ACEH diyakini sebagai tempat awal masuknya Islam ke Nusantara, hal ini disebabkan letak Aceh yang sangat strategis, yaitu di perairan Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang bagi para pelaut yang akan memasuki wilayah Nusantara. Penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Arab, Gujarat, India, dan Persia. Mazhab Islam pertama yang terdapat di Aceh adalah mazhab Syiah. Hal ini diperkuat dengan beberapa peninggalan Syiah di Aceh. Antara lain Kerajaan Peurlak yang terletak di Aceh timur pada tahun 840 Masehi sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh dan didirikan oleh para pendatang asing yang bermazhab Syiah. Beberapa peninggalan Syiah di Aceh antara lain: penghormatan terhadap Ahlul Bayt, tradisi asyura, lagu pujian terhadap Ahlul Bayt, dan tari Saman. Pendahuluan
Aceh merupakan wilayah nusantara yang memiliki tempat sangat strategis, yaitu di wilayah selat malaka, sehingga wilayah pesisir Aceh menjadi pintu gerbang ketika para pelaut akan memasuki nusantara, bahkan wilayah Aceh dikenal sebagai jalur sutera, karena jalur ini digunakan sebagai jalur perdagangan sutera. Aceh juga merupakan wilayah nusantara yang memiliki sumber daya alam melimpah, sebagai pusat studi dan sebagai pusat perdagangan. Hal inilah yang mengakibatkan banyak bangsa asing yang berdatangan ke wilayah ini.Pada awalnya bangsa asing yang datang bertujuan untuk berdagang, namun pada akhirnya banyak juga yang melakukan perkawinan dan menyebarkan agama Islam, karena bangsa asing yang datang tersebut selain pedagang muslim, terdapat juga para ulama. Letak Aceh yang sangat strategis ini dapat menjadi indikasi bahwa Aceh adalah wilayah nusantara pertama tempat datangnya agama Islam. Para bangsa asing yang berasal dari Saudi Arabia, Gujarat, India muslim dan Persia datang ke Aceh dan menyebarkan agama Islam dengan berbagai macam cara damai, yaitu melaui perdagangan, perkawinan, kebudayaan dan melalui tradisi yang sudah ada pada masyarakat Aceh.Sebelum memeluk agama Islam, penduduk Aceh adalah pemeluk agama Hindu. Melalui para pedagang dan ulama Arab, Gujarat dan Persia. Bangsa Aceh menjadi pemeluk agama Islam. Seperti dinyatakan oleh Suhaimi bin Haji Ishak, Islam datang ke Nusantara melalui para pedagang keturunan Arab, Persia dan India Muslim.[1] Terdapat beberapa teori mengenai pembawa Islam dan waktu datangnya Islam ke Indonesia, teori tersebut antara lain teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Pada dasarnya penulis tidak menyangkal ketiga teori tersebut, artinya penulis mengakui bahwa pembawa ajaran Islam ke Indonesia adalah bangsa Arab, Gujarat dan Persia. Namun mengenai waktu datangnya Islam ke Indonesia, penulis setuju dengan teori Persia yang menyatakan bahwa pembawa agama Islam pertama ke Indonesia adalah bangsa Arab, Gujarat dan Persia bermazhab Syiah sebelum abad ke 8. Hal ini didasarkan adanya kerajaan Peurlak yang terdapat di wilayah Aceh timur dan telah berdiri pada tahun 840 Masehi. Seperti tertulis dalam naskah tua Izhar Al-Haq yang dirujuk oleh Al-Hasyimi, yang menyatakan bahwa pada tahun 789 masehi telah datang sebuah kapal asing dari teluk Kambay (Gujarat) yang membawa para saudagar muslim dari Arab, Persia dan India dibawah pimpinan nakhoda Khalifah.[2] Bukti lain dari syiah pernah Berjaya di Aceh yaitu adanya budaya dan kesenian Aceh yang berasal dari budaya syiah. Bukti tersebut antara lain adalah adanya perayaan Asyura dengan membuat bubur Asyura. Bubur ini dibuat oleh sebagian besar masyarakat Aceh pada saat tanggal 10 bulan Asyura. Sedangkan kesenian yang berasal dari budaya syiah antara lain adalah tari saman. Tari saman dalam setiap gerakannya melambangkan kesedihan atas terbunuhnya Imam Husain. Masuknya Islam ke Indonesia Islam bukanlah agama pertama yang dipeluk oleh masyarakat Aceh, seperti halnya wilayah Indonesia pada umumnya, penduduk Aceh pun sebelum memeluk agama Islam merupakan pemeluk agama Hindu. Bahkan sebelum memeluk agama Hindu masyarakat Aceh merupakan pengikut aliran animisne, dynamisme dan pemujaan terhadap dewa (Hyang). Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa peninggalan di Aceh yang merupakan peninggalan budaya Hindu, antara lain adalah upacara tepung tawar, kenduri dan masjid Indrapuri. Hal ini menjadi indikator bahwa sebelum memeluk agama Islam, masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Hindu. Kemudian pada abad ke 7/8 Masehi, agama Islam masuk ke wilayah Indonesia, melalui Aceh dan dibawa oleh para pedagang Arab, Gujarat dan Persia. Mereka bermazhab syiah. Islam masuk ke Aceh dengan cara damai dan disebarkan dengan cara menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat Indonesia sebelum Islam, sehingga sampai saat ini dalam pelaksanaan ritual Islam diserap juga keyakinan masyarakat pra Islam, acara tersebut seperti acara tepung tawar dan kenduri. Pembawa ajaran Islam pertama ke Aceh adalah mazhab syiah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rakhmat, bahwa syiah atau ahlul bayt mempunyai peranan penting dalam proses Islamisasi di Indonesia, karena ahlul bayt atau syiah masuk ke Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia.[3] Hal yang sama juga dinyatakan oleh Atjeh, yaitu mazhab pertama yang dipeluk masyarakat Aceh adalah mazhab syiah dan sunni.[4] Aceh Daerah Pertama Masuknya Islam ke Indonesia Bahri menyatakan, pra sejarawan berkesimpulan, masuknya Islam pertama kali ke Nusantara terjadi di Aceh pada abad ke 1 Hijrah (abad ke 7 Masehi). Islam dibawa oleh para pedagang Arab yang diikui oleh para pedagang Persia dan Gujarat ke pesisir sumatera (Perlak atau Samudera Pasai), diantara salah satu buktinya adalah adanya makam samudera Pasai Malik al-Shaleh (668-1254 H/1289–1326 M)[5] dan diperkuat dengan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara di Medan pada tahun 1963.[6] Dengan demikian dapat disimpulkan Islam pertama kali datang ke Indonesia melalui Aceh pada abad ke 7/8 Masehi, dibawa oleh para pedagang bermazhab syiah dan mazhab syafii. Hal ini diperkuat dengan letak Aceh yang sangat strategis, dan ditemukannya beberapa artefak, antara lain kerajaan Peurlak yang merupakan kerajaan pertama di Aceh timur yang didirikan oleh Muslim syiah. Banyaknya symbol syiah di Aceh menjadi indikasi bahwa syiah pernah berjaya di Aceh dalam waktu yang cukup lama. Syiah di Aceh pada Awal masuknya Islam Budaya tersebut antara lain penghormatan terhadap ahlul bayt, ritual-ritual agama seperti peringatan kematian sayyidina Husein di Karbala pada tanggal 10 Muharram dan adanya sastra Melayu Klasik.[9] Syiah menurut Hashim merupakan paham keagamaan yang menyenderkan pada Imam Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya dan paham ini sudah muncul pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin sedangkan di Nusantara syiah hadir pertama kali di Aceh pada abad 7/8 Masehi[10], hal ini didasarkan pada kerajaan Islam pertama di Aceh adalah kerajaan Peurlak yang terletak di Aceh Timur dan didirikan oleh bangsa Persia, Arab dan Gujarat bermazhab syiah. Hashmi berpendapat, di Aceh telah terjadi perebutan kekuasaan antara Ahlus Sunnah dengan syiah, menurutnya kelompok ahlus sunnah memberontak dan memenangkan pertarungan hingga akhirnya kerajaan Peurlak yang semula bermazhab syiah, terbagi menjadi dua, yaitu bermazhab syiah di wilayah pesisir dan bermazhab sunni di wilayah pedalaman, begitu juga yang terjadi di kerajaan Samudera Pasai. Sehingga bisa difahami jika faham yang berkembang dan berjaya di Aceh saat ini adalah faham sunni. Kebudayaan syiah yang paling menonjol di Aceh terdapat dalam gerakan tari saman dan tari seudati dan juga kesusasteraan yang diciptakan oleh ulama syiah, seperti Hamzah Fansuri, yang dilahirkan pada akhir abad ke 16 di Barus Sumatera Utara. Ulama syiah yang berperan dalam proses Islamisasi di Aceh antara lain Hamzah Fansuri, syamsudin Al Sumatrani dan Syekh Abdur Rauf al- Singkili atau yang sering dikenal dengan Syiah Kuala. Syiah di Aceh Saat ini Meski masyarakat Aceh bermazhab sunni, sampai saat ini mereka sangat menghormati ahlul bayt, mereka membuat bubur asyura dalam merayakan peringatan 10 asyura sebagai ungkapan kesedihan atas syahidnya imam husein. Masyarakat Aceh bukanlah pengikut syiah, mereka menghormati ahlul bayt, karena memang itu kewajiban umat Islam. Meskipun masyarakat Aceh bukan pengikut syiah, namun kebudayaan syiah cukup berkembang di Aceh seperti perayaan 10 asyura, Dabus, Barzanji, kepercayaan kepada Imam Mahdi, mantra dan doa yang dikaitkan dengan saydina Ali, Hasan Husein, ziarah kubur, manakib dan perayaan haul. Demikian juga dalam hal kesenian. Gerakan-gerakan dalam tari saman sangat identik dengan gerakan – gerakan pada peringatan hari karbala, dalam tari saman mereka memukul paha, dada dan penuh gerakan-gerakan heroic sambil melantunkan syair-syair keagamaan dalam bahasa gayo. Kebudayaan Islam di Aceh Ada tiga budaya syiah dalam masyarakat Islam alam Melayu, dan budaya tersebut juga terdapat di Aceh. Ketiga budaya tersebut menurut Harun dan Kamaruzzaman adalah: penghormatan terhadap Ahl-Al-Bayt, ritual-ritual keagamaan dan sastera Melayu Klasik.3[12] Penghormatan terhadap Ahlul Bayt Di Aceh juga terdapat tarekat syatariyah yang dalam pelaksanaannya menghubungkan dengan para imam ahlul Bayt. Dalam tarekat syatariyah, terdapat urutan nama-nama yang disebutkan dalam aktivitas tarekat. Nama-nama tersebut dimulai dari Rasulullah SAW kemudian kepada Ali bin Abi Thalib ra dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Tradisi Syiah di Aceh Bubur asyura dibuat dengan mencampur ubi jalar dengan beras, jagung ditambah dengan santan dan gula. Bubur tersebut kemudian dibagikan kepada para tetangga atau dibawa ke meunasah (mushalla) dan dibagikan kepada jamaah yang hadir. “Leuh Syahid Hasan Jiprang loom Husein//Keu meuk poh mandum cuco sayydina// Jirpah pasukan mandun diyutreon// Lengkap banmandum alat senjata//Dudo keuh syahid Husein dalam prang//But Yazid keujam di blakarbala//Leuh syahid husein hate jih seunang//Jeut ban sabohnya jimat kuasa// Teumat oh dudo yazid nyang tunggang//Ka gadeoh garang teukabo ria//Karna bro pie dimat keurajeun//Hukoman tuhen dudoe ceulake.” Setelah Hasan syahid ada penyerangan terhadap Husein// Mau membunuh semua cucu nabi// Dia kerahkan semua pasukan untuk turun//Dengan peralatan senjata yang lengkap// Huseinpun syahid dalam peperangan//Oleh Yazid yang kejam di padang Karbala//Setelah Husein syahid, mereka semua senang//Mereka memagang seluruh kekuasaan//Kemudian Yazid yang sangat kejam//Penuh dengan kegembiraan menjadi takabur//Memegang kerajaan dan kekuasaan// Karena hukuman tuhan kemudian dia menjadi celaka. Syair lagu tersebut menceritakan peristiwa terbunuhnya Imam Husein yang dilakukan dengan sangat kejam di Karbala oleh Yazid bin Muawiyah, sehingga lagu tersebut menggambarkan bagaimana sedihnya masyarakat Aceh atas peristiwa tersebut. Sesuai dengan pernyataan Husin, bahwa masyarakat Aceh mencintai Ahl Al-Bayt, sehingga saya sendiri dalam keluarga diberi nama sesuai dengan keluarga Ahl Al-Bayt.[14] Bagi masyarakat Aceh, mencintai Ahl Al-Bayt merupakan suatu yang patut dilakukan, mereka sangat menghafal tentang sejarah Ahl Al-Bayt, mereka juga melakukan tradisi yang menjadi tradisi kaum syiah. Hal ini menunjukkan bahwa syiah mempunyai pengaruh dalam seni dan kebudayaan masyarakat Aceh. Tari Saman Sebagai tarian Nusantara, gerakan dan syair dalam tari saman penuh dengan makna dan pesan-pesan filosofis serta religius. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sustiawati yang menyatakan bahwa tarian Nusantara penuh dengan pesan-pesan filosofis, baik dari aspek spiritual, moral maupun sosial dari komunitasnya.[17] Sehingga menurut Ramidhiyanti dan Piliang, tari saman merupakan tarian yang mempunyai banyak makna, antara lain mengajarkan tentang kebersamaan, kedisiplinan dan kesatuan.[18] Dengan demikian tari saman merupakan tarian Nusantara yang berasal dari gayo lues ini mempunyai nilai-nilai religius yang cukup tinggi, tarian ini juga dimainkan tanpa alat musik, tetapi hanya dengan menggunakan gerakan tubuh dan nyanyian dari para penarinya. Lebih lanjut Ramadhiyanti dan Piliang menyatakan, keunikan tari saman terletak pada kekompakan gerakan pada tariannya.[20] Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yakni tepuk tangan dan tepuk dada. Menurut Husin, gerakan dalam tari saman yang berupa menepuk-nepuk dada lebih menunjukkan sebagai ungkapan kepiluan dan kesedihan atas gugurnya Imam Husein (cucu) Rasulullah SAW, mengingat masyarakat Aceh memang sangat mencintai Ahl al Bayt atau keluarga rasulullah.[21] Hal yang sama juga dinyatakan oleh Saad. Menurut Saad, gerakan-gerakan saman terdiri dari menepuk-nepuk dada mirip dengan gerakan-gerakan peringatan hari karbala. Dimana pada saat itu mereka menepuk dada sebagai simbol dari kesedihan yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husein, cucu rasulullah SAW.[22] Hal ini dapat menjadikan indikasi bahwa ada kesamaan dalam tari saman dengan pengikut syiah dalam menunjukkan kesedihan mereka pada peristiwa Karbala. Para pengikut Syiah merayakan 10 Muharram atau 10 asyura dengan peringatan berupa pembacaan maktal[23] dan maktam (menepuk dada).[24] Peringatan tentang syahidnya Imam Husein sebenarnya sudah dilakukan oleh pengikut syiah sejak tanggal 1 Muharram dan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Muharram, yang dikenanal dengan peringatan hari Asyura. Menepuk dada merupakan kebudayaan Arab yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam bahkan ada sebagian yang menyatakan, menepuk dada merupakan kebudayaan syiah. Menepuk dada dilakukan pengikut syiah sebagai ungkapan kesedihan atas syahidnya Imam Husein di Karbala dengan cara yang sangat kejam. Kekejaman Yazid (putra Muawiyah) terhadap Imam Husein mereka peringati sebagai upacara Karbala atau upacara 10 Asyura. Karena kejadian pembantaian tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Asyura. Upacara peringatan hari Asyura diperingati oleh para pengikut syiah di dunia. Kesimpulan Aceh diyakini sebagai wilayah nusantara pertama tempat datangnya agama Islam, Hal ini disebabkan karena Aceh merupakan pelabuhan pertama yang disinggahi oleh kapal-kapal layar yang masuk Nusantara. Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya mempunyai kepercayaan animisme, dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta), dan nenek moyang. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan dengan kedatangan bangsa India yang membawa agama Brahma atau agama Hindu, maka masyarakat Aceh menjadi pemeluk agama Hindu. Setelah agama Hindu, agama Islam masuk ke wilayah Aceh melalui para pedagang Arab, Gujarat dan Persia, sehingga Islam yang datang ke Indonesia berasal dari berbagai bangsa asing dan bukan bangsa Arab saja, tetapi dari Arab Saudi, India, Cina, Persia dan Mesir. Mazhab yang pertama kali datang ke Indonesia adalah mazhab syiah, hal ini ditandai dengan telah berdiri kerajaan Islam pertama di Peurlak, Aceh yang didirikan oleh muslim syiah dan banyaknya tradisi syiah yang dipraktekkan di masyarakat Aceh. Dengan demikian syiah atau pengikut Ahl Al-Bayt mempunyai peran yang cukup penting dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Namun saat ini muslim yang ada di Aceh, sebagian besar bukanlah pengikut mazhab syiah, hal ini dapat dilihat dari praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh bermazhab suni, baik dalam melakukan aktivitas s}alat, puasa, zakat dan aktivitas lainnya. Namun dalam melaksanakan tradisi, masyarakat syiah banyak yang mempraktekkan tradisi dan budaya syiah. Jejak peninggalan syiah dapat terlihat dari beberapa artefak yang terdapat di Aceh, antara lain adanya tradisi Asyura dan gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari saman. Demikian juga dengan adanya beberapa naskah kuno yang menuliskan tentang kerajaan Islam pertama di Aceh adalah kerajaan Peurlak yang bermazhab syiah dan kemudian kejaraan tersebut bersatu dengan kerajaan Pasai. Dengan terdapatnya bukti-bukti peninggalan syiah dalam bentuk seni dan budaya yang masih terdapat pada masyarakat di Aceh, menjadi indikasi bahwa syiah pernah masuk dan berkembang di wilayah Aceh serta berperan dalam penyebaran Islam di Aceh. []
DAFTAR PUSTAKA Bahri, Syamsuddin. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei, 2012) :358-367. Farida, Anik.“Respon Organisasi Massa Islam Terhadap Syiah di Bandung. “ Penamas 22,2 (Juli September 2014): 159-175. Gele, HM Junus Luttar Aman. Mengikuti Beberapa Catatan tentang Organisasi Urang Gayo di Jakarta (Jakarta: Bina Usaha Pensiun Makmur “BUPM”, 2007). Hasymi, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. ( Bandung : PT. Al Ma’arif’, 1981). —– . Kebudayaan Islam dalam Sejarah (Jakarta : Beuna, 1983). —–. 50 tahun Aceh membangun ( Daerah Istimewa Aceh : Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995). —–. Syiah dan Ahlusunnah ; Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusatara (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1983). Hamzah dan A. Markarna. “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Islam Berbasis Multikulturalisme di Kota Palu Sulawesi Tengah.” Istiqra, Jurnal Penelitian Ilmiah 1,1 (Januari-Juni 2013): 12-22. Harun, Mohd Muhammad dan Kamaruzzaman, Azmul Fahimi. “ Kemunculan Budaya Syiah di Alam Melayu : Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 (2011) : 305-314. Hashim, Moh. ‘Syiah, Sejarah Muncul dan Perkembangannya.’Jurnal Multikultural dan Multireligius 4,11 (Oktober – Desember 2012) :1-32. Husin, Asna, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015). Rakhmat, Djalaluddin. wawancara Djalaluddin Rakhmat dengan media online.www.vivi.co.id (02/09/2012). Ramadiyanti, Tri Utami dan Piliang, Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.” Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa dan Desain 1,2 (2015): 1-6. Saad, Hasballah M. “Syiah di Aceh.” Serambinews.com (25 Februari, 2009) SD, Hadi Alunaza SD “Analisa Budaya Indonesia melalui Tari Saman Gayo Dalam Mengukuhkan Identitas Nasional Bangsa.” Jurnal Hubungan Internasional 4,1 (April, 2015) : 88-96. Bin Haji Ishak, Suhaimi. “Nusantara and Islam : A Study of the History and Challenges in the Perspektif of Faith and Identity.” Australian Journal of Basic and Applied Sciences 8,9 (June, 2014) : 351-359. Sustiawati, Ni Luh. “Kontribusi Seni Tari Nusantara dalam Membangun Pendidikan Multikultur.” Mudra 26,2 (Juli, 2011):126 – 134. Catatan Akhir [2]A. Hasymi. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. ( Bandung : PT. Al Ma’arif’, 1981), 146, A. Hasjmi . Kebudayaan Islam dalam Sejarah (Jakarta : Beuna, 1983), 45 dan A. Hasymi . 50 tahun Aceh membangun ( Daerah Istimewa Aceh : Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995), 3-8 [3] Djalaluddin Rakhmat, wawancara Djalaluddin Rakhmat dengan media online.www.vivi.co.id (02/09/2012). [4] Aboe Bakar Atjeh. Aliran Nyiah di Nusantara (Jakarta : Islamic Research Institute, 1977) : 31 [5] Syamsul Bahri. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei, 2012 :360. [6] Seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 merupakan langkah awal upaya kita menggali dan menemukan fakta kembali fakta sejaran masuknya Islam ke Indonesia. Hasil seminar tersebut merupakan koreksi total terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, khususnya pada orientasi-orientasi barat. [7] Syamsul Bahri. “ Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebagai bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei 2012) : 360. [8] A. Hasjmi. Syiah dan Ahlusunnah ; Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusatara (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1983), 45 [9] Mohd Muhammad Harun dan Azmul Fahimi Kamaruzzaman. “ Kemunculan Budaya Syiah di Alam Melayu : Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 (2011) : 310 – 311. [10] Moh. Hashim. ‘ Syiah, Sejarah Muncul dan Perkembangannya.’ Jurnal Multikultural dan Multireligius 4,11 (Oktober – Desember 2012) :31 [11]Anik Farida. “Respon Organisasi Massa Islam Terhadap Syiah di Bandung. “ Penamas 22,2 (Juli September 2014): 162. [12] Mohd. Samsuddin Harun dan Azmul Fahimi Kamaruzaman. “Kemunculan Syiah di Alam Melayu: Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara : 311. [13]Diterjemahkan oleh Azhari, warga Sigli, Aceh pada tanggal 17 Oktober 2015. [14]Pernyataan Asna Husin, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015). [15]Gayo lues adalah nama kabupaten di wilayah Aceh yang dulunya termasuk wilayah Aceh Tenggara dan setelah terjadi pemekaran pada tahun 2004. Wilayah ini terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. Lihat HM Junus Luttar Aman Gele. Mengikuti Beberapa Catatan tentang Organisasi Urang Gayo di Jakarta (Jakarta: Bina Usaha Pensiun Makmur “BUPM”, 2007), 33 [16]Hadi Alunaza SD “Analisa Budaya Indonesia melalui Tari Saman Gayo Dalam Mengukuhkan Identitas Nasional Bangsa.” Jurnal Hubungan Internasional 4,1 (April, 2015) : 91 [17]Ni Luh Sustiawati. “Kontribusi Seni Tari Nusantara dalam Membangun Pendidikan Multikultur.” Mudra 26,2 (Juli, 2011): 126 [18]Tri Utami Ramadhiyanti dan Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.” Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa dan Desain 1,2 (2015): 1 [19]Hamzah dan A. Markarna. “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Islam Berbasis Multikulturalisme di Kota Palu Sulawesi Tengah.” Istiqra, Jurnal Penelitian Ilmiah 1,1 (Januari-Juni 2013): 17. [20]Tri Utami Ramadhiyanti dan Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.“ : 5 [21]Pernyataan Asna Husin, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015). [22]Hasballah M Saad, “Syiah di Aceh.” Serambinews.com (25 Februari, 2009) [23]Maktal adalah pembacaan kronologi peristiwa Karbala, maktal tersebut didasarkan dari beberapa kitab yang kemudian disusun menjadi sebuah kisah. [24]Maktam adalah menepuk-nepuk dada sambil mengucapkan kata-kata, ya Husain…, sebagai ungkapan rasa kesedihan. Wawancara dengan Ust. Abdur Rahman Baragbah, dosen STAI Madinatul Ilmi, Depok pada tanggal 16 Oktober 2015, di STAI Madinatul Ilmi, Depok. [25]Wawancara dengan Ust. Abdur Rahman Baragbah, dosen STAI Madinatul Ilmi, Depok pada tanggal 16 Oktober 2015, di STAI Madinatul Ilmi, Depok. Sumber: https://www.altanwir.net/buletin/-awal-masuknya-islam-mazhab-syiah-ke-indonesia-dr-nurbaiti-mpd Fakta Mengejutkan : Ternyata Islam Masuk ke Nusantara Saat Nabi Muhammad Masih HidupIslamedia – Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi. Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu. Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya. Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya. Temuan G. R Tibbets Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid). Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi! Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159). Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39). Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah. Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah. Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391). Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya. Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A.. Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga. “Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin. Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M). Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya. Gujarat Sekadar Tempat Singgah Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera. Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah Ditulis oleh Rizki Ridyasmara – eramuslim.com [islamedia] |