” yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan istana Kalinga. Sedangkan dari perkawinan Pwahaci-Mandiminyak memiliki putera bernama “Bratasenawa”, dan dibesarkan di istana Sunda Galuh.
Sannaha sekalipun memiliki hubungan “The big family” dengan Bratasenawa, (satu ayah tapi lain ibu), dalam istilah Inggrisnya disebut “one other father’s mother”, kemudian keduanya dinikahkan. Dengan adanya jalinan perkawinan itu, dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan antara kerajaan Sunda Galuh di Jawa Barat dan Kalinga di Jawa Tengah.
Hasil dari perkawinan tersebut kemudian lahirlah seorang anak laki-laki bernama “Sanjaya”. Waktu demi waktu, hingga puluhan tahun lamanya dari sosok Sanjaya inilah kemudian menurunkan raja-raja di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang dalam perkembangannya dikenal sebagai “Wangsa atau Dinasti Sanjaya” alias keturunan Sanjaya.
Sumber Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menyebutkan sebagai penerus Sanjaya di Kalinga adalah puteranya bernama “Rakai Panangkaran”, bergelar “Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana”, yang memerintah pada periode 746-784 M.
Setelah itu, dilanjutkan oleh “Rakai Panunggalan” dan memerintah pada periode 784-803 M. Kemudian “Rakai Warak”, dengan gelar “Sri Maharaja Rakai Warak”, yang memerintah pada periode 803-828 M. Pengganti berikutnya adalah “Rakai Garung”, memerintah pada periode 828-847 M, yang selanjutnya digantikan oleh puteranya bernama “Rakai Pikatan” yang memerintah pada periode 847-856 M.
(Catatan : Penerus Rakai Pikatan dan seterusnya sampe Mpu Sendok, Dharmawangsa, Airlangga, Ken Arok, Kertanegara dan Raden Wijaya, sudah di ceritakan dan di posting dalam “Pecinta Budaya Nusantara”, beberapa waktu yang lalu).
Dari alur cerita di atas, setidaknya dapat digambarkan bahwa tokoh Sanjaya ini, merupakan sosok yang sangat fenomenal, sebabnya manakala raja ini berkuasa, berbagai wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah berada di bawah pengaruh kekuasaannya. Misalnya sebagai penguasa Sunda dari mertuanya, (raja Tarusbawa) wilayahnya mencakup mulai dari Banten, hingga sampai ke Bekasi.
Sedangkan sebagai penguasa Galuh (hak waris dari ayahnya dan neneknya Wretikandayun), wilayahnya mencakup Limbangan, Garut, Ciamis, Cianjur, Kuningan, Tasikmalaya dan sebagian wilayah di Kabupaten Bandung, diantaranya Bandung Selatan dan Bandung Utara.
Selain itu, Sanjaya juga menguasai kerajaan Mdang di Kalinga Utara (eks wilayah kekuasaan neneknya Ratu Shima) dan kerajaan Bhumi Sambara, Kalinga Selatan (eks wilayah kekuasaan mertuanya, Raja Dewa Singa). Diperkirakan kedua kerajaan itu, wilayahnya mencakup Pekalongan, Plawangan (nama tempo doeloe), Semarang, Pati, Temanggung, Wonosobo, Kedu, Jepara, Surakarta dan Yogyakarta.
Diraihnya berbagai wilayah kekuasaan di Bhumi Jawa, dapat diperkirakan dari tokoh Sanjaya inilah yang kelak keturunannya bakal saling meng-klaim trah dan dinastinya, misalnya ada nama “Wangsa Sanjaya” (penganut Hindu, cikal bakalnya dari negeri India), lalu ada “Wangsa Syailendra”, (penganut Budha, cikal bakalnya dari negeri Tiongkok). Trus adapula “Wangsa Isyana”, ditenggarai merupakan gabungan dua wangsa besar itu, lantas diinisiasi oleh koloni Mpu Sindok menjadi wangsa baru, yaitu “Wangsa Isyana”.
Adapun nama Isyana ini diambil dari gelar Mpu Sindok “Sri Isyana Wikramadharma Tunggadewa”, manakala raja ini berkuasa di Mdang I Watu Galuh, letaknya di lembah kali Taruman, desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dalam perjalanannya wangsa Isyana ini kemudian berkembang hingga merambah ke pulau Dewata (Bali) dan Lombok.
Sementara itu, tokoh Sanjaya ini, kurang disukai oleh para kerabat istana Sunda Galuh, penyebabnya aliran Hindu-Siwa yang dianutnya pada masa itu, dianggap menakutkan. Sedangkan di lingkungan kedhaton Sunda Galuh mayoritas-nya penganut Hindu Sriwisnu. Oleh karena kondisi di lingkungannya dianggap kurang bersahabat, akhirnya Sanjaya lebih memilih sebagai penerus di kerajaan Mdang, Kalinga Lor (Utara) atau Bumi Mataram Kuno alias Bhumi Mataram Hindu.
Untuk mengisi kekosongan di Sunda galuh, maka diangkatlah putranya bernama “Rakai Panaraban” atau disebut pula sebagai “Tamperan Barmawijaya” yang memerintah pada periode 732-739 M. Setelah Rakai Panaraban wafat, tahkta Sunda Galuh lantas diteruskan oleh “Rakai Kamarasa” atau disebut pula sebagai “Hariang Bangga”, bergelar “Prabu Krtabhuana Yasawiguna” yang memerintah pada periode 739-766 M.
Dari perkawinan Yasawiguna dengan Dewi Kancana Sari, dari keturunan Demuwarman, berasal dari Kuningan, Jawa Barat, pasangan ini memiliki putera bernama “Rakai Hulukujang”, dan ketika dinobatkan bergelar “Prabu Krtabhuana Hulukujang” yang memerintah pada periode 766-783 M. Namun, sayangnya, sang Prabu dan permaisurinya, hanya memiliki anak perempuan, oleh karena itu, takhta berikutnya jatuh pada menantunya yang berasal dari Galuh, yakni “Rakai Hujungkulon”, dan ketika dinobatkan bergelar “Prabu Krtabhuana Gilingwesi”, memerintah pada periode 783-795 M.
Salam. 🙏
Jakarta, 24 Juni 2019.
Penulis : Joko Darmawan.
…to be continued…..
#CandiCangkuang) is a small 8th-century Shivaist candi (Hindu temple) located in Kampung Pulo village, Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut Regency, West Java, Indonesia. [Courtesy : Wikipedia]. 🤷♂️
Tolong di inpormasikan makam wangsa Sanjaya ada dimana Yach tong di inpormasikan aku wa 085883064959 Mr Tmb yrims
Tolong di inpormasikan makam wangsa Sanjaya ada dimana Yach tong di inpormasikan aku wa 085883064959 Mr Tmb yrims
rujukan utama adalah prasasti, jika terdpr naskah kuno yg bertentangan dgn prasasti mk perlunya penelitian lanjut thd naskah2 lainnya yg berhubungan,,, sy pemerhati ttg sejarah kuno jawa maupun sunda. terkait asal usul Sanjaya sdh cukup jelas sesuai prasasti yg ada, tetapi ttg leluhurnya mk kita mencari bukti2 prasasti maupun naskah kuno yg mendukung. Versi Sunda menganggap Sanjaya adalah bagian dari sejarah sunda, demikian pula versi Jawa. Naskah kuno menyebutkan jk leluhur Sanjaya dari jalur bapak berasal dari kerajaan Kendan di Jawa barat yaitu Raja Guru Manikmaya yg datang dari Jawatimur yg masih keturunan India, sdgkan dari jalur ibu dari Kalingga dan Sunda, artinya cukup jelas bhw Sanjaya mempunyai leluhur bukan asli sunda maupun jawa , tetapi pertemuan antara India, Kalingga dan Sunda. Sehingga jk diklaim jk Sanjaya berdarah Sunda ataupub Jawa tdklah sepenuhnya tepat meskipun pernah mjd raja di Sunda-Galuh-Kalingga dan Mataram Hindu.