JK yang Tidak Tulus Bantu Pak Jokowi, Empat Kali Kalah Masih Saja Bermanuver
Masihkah kalian ingat kasus ontran-ontran skandal Freeport. Di mana waktu itu kasus terkait skandal perpanjangan Kontrak Karya PT.Freeport berlangsung cukup lama, bahkan eskalasi kisruh soal skandal Freeport sempat membuat kubu elit terbelah antara kelompok satu dengan kelompok lainnya sehingga menggangu stabilitas politik.
Dan yang menarik ternyata banyak kalangan menduga kisruh tersebut ada peran wapres Jusuf Kalla di belakangnya. Karena dengan berjalanya waktu ternyata keluarga wapres JK diketahui telah melakukan pertemuan dengan boss Freeport McMoran, Jim Bob (Moffet) (JB).
Disamping itu juga terbongkar surat anak emas JK, yakni Menteri ESDM Sudirman Said terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) yang jelas-jelas menyalahi undang-undang. Selain munculnya Izin ekspor konsentrat tembaga yang diloloskan oleh Pemerintah per 25 Januari 2016.
Kemudian ada lagi kasus lainnya yang menyeret nama wapres JK, yakni terkait dwelling time di Pelindo II Tanjung Priok. Dalam skandal di Pelindo II tersebut terungkap ternyata nama wapres JK menjadi beking dirut Pelindo II waktu itu, sehingga kuat dugaan dicopotnya kabareskrim Budi Waseso waktu itu tidak terlepas dari campur tangan JK membela sohibnya sang direktur pelindo II waktu itu.
Kemudian berlajut soal ontran-ontran yang ketiga tentang polemik blok Masela. Kita masih ingat betul bahwa kelompok menteri ESDM, Sudirman Said yang disokong penuh Jusuf Kalla ngotot bahwa kilang gas Blok Masela harus di dibangun di tengah laut (OffShore), walaupun ujung-ujung Presiden Jokowi dengan pertimbangan Pasal 33 UUD 1945 dan agenda Nawacita akhirnya kilang Gas Blok Masela dibangun di Darat (Onshore). Kemudian ontran-ontran yang terakhir adalah soal Munaslub Partai Golkar 15-17 Mei 2016.
Lagi-lagi nama Jusuf Kalla masuk dalam arena gelanggang pertarungan politik elit kekuasaan di negeri ini. Santer terdengar kabar bahwa Jusuf Kalla menjadi beking penuh Ade Komaruddin untuk menjadi ketua umum Partai Golkar. Namun sial bagi Wapres JK, lagi-lagi ambisi dan permainannya gagal total, pasalnya Munaslub Partai Golkar akhirnya di menangkan kubu Luhut Pandjaitan yang menjagokan Setyo Novanto.
Empat ontran-ontran di atas yang menyeret Nama Wapres JK sepertinya masih belum akan berhenti sampai Munaslub Partai Golkar kemaren. Faktanya ada aroma yang cukup kuat jika manuver Wapres JK hari ini mulai bergeser dari pola pertarungan soal politis dan project bergeser ke pengkondisiian soal kebijakan ekonomi. Kali ini sepertinya Wapres JK menggunakan sohib dan sekaligus orang-orangnya yang lain di kabinet Jokowi. Yakni menko perekonomian Darmin Nasution beserta tim ekonomi lainnya.
Manuver ini tercium setelah empat ontran-ontran di atas membuat kalah telak kubu JK. Pertemuan dengan bungkus Satuan Tugas (Satgas) Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi pada Selasa, 28 Juni 2016 kemaren terlihat jelas kelompok wapres JK sangat mendominasi forum tersebut.
Bahkan dalam acara tersebut Presiden Jokowi tidak hadir dalam pertemuan tersebut, entah kebetulan atau tidak, faktanya presiden Jokowi waktu itu tidak sedang kemana-kemana, bahkan keluar negeripun tidak. Tentu ini menjadi tanda Tanya besar? Kenapa Presiden Jokowi Tidak hadir?.
Aroma persaingan antara kubu Jokowi dan kubu JK sepertinya akan kembali memanas. Barangkali untuk kedepan kebijakan-kebijakan ekonomi yang sekarang telah diambil alih kubu JK akan menjadi senjata mengkontrol eskalasi politik dalam negeri dan mengontrol pemerintahan Jokowi itu sendiri. Untuk itu presiden Jokowi harus kembali berhati-hati dengan manuver wapres JK beserta sohib-sohibnya.
Karena dengan mengendalikan kebijakan ekonomi bisa saja kubu JK mulai membuat skenario ulang peran-peran yang sejatinya sudah lemah dan akan kembali bangkit. Fakta bahwa berbagai kebijakan ekonomi selama ini yang di komandoi sohib-sohib JK seperti Darmin Nasution terbukti Gagal Total. Jangankan berpengaruh terhadap rakyat kecil, terhadap situasi kondisi nasional saja gejolak ekonomi justru semakin tidak karuan.
Sebenarnya kondisi perekonomian seperti ini sangat rawan terjadi gejolak sosial politik. Entah apakah ini tinggal menunggu momentum atau bagaimana?, yang jelas JK kemaren tergelincir omongan atau sengaja mengatakan jika tiga bulan yang akan datang kondisi perekonomian akan tambah terpuruk. Bak nada mengancam presiden Jokowi, JK melontarkan statement itu sambil mengambil peran penuh kendali kebijakan perekonomian. Jelas hal ini perlu di waspadai manuver-manuver ala JK itu.
Mungkinkah bagi JK perjalanan Jokowi ini sudah setengah periode berjalan sehingga perlu manuver ekstra keras untuk mengambil peran Jokowi, sepertinya masuk akal, dengan melihat gaya kepemimpinan JK sebelumnya waktu bergandengan dengan SBY yang kerap sekali melakukan OFF Side tugas dan fungsi sebagai wapres.
Namun mengambil peran presiden Jokowi apalagi dengan cara-cara inkonstitusional apakah dengan semudah itu, sepertinya JK perlu berfikir ulang dan mengurungkan niat-niat itu jika benar. Pasalnya berbagai rentetan kekalahan telak yang di terima JK beserta Kubunya dalam berbagai pertarungan sebelumnya membuktikan bahwa presiden Jokowi politisi cerdas dan lembut yang mampu melakukan zig zag politik melemahkan dan menggagalkan manuver-manuver sang wapres tersebut.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/…/jk-yang-tidak-tulus-bantu-pak-j…
Mengapa Jokowi Tidak Hadir di Pelantikan Satgas Ekonomi?
29 Juni 2016 13:01:29 Diperbarui: 30 Juni 2016 21:35:19 Dibaca : 163,778 Komentar : Nilai : 25
Presiden Joko Widodo mengunjungi Kampung Karamat, Kelurahan Panaragan, Kota Bogor meninjau pembagian sembako untuk warga, Selasa (28/6/2016).
Sembako yang dibagikan kepada warga berupa beras, gula, minyak goreng dan teh kemasan.. (Warta Kota/alex suban).
Diambil dari: tribunnews.com Dua Jenis Paket di Hari Selasa yang Aneh Hari Selasa (28/6) kemarin adalah hari yang aneh. Kenapa aneh? Sejak Senin malamnya (27/6) seluruh media massa mainstream memberitakan, bahwa Presiden Jokowi pada Selasa pagi akan hadir di Kantor Kemenko Perekonomian dalam peresmian satgas-satgas untuk paket kebijakan ekonomi. C
ontohnya adalah berita-berita di bawah ini: Contoh 1 – Contoh 2 – Contoh 3 Bahkan hingga Selasa pagi, media-media tetap tidak berhenti memberitakan rencana kehadiran Presiden untuk meresmikan satgas-satgas paket kebijakan ekonomi bentukan dari Menko Perekonomian Darmin Nasution tersebut:
Beritasatu.com dan Media indonesia Namun, sungguh disesalkan. Ternyata Presiden Jokowi batal hadir dan digantikan oleh Wapres Jusuf Kalla untuk meresmikan satgas tersebut. Berita di bawah ini, mungkin masih sulit menerima kenyataan ketidak hadiran Presiden, meski tetap memajang foto Presiden Jokowi dan didalam isi pemberitaannya adalah tentang pernyataan Wapres Jusuf Kalla: Tempo.com Berita lainnya tampak lebih legowo dan mengambil posisi lebih bijak, untuk jujur pada kenyataan: Tribunnews.com – finansial.bisnis.com Mungkin hanya sedikit publik yang mencermati keanehan ini, yaitu saat semua media dibuat “kecele” oleh Presiden di hari Selasa pagi. Untuk itulah tulisan ini dibuat, mengabarkannya.
Namun bagian yang terpenting bukanlah hal-hal tersebut di atas. Sore harinya, setelah melakukan serangkaian kegiatan di Istana Negara, Presiden pulang ke Kota Bogor sembari mendadak menyempatkan diri blusukan untuk membagikan langsung sembako kepada masyarakat di sana: news.metrotvnews.com – Beritasatu Jadi bila disimpulkan: pada hari Selasa tersebut, pagi harinya Jokowi “menolak” hadir di acara resmi kenegaraan yang bertujuan untuk pembentukan satgas untuk mengevaluasi 12 “paket” kebijakan ekonomi pemerintah, namun sore harinya secara mendadak membagikan ribuan “paket” sembako untuk sedikir meringankan beban ekonomi rakyat.
Seolah, ya, seolah Jokowi yang tak berpendidikan ekonomi hendak mengajarkan dari Kota Bogor kepada para ekonom sekolahan yang berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, bahwa daripada menyibukkan diri dengan “paket-paket” kebijakan yang tidak nendang sama sekali untuk kesejahteraan rakyat, lebih baik kita blusukan memberikan “paket-paket” yang memang jelas membantu meringankan daya beli rakyat. Diambil dari: Kompas.com Hampir 2 Tahun Pemerintahan, Kartel Pangan tetap Tidak Tersentuh Presiden Jokowi sangat tegas menginginkan membaiknya daya beli masyarakat, terutama saat menyambut Hari Lebaran. Setidaknya dalam sebulan ini, sudah tiga kali Presiden meminta para pejabat di bidang ekonomi untuk menurunkan harga daging sapi dari kisaran Rp 120 ribu ke kisaran Rp 80 ribu .
Pertama adalah pada 23 Mei 2016: tempo.com Kedua adalah sehari setelah Hari Kelahiran Bung Karno 6 Juni: pikiran-rakyat.com Ketiga adalah pada hari kelahirannya 21 Juni. Pada kesempatan ini Presiden Jokowi sedikit memberikan “petunjuk” tentang disparitas harga yang keterlaluan di dalam dan luar negeri: m.tempo.com Walau sebenarnya keinginan Presiden Jokowi ini sudah diutarakannya sejak April 2016 agar para menteri ekonominya dapat bersiap dari jauh hari untuk menurunkan harga daging sapi: detik.com Dan nyatanya hingga kini seminggu menjelang Lebaran, harga daging sapi masih bertengger di atas kisaran Rp 120 ribu, kira-kira 100% lebih mahal dari harga di negara tetangga.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sudah berulang-ulang memperingatkan, bahwa terdapat kartel dalam sistem kuota impor daging sapi, hanya peringatan tersebut bagaikan gonggongan anjing yang tidak dihiraukan si khafilah… Jokowi pantas kecewa, karena ternyata para pejabat pembantunya di bidang ekonomi tidak mampu mewujudkan janji politiknya pada Pilpres 2014, sejak hampir 2 tahun yang lalu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan memberantas kartel impor pangan: Kompas.com – kabar24.com Padahal selama hampir 2 tahun
Pemerintahan ini sudah dua nama Menteri Koordinator Perekonomian dicoba Jokowi: Sofyan Djalil dan Darmin Nasution. Namun, tidak satupun dari mereka yang sanggup memenuhi janji kampanye Jokowi di Pilpres 2014. Kudeta Merangkak lewat Sektor Ekonomi Wajar bila kemudian publik berspekulasi. Jangan-jangan yang sedang kasat mata terjadi di pemerintahan sekarang ini adalah suatu kudeta merangkak (creeping coup), mirip yang dilakukan oleh Suharto pada Bung Karno 49 tahun lalu. (baca: selengkapnya).
Dulu Suharto memanipulasi G 30 S untuk habisi saingannya sesama Jenderal AD, kambing hitamkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang, meminta Supersemar dari Bung Karno untuk kemudian digunakan Suharto menghabisi sisa kekuatan politik pendukung Bung Karno, baru menjatuhkan Bung Karno di MPR yang mayoritas anggotanya adalah pendukung Suharto. Kurang dari 2 tahun kudeta ini sukses, Suharto pun naik menjadi Presiden.
Mungkin kini alur dan sistematikanya agak berbeda. Sejak awal Jusuf Kalla (JK) tidak percaya dengan kualitas Jokowi untuk naik sebagai Presiden, tapi karena rakyat Indonesia menginginkan Jokowi sebagai Presiden, JK mengalah untuk mendampinginya sebagai wakil presiden dan kemudian terpilih.
Setelah naik menjadi Wapres, JK terus merancang strategi agar pemerintahan Jokowi tidak bertahan lama. Karena JK bukanlah militer dan era kudeta militer sudah berlalu, dan juga karena Jokowi sangat sulit dijatuhkan lewat perkara korupsi karena integritasnya, maka disusunlah strategi untuk melakukan deligitimasi di sektor ekonomi. Bila ekonomi (daya beli) rakyat terus memburuk, sementara secara fiskal dan moneter juga kedodoran, maka krisis ekonomi sudah di depan mata, yang dapat berkembang menjadi krisis politik yang berujung pada pemakzulan Jokowi di akhir tahun ke-2 nya.
Inilah alasannya sejak awal JK meminta jatah menko perekonomian, dipilihlah Sofyan Djalil yang tidak kompeten dalam hal makroekonomi. Jokowi menggugat kualitas Sofyan Djalil setelah 1 tahun pemerintahan, meminta dilakukan reshuffle. JK kemudian menyodorkan Darmin Nasution, birokrat yang sedikit mengerti makroekonomi namun tidak memiliki kepemimpinan, lamban, dan tidak mampu melakukan terobosan sebagai ganti Sofyan Djalil. Dan di bawah Darmin situasi ekonomi bahkan menjadi lebih buruk.
Beberapa indikator seperti peringkat surat utang dari lembaga rating tidak membaik sejak masa Sofyan Djalil hingga Darmin Nasution, tetap BB+. Pertumbuhan ekonomi malah lebih buruk di era Darmin (turun hingga 4,9%), karena di era Sofyan Djalil masih di kisaran 5%. Di sisi fiskal, karena tidak tercapainya penerimaan pajak dan defisit yang membengkak, per APBN Perubahan 2016 saja sudah terjadi pemotongan anggaran sebesar Rp 70 triliun, yang menyebabkan beberapa proyek infrastruktur andalan Jokowi harus mangkrak.
Sementara ekspektasi terhadap tax amnesty dan repatriasi modal terlalu berlebihan (tidak rasional), walaupun ini adalah kesalahan perhitungan Menkeu Bambang Brodjonegoro, tapi Darmin sebagai atasannya tetap harus mengambil tanggung jawab. Atas kesalahan ini, pada semester ke-II 2016 dimungkinkan kembali terjadi pemotongan anggaran hingga Rp 100 triliun.
Yang paling mengkhawatirkan di era Darmin adalah pertumbuhan kredit, yang sejak Januari hingga Mei 2016 pertumbuhannya hanya 0,3% (padahal dalam situasi ekonomi yang normal, pertumbuhan kredit berada di kisaran 6-7%, dan dalam situasi yang baik bahkan dapat mencapai 10-14%). Artinya, bila kredit hampir tidak bertumbuh, adalah masyarakat sudah tidak punya daya beli. Sementara pertumbuhan deposito hanya di kisaran 2%, padahal dalam situasi ekonomi yang normal dapat berada di kisaran 7-10%. Artinya masyarakat juga tidak memiliki kelebihan uang yang dapat ditabung.
Bila koreksi fiskal berkombinasi dengan kontraksi moneter, pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-II dapat turun ke 4,7%, dan kuartal ke –III bahkan dapat jatuh hingga 4,5%. Bila ini yang terjadi, bukan tidak mungkin di penghujung tahun kita berhadapan dengan resesi ekonomi. Presiden Jokowi mungkin sudah sadar dengan strategi sabotase ekonomi berujung pemakzulan yang sedang dilancarkan JK. Kita harus berterima kasih untuk insting politik Jokowi yang terkenal tajam.
Maka, kembali pada tema Selasa kemarin yang aneh, ternyata sekarang menjadi tidak aneh lagi bila Presiden menghindar saat diminta Darmin meresmikan satgas paket kebijakan di lapangan banteng, dan malah menyerahkannya ke JK. Presiden seolah ingin tunjukkan juga kepada publik siapa yang sebenarnya bertanggung jawab di belakang kegagalan Darmin. ***
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/muhammadruslan/mengapa-jokowi-tidak-hadir-di-pelantikan-satgas-ekonomi_57736437957a61a60ce53077