DEMOKRASI AGREGAT ANGKA MATI [1].
“DPR, jadilah manusia dulu”
(Gus Mus, Tempo.com, Jum’at,
28 Agustus, 2015).
- Kristiadi[2]
Mengelola kerumitan kedaulatan rakyat sebagai basis pengorganisasian kekuasaan untuk mewujudkan kebahagiaan bersama dapat telusuri mulai dari gagasan Republicanism, abad ke enam sebelum Tarih Masehi, diteruskan kurun waktu Renaissance, Revolusi Perancis dan Amerika sampai dengan menemukan bentuk yang disebut demokrasi. Ia kemudian menjadi ikon tata kelola kekuasaan yang berbasis kedaulatan rakyat, tertib politik yang memuliakan peradamaian kemanusiaan dan manusia. Sebagaimana gagasan republicanism, demokrasi juga mengalami dinamika gelombang pasang surut yang menandai kompleks dan rumitnya memperjuangkan pengelolaan kekuasaan yang beradab.
Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengelola kedaulatan rakyat adalah problem universal sejarah umat manusia membangun kehidupan bersama. Perdebatan filosofis sekitar dua ribu lima ratus tahun lalu, isyu tersebut dijawab oleh dalil Socrates yang di kutip oleh Plato dalam buku Republic (editor dan penterjemah Chris Emilyn-Jones dan William Preddy, 2013, halaman xxx). Di Bagian pengantar, Structure of The State and Soul, intinya ia mendalilkan bahwa bentuk tatanan kekuasaan, mulai dari 0ligarki, demokrasi dan tirani pararel dengan tata kelola kalbu manusianya, terutama para elit penguasa. Kualitas pengelolaan kekuasaan negara sejalan dengan mutu pengelolaan moral para penyelenggara negara. Ia masih menambahkan bila tatanan kekuasan di kangkangi oleh para perburu uang (money grubbing), dapat dipastikan jabatan public menjadi komoditas. Orang kaya dipuja, mereka yang miskin di kutuk ( Plato, Republik, Halaman 233).
Bila aksioma tersebut dijadikan pisau analisa dalam konteks Negara Pancasila, menyiratkan dan menyuratkan upaya bongkar pasang manajemen kekuasaan negara selama ini, tidak hanya di tuntun roh serta nilai-nilai luhur Pancasila, melainkan di rasuki oleh hasrat dan gelora nafsu kuasa. Tata kelola gerak jiwa para pemutus politik yang mengutamakan nikmat kuasa, akan menghasilkan tatanan kekuasaan yang rapuh, korup dan menghancurkan. Modal meraih kekuasaan adalah capital, bukan cita-cita mulia. Praktek politik uang dan populis menggiring bangsa ini menuju dimensia kolektif yang menggoyahkan eksistensi dan survivalitas Negara Pancasila. Peranan capital telah merajah negara melalui transaksi kepentingan antara pemilik modal dan para pemutus politik. Hasrat perburuan kekuasaan yang di dorong oleh gelora jiwa yang menggebu dengan hasrat menikmati kekuasaaan, semakin menambah kerumunan orang pandir yang korup merusak negara.
Dinamika demokratisasi dalam bayang-bayang pragmatism di Indonesia pacsa reformasi juga ditandai dengan tingkat pendangkalan yang pesat, sehingga demokrasi yang maknanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan otentik, disetarakan dengan sederet angka mati. Oleh sebab itu, medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah prolehan suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat di tukar dengan kertas ber-angka (mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka, para pemuja angka, mengganggap angka sebagai barang keramat yang dapat mengubah kehidupan secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh semakin besar kekuasannya. Dalam persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktek transaksi kepentingan, pertarungan politik yang seharusnya beradab, menjadi persaingan merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik yang seharusnya menjadi partner dalam memilih kebijakan paling baik bagi kemaslahatan raykat dianggap sebagai musuh yang harus di libas.
Ideologi pargmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara kepada tindakan merayakan kedangkalan. Fenomena yang oleh oleh Frank Furedi (2006) dalam bukunya “Where Have All the Intellectuals Gone?:”Confronting 21st Century Philistinism”, disebut philistinism. Perilaku, kebiasaan atau watak yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan keindahan dan estetika, pongah tetapi bewawasan sempit. Dalam perspektif ini angka lebih mulia dari manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh kedaulatan uang. (Khrematokrasi, Setya Wibowo, A; Basis, nmr 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan, berarti menyediakan jalan lapang menuju negara toritarian atau anarki sosial. Pada hal harapan pemilih adalah memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit pemilih yang harus berjalan kaki berkilo meter atau medan yang sangat sulit, untuk menyampaikan harapan dengan memilih pasangan Capres pilihannya. Harapan dari pemegang tertinggi kedaulatan.
Memberlakukan rakyat setara dengan angka, mempermudah elit politik menggerakkan rakyat bukan dengan penalaran tetapi lebih di stimulir oleh hasrat instingtual dan primordial. Termasuk hasrat kemaruk kuasa yang mnggebu. Contoh yang aktual dan signifikan adalah Pilpres 2014, simtom-simtom pembelahan bangsa mulai menguat, terutama di picu ujaran kebencian bernuansa sentiment primordial yang di artikulasikan melalui Media Sosial (Medsos). Wacana publik bukan hanya menjadi tidak juntrung, bahkan berpotensi merusak tatatan kehidupan yang beradab. Medsos menjadi ajang festival orgi bigotri (bigotry) yang mengumbar kebencian primordialistik. Hingar bingar kebencian akan membunuh rasa persaudaraan serta akan menggiring demokrasi tersesat ke rute anarki social.
Gelombang umpatan kesumat tersebut kalau dibiarkan akan mengakibatkan praktek berdemokrasi menggerogoti ke- Indonesia-an. Karena arena politik bukan lagi menjadi ranah kompetisi yang sehat, melainkan menjadi ajang saling menaklukan. Politik Penaklukan mempunyai potensi sangat besar memporak perandakan upaya meningkatan sensitifitas “rasa- merasa” dalam membangsa menjadi Indonesia yang Bhineka tetapi Eka.Sensitifitas saling rasa-merasa sebagai bangsa dapat tenggelam oleh gelora kebencian bernuansa sentimen primordial. Sensitifitas saling merasakan sebagai bangsa Indonesia semakin menipis.
Gejala tersebut perlu di cermati dinamikanya, karena berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jack Snyder, (Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Etnis, KPG, 2003), nasionalisme eksklusif seperti itu dapat dijadikan senjata para elit politik yang terganggu kenyamannya karena perkembangan demokrasi. Mereka yang terancam kepentingannya, mengatas namakan rakyat mengobarkan semangat nasionalisme sempit untuk menggalang kekuatan massa dan melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil. Keberhasilan mereka juga di dukung oleh kekuatan modal yang dapat mendominasi media. Akibatnya, bursa gagasan sarat kepentingan elit karena hanya di pasok oleh kepentingan subyektif. Wacana publik yang tidak merawat kewarawarasan, diskursus public justru akan melemahkan kekuatan sipil masyarakt ( Civil Society). Para elit politik menggiring rakyat untuk loyal kepada institusi primordial yang mengakibatkan segregasi sosial, bukan kepada nilai-nilai dan lembaga politik yang inklusif yang dan menjanjikan kemakmuran, kesetaraan serta keadilan bersama. Beberapa negara yang terancam proses demokrasinya karena mobilisasi nasionalisme eksklusif antara lain di negara-negara Balkan ( Yugosavia, Rumania, Bulgaria dan Akbania), Kaukasus (Aremenia, Georgia dan Azerbaijan) serta Baltik ( Estonia, Latvia dan Lituania).
Dalam tataran elit suara ternyata juga tanpa makna. Bersuara tanpa makna secara kasat mata dapat dilihat melalui kinerja lembaga penampung suara rakyat, DPR, pada tahun 2015. Sepanjang perjalanan reformasi politik lebih kurang tujuh belas tahun, kinerja DPR periode 2014-2019, pada tahun 2015 adalah yang paling buruk dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya. Sementara itu dalam kasus pelanggaran etika, tidak kalah menyedihkan. Sebanyak 18 perkara melibatkan anggota, dan 2 perkara melibatkan pimpinan DPR di MKD.
Politik riuh tanpa ruh etika, seperti manusia tanpa tulang rusuk, lunglai tanpa daya, muaranya rakyat semakin sengsara. Politik yang bising hanya menguras energi bangsa.Oleh karena itu belajar dari kegaduhan politik selama ini, suara rakyat harus lebih terkondolidasi dan fokus sehingga mampu mengotrol ambang batas kebisingan politik. Gema suara rakyat harus jauh melampaui ke gaduhan politik yang bersumber dari para elit politik. Harus di cegah jangan sampai tubuh politik mengidap penyakit moral insanity, penyakit kelainan jiwa dan buta etika.
Membenahi politik bersuara dapat dimulai dengan memahami perbedaan antara voice ( suara) dan noice (jenis suara yang tidak dikehendaki, karena dapat merusak gedang telinga). Dalam khazanah ilmu politik dikenal political voice (suara politik), sebagai institusi yang amat penting dalam masyarakat demokratis. Voice berfungsi mengkomunikasikan kepentingan, preferensi serta aspirasi public kepada pemegang kekuasaan sehingga mempunyai efek langsung terhadap kebijakan public agar memihak rakyat. Bersuara secara kolektif mempunyai kekuatan yang ampuh mempengaruhi kebijakan public. Oleh sebab itu tidak berlebihan kalau Albert Hirschman menyebutkan “Voice is polical action par excellence” , bersuara adalah wujud paling utama dari aksi politik (Albert O. Hirschman; Exit, Voice and Loyalty; 1970). Namun bersuara yang bermakna memerlukan proses pendidikan dan sosialisasi politik agar warga negara mempunyai civic competence (kompetansi berwarga negara). Kajian yang dilakukan oleh Erik Anderson ( 2012) : The Political Voice of Young Citizens:Educational Condition for Political Conversation School and Social Media, 2012),secara panjang lebar membahas tentang makna percakapan murid-murid di Swedia. Salah satu kesimpulannya, betapa pentingnya pendidikan dan sosialisasi poltik terhadap generasi muda dipersiapkan agar mempunyai kompetensi berwaga negara Karena dalam masyarakat demokratis percakapan yang berkualitas sangat diperlukan. Bersuara menjadi bermakna, bukan bersuara yang memproduksi kebisingan.
Tragedi “de-humanisasi” praktek politik yang merendahkan manusia Indonesia sama nilai dengan dengan angka mati diungkapkan oleh Gus Mus (Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim), secara harafiah sebagai berikut “Pimpinan, anggota DPR, semua yang di atas harus jadi manusia dulu. Sekarang, orang berebut kekuasaan untuk apa? Setelah berkuasa juga mau apa? Banyak yang mementingkan ngerebut kursinya dulu, baru mikir. Setelah dapat kursinya apa yang mau dilakukan.” Menurut Gus Mus, menjadi manusia adalah mengenali dirinya dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain dan tidak menganggap dirinya sendiri yang paling benar.(Tempo.com, Jum’at, 28 Agustus, 2015).
Mengapa harus menjadi manusia dulu? Apakah selama ini machluk -machluk yang bertampang gagah, berpakaian necis, murah senyum, beraroma harum semerbak laiknya dewa-dewi penghuni nirwana bukan manusia? Tentu saja mereka manusia. Tetapi mungkin belum menjadi manusia yang mampu bertachta (bersemayam, bertachta atau berdaulat) terhadap dirinya sendiri. Mereka belum menjadi manusia yang mampu menyangkal dirinya sendiri (self-denial) mengusir pamrih pribadi, mengendalikan vorasitas (kerakusan), serta memepergunakan ketajaman nalar serta daya empati untuk mengendalikan nafsu mereguk kenikmatan kekuasaan. Lembaga wakil rakyat memerlukan manusia yang mampu mengontrol dorongan nafsu serakah, mempunyai kearifan serta kompetensi penalaran yang benar, sehingga dalam mengelola negara, mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama. Suara kenabian Gus Mus hampir dapat dipastikan bermakna demikian.
Fenomena yang lebih memprihatinkan akibat praktek demokrasi yang mereduksi manusia Indonesia setara dengan angka adalah menggerakan rakyat dengan mengeksploitasi hasrat instingtual dan sentiment priordial demi ambisi politik Berbagai macam teori di coba untuk menjelaskan gejala kebencian primordialistik, terutama kelompok yang merasa inferior dan termarjinalkan. Salah satunya adalah permenungan Nietzcshe tentang filosofi dan psikologi asal-usul serta silsilah dendam kesumat atau biasa disebut ressentiment ( Setyo Wibowo, Majalah Basis, nmr 03-04 thn ke 65, 2016). Untuk mempermudah menjelaskan gagasannya, ia mempergunakan metafora elang, sebagai binatang perkasa yang kodratnya pemangsa dan domba yang di takdirkan sebagai makluk yang lemah, serba kalah, merasa tersingkirkan, dizolimi, tak berdaya, iri, dengki, hina dan frustrasi. Pokoknya gerombolan domba merasa sebagai sebagai pecundang, sementara elang adalah pemenang. Gerombolan domba yang secara kodrati tidak berdaya menghadapi kedigdayaan Elang, mereka menciptakan ideologi tentang kebenaran. Inti filosofi nilai-nilai tersebut adalah kepasrahan, tidak melakukan perlawanan, mengalah dengan harapan serta keyakinan Tuhan yang akan membalas dan menghadiahi surga. Dengan meyakini nilai-nilai tersebut, mereka merasa sudah setara bahkan merasa menang. Oleh karena itu para petinggi Gerombolan Pecundang selalu membakar pengikutnya dengan mengemas kebenaran semu dan janji masuk surga. Akibatnya, dalam perburuan nilai-nilai kebenaran subyektifnya, mereka justru menghalalkan cara bahkan melakukan revolusi yang meluluh lantakan tatanan dunia agar masuk surga. Dalam tataran mondial, contoh kelompok tersebut antara lain kelompok yang menamkan diri kelompok Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS.
Rasa benci bukan lagi sekedar fenomena Psyche (kejiwaan), melainkan telah menjadi penanda bahaya, rasa tidak aman dan karena itu perlu kontrol yang memadai oleh negara atau komunitas politik tertentu. Niza Yanay, dalam bukunya The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse ( 2013), menegaskan teori kebencian harus di teorikan kembali menjadi ideologi kekuasaan dan control. Sebab secara empirik tangan-tangan tidak kelihatan (invisible mechanism) bergerayangan secara kasat mata menggunakan ”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik. Ilustrasinya, peritiwa 11/9/2001 serangan bunuh diri di New York City dan Washington, D.C, “kebencian” digunakan oleh Presiden Bush, negara-negara demokrasi Barat dan media sebagai retorika metaforatikal untuk mendapatkan legitimasi menyatakan negara dalam keadaan darurat, membentuk profil rasial (racial profiling) serta melakuan operasi militer perang dengan Irak. Hal yang sama adalah permusuhan kebencian antara Keturunan Yahudi Israel dan keturunan Yahudi palestina. Jadi, kebencian adalah konsep politik.
Simtom ujaran kebencian dan permusuhan yang di produksi oleh sentiment primordial, selain terjadi dalam pilpres 2014, dapat disaksikan Putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017. Pelajaran utama yang dapat ditarik dari Putaran pertama adalah praktek demokrasi yang sarat dengan hasrat kemaruk pemburu kuasa dapat melibas tatatan negara. Nilai-nilai mulia sebagai basis ideologi identitas masyarakat sipil (Civil Identity) yang beradab, pontang-panting menghadapi ketamakan para pemburu kekuasaan yang mempersenjatai diri dengan senjata yang mematikan, SARA ( Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau Politik Identitas. Sedemikian kuatnya gelombang Politik Identitas SARA, seakan-akan negara telah di gulung ombak kebencian dan permusuhan. Rakyat celingukan mencari keberadaan negara, karena tidak dirasakan kehadirannya. Sementara itu, Politik Identitas semakin membatu dan kasat mata. Masyarakat juga semakin bingung dan gelisah; alih-alih merasakan negara melakukan perlawanan sengit terhadap isyu-isyu SARA, tetapi justru rakyat heran karena sementara petinggi negara justru memberikan sinyal ancaman negara di depan mata adalah gerakan Komunisme. Maneuver politik yang terbukti telah gagal total di praktekan di seantero dunia.
Kehadiran negara dirasakan setelah Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan dengan gamblang praktek demokrasi dewasa ini sudah ke- babalasan. Ia menegaskan demokrasi membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, dalam bentuk suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. (Kompas.com, 24 Februari 2017). Presiden nampaknya sangat menghayati Politik Identitas semakin mengeras. Betapa mencemaskannya Politik SARA, antara lain, dimuat sebagai berita utama “The Jakarta Post” (27 Febuari 2017), “Muslim Residents Against Threats Of No Burial Rites”, disertai foto yang amat mencolok memamerkan ancaman bersifat diskriminatif. Ilustrasi tersebut mewakili dahsatnya gelombang Politik SARA dan kegelisahan masyarakat terhadap ancaman Politik Identitas. Oleh sebab itu bila Pilkada DKI di dominasi oleh pertarungan Politik SARA, siapapun yang menang bukan hanya mengalahkan lawan politiknya, tetapi kekalahan Ke Indonesiaan, kekalahan Politik Ke-Bineka Tunggal Eka-an yang inklusif. Harganya amat mahal. Pengalaman di negara-negara Eropa menjelang dan pasca Perang Dunia Pertama serta konflik Politik SARA pasca runtuhnya negara-negara Komunis, menelan korban puluhan juta manusia meninggal dunia dan penderitaan lahir batin bagi yang masih hidup. Diperlukan waktu puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk memulihkan luka bati rakyat akibat peri laku para Penggelojoh kekuasaan yang memanipulasi Politik SARA.
Sementara itu prinsip kesetaraan bila di praktekkan tanpa pandang bulu justru dapat merusak demokrasi karena kesetaraan dianggap semua orang sama derajat, niat dan komptensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar kekuasaan. Referensi pengelolaan kekuasaan dalam konteks manajemen pemerintahan untuk kepentingan umum telah ribuan tahun lalu di diskusikan mendalam antara Socrates dan Glaucon (sahabatnya). Wacana yang dapat dijdikan pelajaran tersebut dikumpulkan Plato dalam bukunya Republic ( Editor Chris Emyliyn-Jones, dan William Freddy: Harvard University Press, London, England, 2013). Dalam bab VIII (hal 107 sd 305), memuat perdebatan tetang kekuasaan. Pelajaran penting, antara lain, manipulasi para elit politik yang mengobarkan propaganda untuk memenuhi hasrat kuasa, hanya menempatkan rakyat sebagai budak. Namun para budak tersebut semakin lama tidak dapat dikendalikan sehingga akan menghasilkan pemerintahan oleh gerombolan yang tidak mempunyai komptensi memerintah alias mobokrasi. Kemaruk kuasa selalu dapat memporak perandakan negara.
Mewujudkan cita-cita tatanan demokrasi dalam masyarakat yang plural karena identitas primordial sangat rumit. Jebakan demokasi yang paling mudah menjerat kedauatan rakyat adalah dalil mulia dari demokrasi itu sendiri: kebebasan dan kesetaraan. Prinsip tersebut baru bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan umum bila disertai dengan kualitas manusia yang mampu membatasi kebebasannya untuk merawat nilai dan aturan guna mewujudkan cita-cita bersama. Praktek di negara-negara yang telah mapan demokrasinya, biasanya sebelum terjadi ledakan partisipasi rakyat, lembaga-lembaga politik telah di bangun sehingga dapat menampung partisipasi publik. Sebab, tanpa manusia yang mempunyai kompetensi serta tingkat pemahaman tentang hidup bersama, kebebasasan menjadi ekspresi kemerdekaan yang liar dan tidak bertanggung jawab, anarki. Kebebasan individual harus di pagari oleh kepentingan umum melalui hukum dan lembaga-lembaga politik mampu mengelola partisipasi publik. Tanpa batas-batas yang jelas, para pemburu kekuasaan dengan sigap akan mengobarkan propaganda mengelabuhi rakyat membangun dukungan untuk kepentingan mereka sendiri.
Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa, maka tidak ada resep instant utuk mengobati penyakit tersebut. Solusi harus dilakukan jangka panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia Indonesia dalam mengelola gelora dan gerak jiwanya. Pendidikan hasrat akan menghasilkan manusia yang terasah nurannya, sehingga secara gradual pengelolaan negara pararel dengan pengolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Hadirnya negara yang bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan idologi apapaun, termasuk ideologi kapitalisme, komunisme serta politik identitas.
Agenda raksasa ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh negara sendiri. Masyatakat sipil, kalangan ulama, masyarakat kelas menengah, pelaku usaha, pokoknya semua komponen bangsa harus terlibat dalam gerakan kebangsaan. Kekuatan bersama ini harus membangkitkan rasa merasa menjadi Indonesia dengan menciptakan iklim yang sehat dan jeli memanfaatkan momentum, misalnya peringatan-peringatan hari besar nasional, dan lain-lain sebaiknya dimanfaatkan untuk menggelorakan gerakan ini. Selain itu Presiden dan Wakil Presiden, sebagai tokoh sentral dan simbol negara, perlu rajin bersiliaturahmi dengan berbagai kalangan masayrakat, para ulama, pemimpin-pemimpin serta tokoh-tokoh masyarakat di Pusat dan daerah.
Gerakan besar-besaran diharapkan secara pelan-pelan masyarakat mulai merasakan pertama-tama aku adakah bangsa Indonesia yang ditakdirkan lahir sebagai suku atau ras tertentu serta memeluk agama tertentu pula. Selain itu kompetisi politik dilakukan dengan semangat saling rasa merasakan sebagai warga negara Indonesia yang betekad bersatu padu mewujudkan kebahagiaan. Menjadi bangsa Indonesia bukan kebetulan, melainkan upaya keras para pendiri negara yang menyadari Indonesia adalah bangsa yang beragam tetapi harus bersatu dalam mewujudkan cita-cita bersama. Oleh sebab itu seluruh komponen bangsa Indonesia dilarang keras kapok menjadikan Indonesia yang beragam tetapi tetap bersatu padu menuju kebahagian bersama.
Jakarta, 27 Maret 2017
Daftar bacaan (selektif ):
- Albert Hirschman; Exit, Voice and Loyalty; 1970
- Frank Furedi, “Where Have All the Intellectuals Gone?:”Confronting 21st Century Philistinism”, 2006
- Niza Yanay, The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse, 2013.
- Jack Snyder: Terjemahan oleh Parakitri Simbolon ,Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Etnis, KPG, 2003,
- Niza Yanay, The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse, 2013.
- Plato, (Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Chris Emyliyn-Jones, William Freddy: Republik; Harvard University Press, London, England, 2013.
- Setya Wibowo, A; Khrematokrasi, Basis, nmr 05-06, 2014.
[1] Makalah ini disusun sebagai pengantar dalam rangkaian seminar akademik Dies Natalis STF Driyarkara ke-48 yang bertema besar ”Indonesia dan Bangkitnya Populisme dalam Politik Global”. Seminar yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa STF Driyarkara, pada Hari Senin, 27 Maret 2107 di STF Driyarkara, Jakarta.
[2] Peneliti Senior CSIS, Jakarta.