Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran
15 Juni 2017
Kapal berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa
Tulisan ini terbagi dan bersambung dalam tiga tulisan. Tajuknya diawali dengan “Perebutan Sunda Kelapa” agar mudah dicari. Selamat membaca. Pelabuhan Sunda Kelapa di utara Jakarta ibarat sebuah awal dan akhir, tergantung bagi siapa yang mengalaminya. Pelabuhan ini terletak di akhir sebuah Sungai bernama Ciliwung dan menjadi awal perjalanan dan penjelajahan lintas samudera. Kejatuhannya ke tangan pasukan gabungan Demak Cirebon pimpinan Fatahillah pada 22 Juni 1527 menjadi awal cikal bakal berkembangnya sebuah kota metropolitan yang berganti nama dari Sunda Kalapa, menjadi Jayakarta, lantas Batavia sebelum kita kenal menjadi Jakarta.
Di sisi lain, kejatuhannya adalah akhir dari penguasaan terhadap pelabuhan dagang oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran. Prosesnya meliputi peran banyak pihak, termasuk Kerajaan Pakuan Pajajaran, Portugis, Demak, Cirebon dan Banten. Penyebabnya macam-macam, antara kepentingan dagang, keamanan, perluasan wilayah dan penaklukkan serta penyebaran agama. Setelah abai dan nyaris buta sejarah selama berbelas tahun, saya menemukan keasyikan baru untuk membaca dan mempelajari narasi sejarah. Dari berbagai penelusuran literatur, seringkali kepingan narasinya bikin terkejut, karena ternyata saling berhubungan. Misalnya, saya baru tahu kalau Pangeran Cakrabuana dari Cirebon, ternyata adalah Walasungsang, putera pertama Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari istrinya bernama Subanglarang. Saya juga baru tahu kalau Syarif Hidayatullah ternyata adalah cucu Prabu Siliwangi. Ini hasil pernikahan Nyai Larasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Atau Fatahillah ternyata menantu, baik dari Sunan Gunung Jati (Cirebon) dan Raden Patah (Demak). Tulisan ini bermaksud untuk menyederhanakan berbagai literatur yang dibaca mengenai Kerajaan Pakuan Pajajaran. Terutama untuk kaitannya dengan Cirebon, Demak, Portugis dan perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa. (di berbagai literatur menyebutkan “Kalapa”, tetapi karena yang dimaksud “Kalapa” sama dengan “Kelapa”, saya menggunakan “Kelapa” jika menuliskan Sunda Kelapa dalam tulisan ini).
Meskipun pembahasannya akan dilakukan dalam tiga tulisan, tentu saja tidak semua detilnya bisa dijabarkan dan dibahas di sini. Karena itu, mari sama-sama mencari tahu dan menggali kembali narasi sejarah ini. Referensinya ada di akhir tulisan ini. Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor. Pakuan Pajajaran dan Cirebon: Kisah Dua Putra Mahkota Kerajaan Pakuan Pajajaran, kerajaan berumur 222 tahun (1357-1579), diduga berpusat di Batutulis, Bogor sejak masa pemerintahan Prabu Siliwangi selama hampir 4 dasawarsa (1482-1521). Pada masa itu, tokoh-tokoh raja maupun adipati atau panglima memiliki banyak nama dan gelar. Karenanya kadang membingungkan. Misalnya, Prabu Siliwangi. Beliau juga dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata (Saleh Danasasmita, 2003, hal 40, 2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).
Untuk konsistensi, tulisan ini selanjutnya akan menggunakan nama Prabu Siliwangi. Lebih jauh tentang Prabu Siliwangi, silahkan melihat tulisan: Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi) Jejak kebesaran Prabu Siliwangi dituliskan oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), puteranya yang menggantikan beliau, dalam Prasasti Batutulis, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1533. Dan disinilah cabangan yang menarik untuk disimak. Prabu Surawisesa, Putra Mayang Sunda Prabu Surawisesa (1521-1535) adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Mayang Sunda. Kisahnya disebut dan dipuji dalam Carita Parahiyangan. Bagaimana tidak? Selama 14 tahun memerintah, Prabu Surawisesa harus menghadapi 15 kali pertempuran!. Parit pelindung kerajaan Pakuan Pajajaran yang dibangun dengan kebijaksanaan memanfaatkan bentang alam, sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke kerajaan,hingga saat terakhir kerajaan besar ini runtuh diserang Banten pada tahun 1579.
Prabu Surawisesa juga disebutkan dalam dokumen Portugis dan Negara Kretabhumi. Ia diutus ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk menemui Alfonso d’Albuquerque di Malaka, di mana ia disebut sebagai Ratu Sangiang. Beliau mengunjungi Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521. Kunjungan pertama adalah sebagai penjajakan terhadap pihak Portugis dengan 4 buah kapal, yang nantinya akan diikuti oleh Tome Pires (1513). Kunjungan kedua menghasilkan kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke ibu kota Pakuan yang berjarak “dua hari berjalan kaki dari Kalapa”. Kunjungan ini menghasilkan perjanjian dagang dan keamanan yang menurut Soekanto (1956), ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Ini adalah perjanjian internasional pertama di nusantara. Kita tinggalkan sejenak peran Portugis di sini, yang akan dibahas dalam tulisan lain.
Kita akan kembali ke pangeran di Cirebon yang juga merupakan putera Prabu Siliwangi. Putra Putri Subanglarang Naskah Purwaka Caruban menyebutkan Prabu Siliwangi menikahi Subanglarang di Singapura pada tahun 1522 (hal 79). Dari Subanglarang, beliau memiliki tiga orang anak: Walasungsang (Pangeran Cakrabuana): lahir 1423 Larasantang: lahir 1426 (perempuan) Rajasangara: lahir 1428 Subanglarang meninggal di Pakuan pada 1441. Setahun setelahnya (1442), Walasungsang meninggalkan istana, diperkirakan pada umur 19 tahun. Kepergiannya diikuti juga oleh adiknya, Larasantang. Berbagai literatur menyebutkan bahwa permaisuri Subanglarang dan para puteranya menganut agama Islam. Keputusan para pangeran ini meninggalkan istana Pakuan Pajajaran disebutkan karena mereka menolak agama yang dianut ayahnya (Prabu Siliwangi), dan ingin belajar lebih dalam tentang agama Islam.
Prabu Siliwangi juga disebutkan tidak menentang atau menolak agama yang relatif baru dikenal di kerajaannya tersebut. Danasasmita (2014) menyebutkan bahwa Cirebon adalah daerah warisan Walasungsang dari Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang. Walansungsangyang dikenal juga sebagai Pangeran Cakrabuana telah dinobatkan oleh Prabu Siliwangi sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Belakangan, terjadi ketegangan-ketegangan antara kerajaan Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Selain itu, tekanan perluasan wilayah dari Demak dan Banten serta penyebaran agama Islam, menjadi salah satu pemicu alasan Prabu Siliwangi untuk mengutus puteranya, Prabu Surawisesa menemui Portugis. Dari sini terjadilah perjanjian dagang dan keamanan antara dua belah pihak. Perjanjian ini membuat Sultan Trenggana (1504-1546) dari Demak sangat gelisah. Kegelisahan Sultan Trenggana yang masa hidupnya sezaman dengan Prabu Surawisesa ini sangat beralasan. Jika Portugis menguasai Selat Malaka dan Pakuan Pajajaran menguasai Selat Sunda, dibantu oleh Portugis, maka nasib Demak yang bergantung pada perdagangan laut sama saja dengan di ujung tanduk. Karena itu hal ini perlu strategi perlawanan.
Perebutan Sunda Kelapa: Awal Ketegangan
(Di Proceeding Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, 11-13 November 1991, hal 38, 151. Tulisan ke-dua dari tiga tulisan.)
Ada dua jenis musuh. Musuh ganyal (nyata) dan musuh alit (halus). Musuh ganyal kelihatan dan mudah dilawan. Sebaliknya, musuh alit tidak kelihatan, berbentuk ideologi baru, cuma bisa diatasi dengan cara meningkatkan kecerdasan rakyat” Prabu Siliwangi (1482-1521), Carita Parahyangan.
Tulisan “Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran dari Dua Permaisuri” telah membahas sekilas tentang para pangeran dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini sebagai sedikit latar belakang untuk menunjukkan cikal bakal ketegangan yang terjadi pada masa itu, yang nantinya akan berujung pada perebutan pelabuhan Sunda Kelapa. Ketegangan Pakuan Pajajaran dan Cirebon Kita kembali sejenak kepada Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana di Cirebon. Beliau adalah putera Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari permaisurinya yang bernama Subanglarang. Literatur menyebutkan Subanglarang dan anak-anaknya memeluk agama Islam. Pangeran Walasungsang kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Cirebon. Ini disebut sebagai kerajaan Islam pertama di wilayah kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran.
Prabu Siliwangi, menurut berbagai literatur, tidaklah menentang agama yang dipeluk istri dan anak-anaknya itu, serta juga tidak menolak berdirinya kerajaan Islam. Prabu Siliwangi menobatkan Pangeran Walasungsang sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Meskipun, tentu saja, kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana reaksi sesungguhnya Prabu Siliwangi pada saat itu. Walasungsang dan adiknya, Nyai Larasantang naik haji ke Mekkah selama dua tahun. Nyai Larasantang mendapat gelar Syarifah Mudha’im dan Walasungsang gelar Abdullah Iman setelah naik haji. Di sanalah, Nyai Larasantang bertemu dan menikah dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Mereka memiliki seorang anak bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 m (Tjandrasasmita, 2009, hal 161). Ini bagian yang selama ini luput dari perhatian saya. Dengan kata lain, Syarif Hidayatullah merupakan cucu dari Prabu Siliwangi!.
Naskah Nagara Kretabhumi memberitakan pada tahun 1404 Saka (kurang jelas tahun berapa dalam masehi), Syarif Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang biasanya dan seharusnya dikirimkan ke kerajaan Pakuan Pajajaran setiap tahunnya. Lalu, Cirebon juga meminta bantuan pasukan angkatan laut Demak yang tangguh untuk berada di Cirebon. Hal ini tujuannya sebagai antisipasi jika Pasukan Pakuan Pajajaran menyerang. Syarif Hidayatullah adalah penguasa di Cirebon saat itu. Tetapi, kita dengan segera dapat mengetahui bahwa beliau memiliki dukungan penuh Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang, yang juga dikenal sebagai Haji Abdullah Iman setelah naik haji. Prabu Siliwangi mengirimkan Tumenggung Jagabaya dengan 60 anggota pasukannya ke Cirebon. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa ada pasukan Demak di sana. Jagabaya dan pasukannya disergap oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon. Ia lalu diberitakan masuk Islam.
Ketika Prabu Siliwangi belakangan mendengar tentang hal ini, beliau sangat marah. Beliau segera mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Cirebon. Namun hal ini akhirnya dapat dicegah karena peran Ki Purwa Galih, pendeta tertinggi kerajaan (purohita). Alasan lain batalnya penyerangan itu, bisa jadi karena Prabu Siliwangi masih mempertimbangkan keberadaan putera dan cucunya di Cirebon. Kuat di Darat, Lemah di Laut Meskipun demikian, Prabu Siliwangi tetap gelisah dengan adanya persekutuan Demak dan Cirebon serta mulai memikirkan langkah-langkah antisipasi. Sesungguhnya, kerajaan Pakuan Pajajaran adalah kerajaan kuat, terutama di darat. Portugis menuliskan setidaknya kerajaan ini memiliki 100.000 prajurit dan raja sendiri memiliki 40 ekor pasukan gajah. Namun, Pakuan Pajajaran tidaklah sekuat itu laut. Kerajaan ini hanya memiliki 6 junk dan lankaras yang tujuannya lebih kepada perdagangan antar pulau. Pada jaman itu, kerajaan ini memiliki pelabuhan dagang di Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Karawang, Cimanuk dan pelabuhan internasional Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa digunakan untuk mengekspor lada dan beras ke negara-negara sahabatnya (Sunarto H & Viviane Sukanda Tessier, 1983, hal 15-16).
Cirebon sebenarnya tidaklah terlalu kuat dalam angkatan laut, tapi cukup terbantu dengan persekutuannya dengan Demak yang memiliki angkatan laut yang tangguh di masanya. Hal inilah yang tampaknya mendorong Prabu Siliwangi mengutus puteranya, Prabu Surawisesa untuk menemui utusan Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1521. Pertemuan ini belakangan menghasilkan perjanjian internasional pertama di Nusantara. Tugu peringatan Padrao ditanam di pantai sebagai tanda peringatan perjanjian. Dari berbagai literatur, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Prabu Siliwangi beranggapan angkatan laut dan peralatan Portugis setidaknya dapat menahan, bahkan mengalahkan, serangan laut dari Demak Cirebon. Di masa Prabu Siliwangi, literatur tidak menyebutkan adanya perang antara Cirebon dan Pakuan Pajajaran.
Dugaannya adalah karena masih ada rasa hormat dan kesungkanan para putera Prabu Siliwangi di Cirebon. Ketika Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521, situasinya menjadi amat berbeda. Kesungkanan telah lenyap. Kedua kerajaan ini menjadi sejajar dan mulai saling berhadapan. Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah dengan dukungan Pangeran Walasungsang, Pakuan Pajajaran dipimpin oleh pangerannya, yaitu Prabu Surawisesa. Kedua pangeran ini satu ayah dari ibu yang berbeda. Subanglarang adalah ibu dari Walasungsang, Larasantang dan Rajasangara. Sedangkan Mayang Sunda adalah ibu Prabu Surawisesa. Masa pemerintahan Prabu Surawisesa selama 14 tahun (1521-1535) diguncang 15 kali pertempuran, termasuk pertempuran denan Cirebon selama 5 tahun (hal 85).
Belakangan, tahun 1531, Pakuan Pajajaran dan Cirebon menandatangani perjanjian damai dan menghentikan peperangan. Pada masa damai inilah Prabu Surawisesa memiliki waktu untuk kembali mengurusi negaranya, termasuk membuat Prasasti Batutulis (1533) untuk mengenang kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi. Tapi itu belakangan. Perjanjian damai itu sebelumnya diawali dengan pertempuran alot merebut pelabuhan Sunda Kelapa. Fatahillah, Demak dan Cirebon Ketika Banten berada di bawah kekuasaan Pajajaran, pusat pemerintahannya, termasuk Bupati Pajajaran saat itu berada di Banten Girang, yang sekarang terletak di Kampung Kala Dua dekat Kota Serang (Djajadiningrat, 1983, hal 124).
Sebelum menyerang Sunda Kelapa, strategi Syarif Hidayatullah adalah menyerang dan mengambil alih Banten terlebih dahulu. Strategi ini cukup jitu, karena Pakuan Pajajaran kehilangan salah satu pelabuhan pentingnya. Setiap mendengar tentang Sunda Kelapa, nama Fatahilah selalu ikut disebut. Ini tidak mengherankan, karena Fatahillah ikut merebut, bahkan memimpin serangan atas Banten pada tahun 1525-1526 dan setahun setelahnya (1527), Fatahillah bersama tentaranya dan bantuan Demak, merebut Sunda Kelapa dari Kerajaan Pajajaran dan memporakporandakan Portugis. Fatahillah dikenal juga dengan berbagai nama. Ia juga kerap disebut sebagai Fadhillah Khan, Falatehan atau Ratu Bagus dari Pasei. Ayahnya adalah orang Arab dari Gujarat (India) yang pindah ke Pasei. Belakangan Pasei direbut oleh Portugis pada tahun 1521.
Sepulangnya Fatahillah dari Mekkah ke Jepara, ia disambut oleh Sultan Trenggana dari Demak. Fatahillah jelas membenci Portugis karena mereka menghancurkan pangkalan dan jaringan niaga orang Gujarat. Tahun 1526/1527, pasukan Demak yang dipimpin panglima Fatahillah berhasil mencegah pelaut Portugis mendarat di Kalapa. Karena jaringan pedagang Gujarat sudah cukup lama berada di Kalapa, maka mudah saja bagi Fatahillah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kota ini. Ancaman Demak terhadap Pakuan Pajajaran tampak jelas dengan diambil alihnya Cirebon, Japura dan Losari ke dalam kekuasaan Demak.
Hubungan ini diperkokoh lagi dengan ikatan perkawinan. Fatahillah adalah menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Ia menikahi Ratu Ayu, anak perempuan beliau. Selain itu, Fatahillah juga merupakan menantu dari Raden Patah dari Demak, karena ia menikahi Ratu Nyawa. Ratu Nyawa adalah janda dari Bratakelana, anak laki-laki Sunan Gunung Jati. Dari penjelasan ini, kita bisa melihat bagaimana ikatan perkawinan pada saat itu dapat memperkuat kekuasaan dan kerjasama kerajaan. Pati Unus, ipar Sultan Trenggana (1504-1546), pada tahun 1513 (tahun kedatangan Tome Pires ke Kerajaan Pakuan Pajajaran) sudah dua kali gagal menghalau Portugis dari Malaka. Karenanya beliau menyambut gembira Fatahillah yang diharapkan dapat membantunya mencegah Portugis membangun pangkalan kuat di pantai Jawa Barat bersama Kerajaan Pakuan Pajajaran. Adanya hubungan antara Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Portugis tentu saja membuat Demak gusar. Koalisi terbentuk antara Demak, Cirebon dan belakangan, Banten, setelah berhasil dikuasai Demak Cirebon. Tulisan lanjutannya dapat dilihat di: Perebutan Sunda Kelapa: Pertarungan Dua Koalisi (Bag. 3)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diella/perebutan-sunda-kelapa-awal-ketegangan-bagian-2_5946e641ff24053f613c1602
Tulisan terkait:
Jejak Prabu Siliwangi: Mencari Parit Pakuan Pajajaran Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi Referensi: Danasasmita, 2014,
Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat Utama, Bandung Danasasmita, 2014,
Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama Bandung Danasasmita, 2014,
Menelukan Kerajaan Sunda, Kiblat Utama Bandung Danasasmita, 2003,
Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama Bandung Dienaputra, R. D. (2012).
Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak. Heuken, 2016,
Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Cipta Loka Caraka Hidayat, M. R. (2017).
Cirebon di bawah kekuasaan Mataram Tahun 1613-1705: Kajian historis mengenai hubungan politik, sosial dan agama (Bachelor’s thesis). Hidayat, 2008,
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Sundaislam Laffan, M. (2016).
Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. Lubis, H. N. H. (2016).
Kerajaan Sunda. Abstrak. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017,
Tirto.co.id Muljana, S. (2005).
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. Mumuh Muhsin, Z. (2012).
Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak. Syafi’ie, K. A., & Asli, U. P. L. Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional. Tjandrasasmita,2009,
Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diella/perebutan-sunda-kelapa-kisah-para-pangeran-pakuan-pajajaran-bag-1_5942ad191b578f57e57c0392
[…] Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran … […]