Tinggalkan komentar

Tantangan Pendidikan Moral (Pemberadaban) Manusia Modern

Gambar terkaitTantangan terberat bagi kita para orang tua dan para guru sejati dalam mendidik atau tepatnya “memberadabkan (Ta’dib) generasi muda –khususnya anak kita sendiri– adalah membentengi jiwanya dari hegemoni individualisme-egoistik humanisme anthroposentrik liberal dalam materialisme-modernisme ala Barat dalam dunia lembaga pendidikan formal dan informal, maupun media massa elektronik dan lingkungan pergaulannya (peer grup). Karena semua ini justru malah menghancurkan otoritas pembimbingan, pendidikan dan pemberadaban dari para orang tua, ulama dan para guru tradisional suci yang luhur-mulia, yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah dan akhlakul karimah (budhi pekerti). Inikah “Generation Gaps”? , atau dalam bahasa KH Abdul Azis Tempurejo Jember disebut “hilangnya “Sistem Sentral Keberguruan”. Bagaimana menurut amatan, opini dan analisa para sahabat ? Mari berdiskusi dan bertukar & berbagi pengalaman dan wawasan. (AYS, Maret 2017)

Apa yang menjadi gagasan pemikiran sosiolog modern ini belum tentu benar semuanya. Terutama ketika ia memandang rendah (melecehkan) otoritas tradisonal suci/sakral dan otoritas kharismatis sebagai tidak rasional dan tidak ilmiah. Ini juga tantangan besar buat Nahdatul Ulama (NU), serta para Budayawan-Spiritualis. http://juliansyahzen.blogspot.co.id/…/teori-otoritas…

Oleh : M. Iqbal Juliansyahzen

  1. Pengantar

Sosiolog yang mengembangkan teori kepemimpinan atau otoritas adalah Max Weber (1864 – 1920). Ia dilahirkan di Jerman dari sebuah keluarga kelas menegah. Ia pernah menempuh pendidikan di Universitas Heidelberg. Karir akademik Weber semakin meningkat ketika ia diangkat sebagai Professor Ekonomi di Univiersiras Freiburg tahun 1984. Karya monumentalnya yang dijadikan sebagai referensi kajian ilmu pengetahuan sosial modern ialah “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”.[1]

Weber mengembangkan tiga tipe otoritas dalam masyarakat. Pertama, otoritas legal (Legal-Rational Authority) yaitu otoritas yang bersumber dari legalitas atau suatu peraturan tertentu. Kedua, otoritas tradisional (Traditional Authority), yang otoritas yang keabsahannya bertumpu pada adat istiadat. Ketiga, otoritas kharismatis (Charismatic Authority) yaitu otoritas yang keabsahannya bersumber dari kharisma atau kualitas istimewa yang dimiliki oleh seseorang yang diakui oleh orang lain. selebihnya akan dipaparkan berikutnya.[2]

  1. Macam-macam Otoritas

Sebelum mengurai macam-macam otoritas, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari otoritas itu sendiri. Otoritas adalah kemungkinan yang di dalamnya terdapat suatu perintah untuk dipatuhi oleh seseorang atau kelompok tertentu. Karenanya, otoritas merupakan bagian dari suatu relasi kekuasaan sekaligus mengandung unsur perintah dan unsur kontrol.[3]

  1. Otoritas Legal (Legal-Rational Authority)

Otoritas legal merupakan pemberian wewenang atau otoritas yang bersumber dari hukum atau peraturan perundang-undangan. Model otoritas ini cenderung mengutamakan birokrasi (politik dan ekonomi).[4] Model kepemimpinan semacam ini biasanya diterapkan di negara-negara modern atau di kota-kota, badan hukum baik miliki pribadi atau serikat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dalam struktur birokrasi tersebut dipimpinan oleh seseorang yang memiliki kharismatik sehingga hasil atau capaian cukup berbeda dan fleksibel.

  1. Otoritas Traditional

Otoritas tradisional merupakan otoritas yang memiliki keabsahan berdasarkan kesucian/kekudusan suatu tradisi tertentu yang hidup di tengah masyarakat. Sehingga ketika seseorang taat dan patuh terhadap suatu peraturan atau pada suatu struktur otoritas disebabkan karena kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang bersifat kontuinyu.[5]

Hubungan yang terjalin antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahan sejatinya merupakan hubungan pribadi yang cenderung mengarah sebagai bentuk perpanjangan hubungan kekeluargaan. Adanya kesadaran yang penuh antara pemimpin untuk melaksanakan kewajibannya dan bawahan sebagai bentuk kesetiaan dan kecintaan kepada pemimpinan.

  1. Otoritas Kharismatik

Istilah kharisma digambarkan secara sosiologis oleh Weber yaitu sebagai suatu pengakuan oleh para pengikut seorang pemimpin (leader) akan keistimewaannya.[6]Weber kemudian memahami bahwa yang dimaksud dengan otoritas kharismatik sebagai tipe kepemimpinan yang keabsahannya diakui oleh kualitas, keistimewaan, keunggulan. Selain itu, otoritas kharismatik ditemukan pada pemimpin yang mempunyai visi dan misi yang dapat mengispirasi orang.

  1. Relevansi dengan Jenis Hukum

Masing-masing pola kepemimpinan/otoritas di atas memiliki konsekunsi yang beragam terhadap hukum. Jika dicermati, model kepemimpinan yang menggunakan otoritas legal maka hukum yang akan lahir dari proses dinamika tersebut bersifat baku karena kewenangan yang melekat pada pemimpinan tersebut. Jika dikontekskan dengan empat ideal hukum maka, model kepemimpinan dengan otoritas legal-formal akan melahirkan produk hukum yang bercorak hukum rasional dan materiil. Artinya, dimana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci atau legalitas yang menjadikannya sebagai pemimpin.[7]

Adapun jenis hukum yang dihasilkan oleh pemimpin yang menggunakan otoritas tradisional lebih cenderung pada hukum irrasional dan formil. Artinya, pemimpinan yang memproduk suatu hukum berpedoman kepada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu dan ramalan.[8]

Sedangkan jenis hukum yang dihasilkan oleh pemimpin yang menggunakan otoritas kharismatik adalah produk hukum yang dihasilkan cenderung pada hukum irrasional dan materil. Maksudnya, hukum yang dibentuk didasarkan semata-mata pada nilai emosionalnya tanpa menunjuk suatu kaidah apapun.[9]
Daftar Pustaka

Epley, Jennifer L. 2015. “Weber’s Theory of Charismatic Leadership : The Case of Muslim Leader in Contemporary Indonesian Politic” dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 5. No. 7. July 2015.

Hansen, George P. 2001. Max Weber, Charisma, and The Disenchanment of The World (Chapter 8). PA : Xlibris.

Turner, Bryan S. 1998. Weber and Islam, Vol. II. London : Routledge.

Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Terj. TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Williams, Dana. 2003. Max Weber: Traditional, Legal-Rational and Charismatic Authority.Ohio : The University of Akron. 

JULIANSYAHZEN.BLOGSPOT.COM

Pemencaran Otoritas Keagamaan

Oleh: Azyumardi Azra

Abad ke-20 tidak diragukan lagi menampilkan perubahan-perubahan signifikan, berjangka panjang, dan berdampak luas terhadap kehidupan keagamaan Islam Indonesia. Salah satu perubahan besar itu terjadi dalam otoritas keagamaan. Perubahan-perubahan penting dan signifikan dalam bidang ini terus terjadi ketika abad ke-20 berlalu, dan abad ke-21 mulai menapaki sejarahnya.

Perubahan-perubahan dalam otoritas keagamaan Islam ini menjadi tema pokok dalam konferensi final bertajuk ”Dissemination of Religious Authority in 20th Century Indonesia” yang berlangsung di Hotel Salak, Bogor, 7-9 Juli lalu.

Konferensi ini pada dasarnya membahas hasil-hasil proyek penelitian yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir, yang diselenggarakan secara bersama oleh International Institute for Asian Studies (IIAS) Belanda, International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) Belanda, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Konferensi yang menghadirkan lebih dari 12 fellows peneliti yang melakukan penelitian tentang berbagai subjek yang menggambarkan terjadinya perubahan dalam otoritas keagamaan Islam, juga menampilkan sejumlah pakar yang melihat tema tersebut dalam perspektif perbandingan. Di antara pakar tersebut adalah Marc Gaborieau dan Andree Feillard (keduanya dari Prancis), Kees van Dijk, Martin van Bruinessen, Leon Buskens (ketiganya dari Belanda), Abdulkadir Tayob (Afrika Selatan), Mona Abaza (Mesir), Michael Laffan (AS), dan Johan Meuleman (Oxford). Dalam pembahasan, jelas terlihat bahwa penyebaran atau pemencaran otoritas keagamaan dalam Islam mulai meningkat sejak akhir abad ke-19 ketika wacana baru muncul di kalangan Islam di Timur Tengah. Wacana tersebut misalnya mencakup gagasan-gagasan tentang pan-Islamisme vis-a-vis kolonialisme Eropa, kemudian reformisme dan modernisme Islam. Semua gagasan ini segera menemukan momentumnya dengan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia yang pergi ke dan kembali dari Tanah Suci yang selanjutnya berperan besar dalam intensifikasi keislaman di nusantara. Pada saat yang sama sejak awal abad ke-20, semakin banyak mahasiswa yang menuntut ilmu di Timur Tengah; tidak hanya di Makkah dan Madinah, tetapi juga di Kairo, yang semakin mengukuhkan diri sebagai pusat keilmuan Islam. Hasilnya terlihat tidak hanya dengan berdiri semakin banyaknya pesantren –yang dengan kiainya merupakan otoritas tradisional Islam– tetapi juga organisasi-organisasi Islam seperti Jami’at Khair dan Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah modern. Organisasi-organisasi semacam ini memunculkan suatu bentuk kepemimpinan keagamaan baru; mereka pada gilirannya juga menghasilkan lapisan baru kaum Muslim terpelajar yang memiliki keilmuan Islam dan credentials yang relatif berbeda dengan otoritas keagamaan lama. Semua perubahan dan pergeseran ini, tidak bisa lain, memunculkan pergumulan dan kontestasi yang semakin intens untuk mempertahankan otoritas keagamaan masing-masing. Kontestasi yang kemudian melibatkan otoritas keagamaan sejak pertengahan abad ke-20 kian meningkat dengan kemunculan berbagai partai politik yang berbasis Islam. Partai-partai ini tidak hanya berusaha mendapatkan otoritas dalam bidang politik, tetapi juga dalam kehidupan keagamaan dengan melibatkan para kiai atau ulama pada umumnya. Dalam upaya itu, penggunaan simbolisme dan kelembagaan keagamaan semakin meluas pula. Pemencaran otoritas keagamaan itu semakin kompleks dengan kemunculan Departemen Agama sejak masa awal kemerdekaan. Memang, Departemen Agama pada dasarnya hanya mengurus masalah ”administrasi” umat beragama dalam kehidupan sosialnya, tetapi dalam satu dan lain hal, ia turut menyumbang pada kemunculan otoritas keagamaan baru. Berkat posisi resmi sebagai bagian birokrasi negara Indonesia, Departemen Agama memunculkan lembaga-lembaga baru yang pada gilirannya meningkatkan pemencaran otoritas keagamaan. Ini terlihat, misalnya, dari pembentukan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN sejak 1960-an, yang beberapa di antaranya dalam tiga tahun terakhir berubah menjadi UIN. IAIN dan UIN menampilkan sebuah otoritas keagamaan yang berbasis kampus. Dalam masa-masa terakhir jelas terlihat, pemencaran otoritas keagamaan semakin meningkat saja. Perkembangan ini terutama didorong perubahan-perubahan sosial, budaya, dan politik –baik di tingkat nasional maupun internasional– berbarengan dengan perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi. Situasi ini sering mengakibatkan terjadinya anomali dalam otoritas keagamaan, sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif tertentu atas kehidupan keagamaan. Inilah yang perlu diantisipasi Oleh : Azyumardi Azra Abad ke-20 tidak diragukan lagi menampilkan perubahan-perubahan signifikan, berjangka panjang, dan berdampak luas terhadap kehidupan keagamaan Islam Indonesia. Salah satu perubahan besar itu terjadi dalam otoritas keagamaan. Perubahan-perubahan penting dan signifikan dalam bidang ini terus terjadi ketika abad ke-20 berlalu, dan abad ke-21 mulai menapaki sejarahnya. Perubahan-perubahan dalam otoritas keagamaan Islam ini menjadi tema pokok dalam konferensi final bertajuk ”Dissemination of Religious Authority in 20th Century Indonesia” yang berlangsung di Hotel Salak, Bogor, 7-9 Juli lalu. Konferensi ini pada dasarnya membahas hasil-hasil proyek penelitian yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir, yang diselenggarakan secara bersama oleh International Institute for Asian Studies (IIAS) Belanda, International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) Belanda, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Konferensi yang menghadirkan lebih dari 12 fellows peneliti yang melakukan penelitian tentang berbagai subjek yang menggambarkan terjadinya perubahan dalam otoritas keagamaan Islam, juga menampilkan sejumlah pakar yang melihat tema tersebut dalam perspektif perbandingan. Di antara pakar tersebut adalah Marc Gaborieau dan Andree Feillard (keduanya dari Prancis), Kees van Dijk, Martin van Bruinessen, Leon Buskens (ketiganya dari Belanda), Abdulkadir Tayob (Afrika Selatan), Mona Abaza (Mesir), Michael Laffan (AS), dan Johan Meuleman (Oxford). Dalam pembahasan, jelas terlihat bahwa penyebaran atau pemencaran otoritas keagamaan dalam Islam mulai meningkat sejak akhir abad ke-19 ketika wacana baru muncul di kalangan Islam di Timur Tengah. Wacana tersebut misalnya mencakup gagasan-gagasan tentang pan-Islamisme vis-a-vis kolonialisme Eropa, kemudian reformisme dan modernisme Islam. Semua gagasan ini segera menemukan momentumnya dengan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia yang pergi ke dan kembali dari Tanah Suci yang selanjutnya berperan besar dalam intensifikasi keislaman di nusantara. Pada saat yang sama sejak awal abad ke-20, semakin banyak mahasiswa yang menuntut ilmu di Timur Tengah; tidak hanya di Makkah dan Madinah, tetapi juga di Kairo, yang semakin mengukuhkan diri sebagai pusat keilmuan Islam. Hasilnya terlihat tidak hanya dengan berdiri semakin banyaknya pesantren –yang dengan kiainya merupakan otoritas tradisional Islam– tetapi juga organisasi-organisasi Islam seperti Jami’at Khair dan Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah modern. Organisasi-organisasi semacam ini memunculkan suatu bentuk kepemimpinan keagamaan baru; mereka pada gilirannya juga menghasilkan lapisan baru kaum Muslim terpelajar yang memiliki keilmuan Islam dan credentials yang relatif berbeda dengan otoritas keagamaan lama. Semua perubahan dan pergeseran ini, tidak bisa lain, memunculkan pergumulan dan kontestasi yang semakin intens untuk mempertahankan otoritas keagamaan masing-masing. Kontestasi yang kemudian melibatkan otoritas keagamaan sejak pertengahan abad ke-20 kian meningkat dengan kemunculan berbagai partai politik yang berbasis Islam. Partai-partai ini tidak hanya berusaha mendapatkan otoritas dalam bidang politik, tetapi juga dalam kehidupan keagamaan dengan melibatkan para kiai atau ulama pada umumnya. Dalam upaya itu, penggunaan simbolisme dan kelembagaan keagamaan semakin meluas pula. Pemencaran otoritas keagamaan itu semakin kompleks dengan kemunculan Departemen Agama sejak masa awal kemerdekaan. Memang, Departemen Agama pada dasarnya hanya mengurus masalah ”administrasi” umat beragama dalam kehidupan sosialnya, tetapi dalam satu dan lain hal, ia turut menyumbang pada kemunculan otoritas keagamaan baru. Berkat posisi resmi sebagai bagian birokrasi negara Indonesia, Departemen Agama memunculkan lembaga-lembaga baru yang pada gilirannya meningkatkan pemencaran otoritas keagamaan. Ini terlihat, misalnya, dari pembentukan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN sejak 1960-an, yang beberapa di antaranya dalam tiga tahun terakhir berubah menjadi UIN. IAIN dan UIN menampilkan sebuah otoritas keagamaan yang berbasis kampus. Dalam masa-masa terakhir jelas terlihat, pemencaran otoritas keagamaan semakin meningkat saja. Perkembangan ini terutama didorong perubahan-perubahan sosial, budaya, dan politik –baik di tingkat nasional maupun internasional– berbarengan dengan perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi. Situasi ini sering mengakibatkan terjadinya anomali dalam otoritas keagamaan, sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif tertentu atas kehidupan keagamaan. Inilah yang perlu diantisipasi.

 

Sumber:

http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Pemencaran-Otoritas-Keagamaan

** Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India ** ** Situs resmi: http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Situs Beasiswa: http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19 Kamis, 14 Juli 2005

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Atlantis in the Java Sea

A scientific effort to match Plato’s narrative location for Atlantis

Sembrani

Membahas ISU-ISU Penting bagi Anak Bangsa, Berbagi Ide, dan Saling Cinta

Wirdanova

+62811-813-1917

aawanto

The greatest WordPress.com site in all the land!

Covert Geopolitics

Beyond the Smoke & Mirrors

Catatan Harta Amanah Soekarno

as good as possible for as many as possible

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

Kanzunqalam's Blog

AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU

Cahayapelangi

Cakrawala, menapaki kehidupan nusantara & dunia

religiku

hacking the religion

SANGKAN PARANING DUMADI

Just another WordPress.com site

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.

%d blogger menyukai ini: