Tinggalkan komentar

PERDEBATAN SEJARAH DAN TRAGEDI 1965

Kalau sekiranya ada yang mengatakan bahwa setiap kali terjadi perubahan sosial politik yang dramatis masyarakat selalu cenderung mempersoalkan kebenaran gambaran masa lalu mereka, saya akan setuju saja. Soalnya memang hal ini bukan hal soal teori atau hipotesa, tetapi memang begitulah yang biasanya. Bahkan, selalu terjadi. Sayapun sesungguhnya merasa yakin pula, bahwa pasti ada orang yang pernah mengatakan bahkan lebih canggih tentang kecenderungan ini.

Di kalangan sejarawan, gugatan terhadap gambaran masa lalu ini biasa diajukan meskipun di saat semua berjalan lancar seperti biasa saja. Gugatan sejarawan itu adalah bagian dari dinamika ilmu dan pengetahuan sejarah. Karena itulah bisa saja kita melihat ada beberapa buku yang ditulis tentang hal yang sama. Gugatan sejarah itu biasa juga dilakukan oleh para politisi ketika mereka melihat gambaran masa lalu itu merugikan klaim politik mereka atau bila gambaran itu mereka rasakan terlalu kering untuk dapat memperkuat landasan politik mereka. Gugatan mungkin pula dilancarkan oleh pemimpin golongan masyarakat bila saja mereka melihat bahwa gambaran masa lalu yang diberikan itu telah meniadakan atau memperkecil peran atau arti kehadiran mereka dalam katakan saja perjuangan bangsa atau apa saja. Dan, berbagai kemungkinan lain bisa terjadi. Tetapi kesemuanya memang memperlihatkan beberapa hal yang penting.

Pertama, sejarah, sebagai gambaran masa lalu yang dianggap penting dan signikan, adalah milik masyarakat, bukan milik, apalagi monopoli para sejarawan. Sejarawan -sebagai- sejarawan hanyalah “pencatat” dan “pengisah” saja. Atau, paling dianggap sebagai “penafsir” peristiwa masa lalu.

Karena dianggap sebagai sesuatu yang dapat mempertemukan masa lalu dengan masa kini, sejarah pun menjadi “wilayah” perebutan hegemoni. Perebutan hegemoni ini bisa terjadi mungkin karena diktum “siapa yang menguasai kekinian, akan menguasai masa lalu dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan” cukup merangsang juga. Kedua, sejarah adalah masalah pilihan – ada data yang dibiarkan mati” begitu saja, tetapi ada data yang dihidupkan bahkan dijadikan abadi, seakan-akan sampai kini masih ada dan punya arti. Jadi, ada peristiwa atau tokoh yang “terlupakan”, “terabaikan”, atau bahkan “dilupakan” dan “diabaikan”, tetapi ada yang ingin selalu diingat, bahkan “dibesarkan”.

Dengan kata lain, dalam usaha merekonstruksi masa lalu itu ada hal-hal lain yang menentukan “pilihan” itu. Landasan yang pertama, adalah masalah yang menjadi perhatian utama”. Ini adalah yang paling lumrah, bahkan sejarawan pun bisa dibagi atas landasan awal ini, yaitu ” zaman” (periode yang menjadi perhatian). “wilayah atau lokalitas” ( entah propinsi tertentu, negara tertentu, entah dunia), “tema sentral’ ( politik, ekonomi, seni, dan sebagainya) serta sub-tema tertentu ( politik luar negeri, ekonomi pertanian. seni arsitektur. Dan sebagainya). Landasan kedua, setelah landasan pertama berbicara ialah berbagai corak pergumulan dari kecenderungan teoritis dan filosofis serta ideologis yang dianut. Barangkali, tidak perlu dijelaskan lagi bahwa landasan yang kedua inilah yang menjadi pangkal perdebatan utama. Kalau yang pertama hanya menentukan pilihan data yang akan dijadikan “fakta sejarah” dan “hirarki fakta” dalam struktur rekonstruksi.

 

***

Kesemua yang saya katakan ini adalah hal-hal yang elementer dalam ilmu sejarah. Dalam hal ini ilmu sejarah, sebagai usaha akademis dan kritis, untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu, tidak berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Semuanya bermula dari “pertanyaan” yang diajukan. Pertanyaan yang subjektif inilah yang menentukan apa yang ingin ditemukan atau dicari. Tetapi lebih daripada penemuan disiplin ilmu yang lain, hasil rekonstruksi sejarah bukan hanya bisa ditanggapi berdasarkan kebenaran empiris –”apakah rekonstruksi sejarah itu memberikan kebenaran atau ketepatan sejarah?” dan kejernihan teoretis—“apakah landasan berfikir bisa dipertahankan berdasarkan kaidah akademis”?—tetapi juga dari sudut kepentingan politik dan hasrat kultural. Kepentingan siapakah yang telah dibela dan kepentingan siapa pula yang dilupakan atau dikecilkan? Pandangan hidup golongan yang manakah yang telah dibela dan visi kesejarahan siapa pula yang telah dilecehkan? Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan saya pernah mengatakan bahwa sebuah masyarakat bangsa bukan saja bisa terdiri atas berbagai komunitas etnis, partai politik, atau kelas-kelas sosial, tetapi juga “komunitas sejarah”, yaitu komunitas yang dibentuk oleh kesamaan visi tentang peristiwa masa lalu dan makna tentang pengalaman masa lalu.

Ada beberapa peristiwa dalam sejarah nasional yang bukan saja tercatat dan teringat, Sehingga menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa, tetapi juga diperlakukan sebagai simbol- jadi sebagai bagian dari mitos. Maka kitapun merayakan “20 Mei ” sebagai “hari kebangkitan nasional” seakan-akan pada hari itu bangsa yang tidur menjadi bangkit, meskipun peristiwa itu sesungguhnya tak lebih dari beberapa puluh anak sekolah mendirikan sebuah perkumpulan dan walaupun pula akar-akar dari “bangsa” itu bani saja bersemi di kalangan terpelajar yang masih sangat dan teramat kecil, yang berdiam di kota-kota. Peristiwa itu menjadi “penting” setelah berbagai peristiwa lain terjadi dan setelah dirasakan pula bahwa penemuan titik awal, yang simbolik, dari peristiwa-peristiwa yang telah dilalui dan ingin dilanjutkan adalah sebuah kemestian historis yang tak bisa diabaikan. Maka, bukanlah suatu keanehan kalau ternyata bahwa 20 Mei baru dirayakan secara teratur setelah kita mendapatkan kemerdekaan.

Sumber Gambar: internet

Tetapi ada juga peristiwa yang di saat terjadinya bukan saja langsung dirasakan sebagai awal dari perkembangan yang membatasi “masa kini” dengan “masa lalu”, tetapijuga merupakan pengalaman riil yang mencekam. Mendaratnya tentara pendudukan Jepang di bulan Maret 1942 adalah contoh yang jelas. Siapa yang tidak terkena akibat dari kedatangan tentara pendudukan ini? Dan, siapa pula yang tak merasakan bahwa peristiwa itu serta merta telah membuat sebuah batas sejarah yang keras. Dengan terjadinya peristiwa itu “masa lalu” telah berakhir dan tidak akan pernah bisa kembali lagi, meskipun peristiwa itu tak diperingati, apalagi dirayakan.

Ketika Pasukan Cakrawirawa di malam 30 September I965 mendatangi rumah beberapa orang perwira tinggi serta menculik dan membunuh mereka dan keesokan harinya, Letnan Kolonel Untung mengumumkan terbentuknya “Dewan Revolusi”, bukan saja pembunuhan politik telah terjadi tetapi awal dari periode baru telah dimulai. Sejak tanggal 30 September malam itu Indonesia tidak akan sama lagi dengan Indonesia yang sebelumnya. Siapapun yang mengalami suasana di sekitar peristiwa itu menyadari sepenuhnya perubahan bukan lagi sebuah idaman, bahkanjuga bukan pula hanya sebuah keharusan moral atau ideologis. tetapi keharusan sejarah yang tak terpungkiri. Maka. ketika usaha coup yang diadakan oleh kelompok Cakrabirawa itu berhasil dipatahkan TNI, di bawah pimpinan (ketika itu) Panglima Kostrad May. Jen. Suharto, berbagai pihak, entah mahasiwa, entah partai-partai yang selama zaman Demokrasi Terpimpin, entah TNI, dan sebagainya, bersama-sama, atau bersaingan dalam usaha memberi corak dari keharusan sejarah itu. Maka, mestilah diherankan kalau sudah sejak waktu itu pula berbagai golongan yang terlibat dalam proses “keharusan sejarah” ini telah “memilih” mana hal-hal yang perlu dicatat dan secara bagaimana dan mana pula yang sebaiknya dilupakan. Mestikah pula diherankan kalau ketika hasil akhir telah didapatkan—Suharto dan TNI tampil sebagai kekuatan yang dominan, masing-masing pihak mulai pula mengadakan rekonstruksi dan refleksi sejarah. Apakah yang sesungguhnya terjadi? Ketika inilah “buku putih” yang resmi dikeluarkan dan ketika ini berbagai gugatan akan keabsahan rekonstruksi bukti putih itu dikemukakan. Persaingan untuk mendapatkan hegemoni pengetahuan telah terjadi.

Dunia akademis barangkali tak terlalu mudah untuk dijangkau oleh hegemoni pengetahuan yang akhirnya bisa dimenangkan oleh pihak penguasa. Bukan saja para ilmuwan biasanya bersifat kritis, mereka juga terlalu cerewet untuk selalu menuntut segala macam pertanggunganjawab akademis. Kecenderungan ini juga didukung oleh kenyataan sederhana, bahwa dunia akademis pada dasarnya “tanpa bendera”, bersifat terbuka. Jika ilmuwan, atau sejarawan Indonesia tidak melakukan usaha rekonstruksi dari peristiwa itu atau sama sekali tak berniat untuk melawan hegemoni pengetahuan yang telah dijalankan, para peneliti asing akan tampil dengan segala macam jenis gugatan mereka. Kalau demikian penguasa lebih mungkin untuk mendapatkan hegemoni di kalangan masyarakat ramai. Tetapi inilah soalnya, masyarakat bukan saja wilayah yang memberi kesempatan segala macam simbol bertemu dan saling bertukar. Masyarakat adalah pula wilayah terjadinya segala macam perbenturan nilai dan pengetahuan. Perlawanan selalu terjadi dalam menghadapi segala macam corak hegemoni. Jika tidak secara frontal, perlawanan tersembunyi dalam bentuk satire, anekdot, puisi ( yang serius ataupun yang mbelingplesetan, karya rekaan, nyanyian, dan entah apa lagi selalu dijalankan. Maka tinggallah buku pelajaran yang secara dominan bisa dikuasai. Masalah yang ditimbulkan oleh penguasaan buku teks inilah yang akhirnya merembet ke masyarakat ramai dan ke dunia akademis. Bisakah dibiarkan anak-anak mendapatkan pengetahuan yang telah direkayasa, tanpa verifikasi akademis? Dapatkah ditolerir anak-anak terpukau oleh pengetahuan yang bertolak dari landasan nilai dan pandangan hidup yang kini tak lagi bisa diterima?

Begitulah, tidak lama setelah Lengser keprabon terjadi, berbagai gugatan pun dilancarkan atas keabsahan rekonstruksi peristiwa G30S dan berdirinya Orde Baru. Gugatan ini bertambah hebat setelah beberapa tokoh yang dianggap dan terbukti terlibat dalam persitiwa yang tragis itu dibebaskan dari penjara. Merekapun mendapat audience yang sangat ingin mendengarkan kesaksian mereka. Setelah sekian lama mendapatkan kesaksian yang bersumber dari “pihak yang menang”, masyarakat juga ingin mendengar kesaksian dari mereka yang telah dikalahkan. Keinginan ini bertambah kuat karena “yang menang itu” kinipun telah kehilangan segala hal yang pernah membanggakannya. Maka, perdebatan pun terjadi. Manakah yang benar?

Ingatan dan kesaksian manakah yang bisa dipercaya? Tetapi bukankah kesaksian yang berpangkal dari ingatan itu sangat subjektif? Bukan saja kesaksian itu terbatas pada hal yang langsung dialami –yang dialami orang lain hanya bisa dianggap sebagai :berita orang lain “ saja—ingatan, yang menjadi landasan kesaksian itupun sifatnya sangat subjektif. Hanyalah yang “teringat” yang bisa “diingat” dan hanyalah yang “ingin diceritakan” yang diceritakan kepada publik-betapapun kesemuanya bertolak dari kejujuran. Kesemuanya juga ditempa oleh pengalaman yang dilalui sejak peristiwa yang dikisahkan terjadi sampai saat kenangan terhadap peristiwa itu diceritakan. Distansi bukanlah semata-mata soal waktu yang objektif. tetapi juga terkait erat dengan situasi psikologis yang unik.

Pada tanggal 30 September, 1965 terjadilah malapetaka nasional itu. Setelah itu berbagai rentetan peristiwa sosial, politik, dan ekonomi terjadi. Berbagai peristiwa politik, yang diwujudkan dalam berbagai demonstrasi. dan berbagai corak manuver politik di kalangan elite militer dan sipil, mencapai klimaks yang menentukan dengan “Surat Perintah Sebelas Maret”, yang sempat dikeramatkan”, di satu pihak, dan ” dipertanyakan”, di pihak lain, dan akhirnya mencapai puncaknya dengan keputusan MPRS 1967, yang memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Jenderal Suharto, sebagai Pejabat Presiden. Maka “dualisme” pun diakhiri dan rezim “Orde Baru”pun berdiri. Gugatan sejarah yang kini dilancarkan berada dalam jalur politik ini. Seperti dulu juga, di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, berbagai unsur kronikel tentang “apa, siapa, di mana dan bila kembali dipersoalkan. Apakah Suharto jujur dalam kesaksiannya? Apakah ia ikut terlibat atau barangkali mengetahuinya, tetapi membiarkan terjadi? Bukankah dengan begini ia sekaligus mencapai dua tujuan?

Membiarkan calon saingannya punah dan menghantam musulmya, sehingga iapun menjadi pahlawan yang tanpa saingan. Apakah “Supersemar” sah ataukah camouflage bagi usaha coup“?

***

Terlepas dari kemungkinan ditemukannya “historical certainty” yang betul-betul ditanggungjawabkan untuk menjadi accepted history gugatan sejarah ini hanya berkisar pada sebuah jalur saja, yaitu proses peralihan rezim yang terjadi. Sedangkan dua aspek lain dibiarkan tak disentuh. Aspek pertama yang terlupakan ialah peristiwa sosial politik dan ekonomi yang dialami masyarakat kota. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar, inflasi

600%, hubungan tentara-mahasiswa, dansebagainya. Dan, tidak kurang pentingnya, kalau tak ingin dikatakan lebih penting, ialah pergolakan sosial-politik dan intektual untuk menyalurkan hasrat memasuki “trace baru” yang demokratis dan pembangunan nasional yang merata, seakan-akan terlupakan. Mungkinkah hal ini disebabkan karena kita memang masih terjangkit penyakit Orde Baru, yang otoriter, yang hanya mau mendengar suara sendiri? Atau karena selama kurang lebih tiga puluh tahun di bawah Orde Baru kita telah terlibat dalam berbagai corak kompromi, atau bisa juga pengkhianatan, sehingga hal-hal itu hanyalah dianggap sebagai nostalgia yang tak berfaedah? Bukankah pula kini adalah zaman globalisasi, bukan lagi, seperti halnya di tahun 1960-an, ketika“perang dingin” sedang berkecamuk?

Aspek kedua yang teramat sangat terlupakan ialah tragedi sosial yang dialami bangsa. Barangkali peristiwa yang dianggap sebagai salah satu peristiwa dunia yang terdahsyat di abad ini terlalu traumatis menyentuh kesadaran sehingga kita lebih suka melupakannya. Barangkali pula peristiwa itu mengingatkan kita pada ilusi ideologis yang digembar-gemborkan bahwa budaya kita adalah budaya yang luhur? Keterlupaan ini bukanlah semata-mata kesalahan ilmuwan atau pengamat sosial, tetapi juga keengganan mereka yang terlibat untuk memberi kesaksian. Bahkan keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang mengalami “pembersihan ideologis” itupun enggan untuk berbagi duka. Mungkin karena “dendam” telah menjadi bagian dari tradisi sejarah kita, sehingga sementara yang mengalami harus memendam kesemuanya dalam hati, yang menang pun tak ingin berhenti sebelum pembersihan total telah dijalankan. Maka setelah sekian lama berada di bawah bayangan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” siapa lagi yang ingin berbicara? Kalau sekarang kita membicarakan juga hal-hal yang terlupakan dan ingin dihidupkan ini, masalahnya bukanlah karena kita ingin membuka “luka bangsa”dan memupuk “dendam sejarah”. Kita hadapi masalah ini karena kita yakin bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang tragedi bangsa itu adalah langkah pertama yang harus diayunkan untuk menerima sejarah sebagaimana adanya. Hanyalah dengan begini kita bisa “berdamai” dengan sejarah. Dengan perdamaian inilah kearifan akan lebih kita dapatkan. Sejarah sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika masa lalu akhirnya bukanlah sekadar pengetahuan antikuariat. yang mengasyikkan, tetapi tak berbicara apa-apa. kecuali mungkin kerinduan, tidak pula alat politik. sebagai landasan legitimasi bagi hegemoni. tetapi kearifan untuk memahami hari kini, dan merintis hari depan.

https://buku.masyarakatsejarawan.or.id/2017/09/20/perdebatan-sejarah-dan-tragedi-1965/

Catatan Redaksi:

Tinjauan lengkap tentang tema 1965 dapat dilihat dalam Jurnal Sejarah terbitan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Klik di sini untuk melihat seluruh artikel tersebut.

 

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdanova

+62811-813-1917

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.

%d blogger menyukai ini: