Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja–yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan Prabu Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu.

Masa pemerintahan Sri Baduga (sribaduga) ini lah yang disebut “Gemuh Pakuan” dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.

Zaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris zaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itul, negara agraris dalam zaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersembunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.

Negara yang banyak penduduknya disebut negara gemah ripahGemah atau gemuh berarti “banyak penduduknya” (Volkrijk, menurut Coolsma), sedangkan ripah atau rimpah artinya “limpah” atau “meluap”. Jadi, Gemah-ripah mengandung arti “sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah”. Entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai “subur makmur”.

Akibat pengaruh Hindu, kata gemah-ripah sering disambung dengan loh jinawiLoh atau iwah berarti “sungai”, dan jinawi adalah nama lain untuk Sungai Gangga di India. Jadi, arti utuh dari gemah-ripah loh jinawi adalah “padat dan banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga”. Keadaan seperti ini memang yang didambakan negara agraris zaman dahulu.

Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan, sesuai dengan zamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu, mungkin hanya keadaan “sederhana” menurut ukuran hidup masa sekarang. Meski demikian, ada hal yang sifatnya bisa “abadi” jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu nilai budaya.

Dari zaman Siliwangi, kita diwarisi naskah kuno yang disebut Siksa Kandang Karesian dan Kundangeun Urang Reya (Pegangan Hidup Orang Banyak). Naskah ini terdiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu nora catur sagara wulan (tahun 1440 Saka atau 1518 M). Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode Kropak 630.

Sebagian isi dari naskah itu berisi:

dasakerta (sepuluh kesejahteraan);

tapa di nagara;

panca parisuda;

hidup penuh berkah;

parigeuing dan dasapasanta;

tritangtu di bumi (Tiga Posisi di Dunia).

1. Dasakerta (Sepuluh Kesejahteraan)

Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu: telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, tumbung (dubur), dan alat kelamin (baga atau purusa). Berikut kutipannya:

“Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karenamenjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memeroleh keutamaan dari pendengarannya”

Dukun bayi zaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila.

2. Tapa di Nagara

Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, di antaranya: menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang, dan lain-lain. Lalu dijelaskan: “Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara” (Semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam negara). Jadi, yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu, penulis Carita Parahyangan mencela sikap Ratu Dewata yang melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja sementara keadaan negara terancam musuh.

3. Panca Parisuda

Panca parisuda mengandung arti “lima obat penawar”. Ini kaitannya dengan sikap menerima celaan atau kritik: “lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih” (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu). Anggaplah:

– ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi;
– ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki;
– ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi;
– ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman;
– ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun).

Dengan sikap seperti itu dikatakannya:“kadyangga ning galah cedek tinugalan teka” (sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing). Artinya: galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik, karenanya kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik, akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan tajam. Disebutkan pula: “lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga” (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi).

4. Hidup yang Penuh Berkah

Ajaran ini merupakan pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga harus. Maka itu kita harus:

– cermat (emet);
– teliti (imeut);
– rajin (rajeun);
– tekun (leukeun);
– cukup sandang (paka predana);
– bersemangat (morogol-rogol);
– berpribadi pahlawan (purusa ningsa);
– bijaksana (widagda);
– berani berkurban (hapitan);
– dermawan (waleya);
– gesit (cangcingan);
– cekatan (langsitan).

Prinsip hidupnya adalah: tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan. Disebutkan: “Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan” (Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar pelepas haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebihan).

5. Parigeuing dan Dasapasanta

Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri geuing), yaitu: geuing, upageuing, dan parigeuing.

Geuing adalah “bisa ngicap ngicup dina kasukaan” (bisa makan dan minum dalam kesenangan). Upageuing adalah “bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana” (bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan). Parigeuing adalah “bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang” (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya).

Parigeuing memerlukan dasapasanta (10 cara penenang), yaitu:

1. bijaksana (guna);
2. ramah (rama);
3. sayang (hook);
4. memikat (pesok);
5. kasih (asih);
6. iba hati (karunya);
7. membujuk (mupreruk);
8. memuji (ngulas);
9. membesarkan hati (nyecep);
10. mengambil hati (ngala angen);

Tujuan dari hal di atas adalah: “nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang” (agar senang dan penuh kegairahan orang yang disuruh). Harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.

6. Tritangtu di Bumi (Tiga Posisi di Dunia)

Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu:

– rama (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu);
– resi (ulama atau pendeta);
– prabu (raja, pemegang kekuasaan).

Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:

– bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja);
– sabda pinaka rama (ucapan seorang rama);
– hedap pinaka resi (tekad seorang resi).

Tugas ketiga tokoh itu dalam Kropak 632 ditegaskan: “jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/pemegang kekuasaan).

Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena “pada pawitannya, pada muliyana” (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya:

“haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah,ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam,”

Artinya: jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda.

Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes. Orang Badui menyebutnya Tangtu Telu. Ketiga orang Puun di Kanekes masing-masing menempati posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik), dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu itu berlaku.

Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu pemuka masyarakat, ulama, dan pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada zaman Siliwangi masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya usang. Anggap sajalah semua itu “wangsit Siliwangi” karena memang ditulus sebagai “perudang-undangan” pada zamannya.

Bagian akhir naskah Siksa Kandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur: “hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun” (tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan).

Bila memperhatikan ajaran moral dalam zaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti, dan Nilakendra sangat dicela oleh penulis Carita Parahyangan: “Aja tinut de sang karuwi polah sang nata” (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan sang raja).

Itulah beberapa warisan nilai budaya sunda dari zaman Siliwangi yang sekarang pun tampaknya masih bisa dimanfaatkan oleh kita sebagai “seuweu-siwi” atau “anak-cucu” Siliwangi.

Disarikan dari tulisan Saleh Danasasmita yang berjudul “Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwang” (2003) Bandung: Kiblat Buku Utama

Sumber:

http://www.wacana.co/2016/08/warisan-nilai-budaya-sunda/