

NUSANTARANEWS.CO – Prof Dr H. Mochtar Pabottingi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan bahwa setiap upaya penguasaan dan ekplorasi SDA di Nusantara yang merugikan rakyat adalah sebuah perilaku pengkhianatan yang harus dilawan. Misalnya Blok Mahakam yang masih memiliki cadangan gas sekitar 12,5 tcf. Di mana dengan potensi cadangan tersebut Blok Mahakam bisa menjadi sumber devisa dengan pendapatan 187 milliar dolar Amerika atau setara Rp 1.700 trilyun. Tapi faktanya, semua prediksi angka itu justru menjadi santapan lezat pihak asing.
Sudah waktunya pemerintah Indonesia bersikap tegas untuk mengatur ulang bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia dengan pihak asing secara lebih transparan dan saling menguntungkan. Seperti kontrak kerja sama (KKS) Pengelolaan Blok Mahakam yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation dari Jepang pada 31 Maret 1967 yang seharusnya berakhir pada 31 Maret 1997 tiba-tiba sudah diperpanjang lagi hingga 31 Maret 2017. (Baca juga: Mengenang “Gold Mountain” Ersberg).
Hampir semua sektor migas dan minerba di Bumi Nusantara baik, di wilayah barat hingga kawasan timur, di pulau-pulau besar, kepulauan-kepulauan kecil hingga di laut lepas sudah dikuasai oleh perusahaan asing. Disadari atau tidak, keberadaan perusahaan-perusahaan asing tersebut kini telah sampai pada taraf “mengancam” kedaulatan Indonesia. Dari total 276 blok migas yang ada, 70% sudah dikuasai dan dikelola oleh kontraktor asing. Bila dengan bahasa geopolitik, saat ini paling sedikit sudah ada 276 pangkalan militer asing yang tersebar di Bumi Nusantara.
Sekedar informasi, berikut daftar beberapa perusahan migas asing yang beroperasi di Indonesia; Chevron (AS), CNOOC (China), Chonoco Phillips (AS), ENI (Italia), KUFPEC (Kuwait), Exxon Mobil (AS), sedangkan kontraktor kerja sama yang terkenal antara lain TOTAL E&P Indonesie. Perusahaan asing lainnya yang juga beroperasi di Indonesia antara lain; Premiere Oil, Marathon Oil, Huskyenergy, Talisman, Amerada Hess, BP Indonesia,Anadarko, Asia Energi, Citic Seram Energy Limited, Fairfield Indonesia, Hess, Inaparol PTE.LTD, Inpex Corp,Japan Petroleum, Petro China, Kondur Petroleum, Kodeco Energy, Korea National Oil Corporation, Kalrez Petroleum, Lundin BV, Nation Petroleum, Petronas Carigali, Pearl Eenergy, Permintracer Petroleum, Santos PTY, Sanyen dan Oil 7 GAS. (AS/ER)
Artikel terkait:
80% Lahan Migas Indonesia Sudah Dimiliki Asing.
Blok Cepu dan Nasib Pertamina.
Indonesia Sudah Ketergantungan Import Minyak Sebesar 1,8 Juta Bph.
Pemerintah Perlu Visi dalam Mengelola Pertambangan
NUSANTARANEWS.CO – Di mata dunia, Indonesia adalah sebuah negara yang paling aman, tidak ada keributan. Inilah modal dasar yang paling berharga bagi Indonesia. Tidak ada tembak-menembak. Tidak ada perang sipil, bila ada konflik, pun tidak seperti di kawasan Eropa Tenggara dan Timur, Afrika Barat atau Timur Tengah. Faktor keamanan lokasi inilah yang menjadi tujuan utama investasi.
Dewasa ini sadarkah rakyat Indonesia bahwa 80 persen lahan migas yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sudah bukan milik bangsa Indonesia. Bahasa sederhananya mereka yang mengelola ladang minyak itulah yang punya hak untuk ekspor. Yang krusial adalah undang-undangnya bahwa hasil yang dikeluarkan oleh bumi Indonesia harus digunakan di dalam negeri – di klausulnya tidak ada. Di dalam konsensinya juga tidak. Sekarang ladang migas Indonesia sudah di zonakan. Indonesia sudah tidak punya apa-apa. Hanya bisa pasrah sebagai administratur yang baik.
Indonesia memang memiliki berapa jenis crude oil. Ada beberapa jenis perbedaan dari sumur dan umur ladang. Sekedar catatan bahwa untuk membangun refinery itu nomor satu adalah harus dapat minimal 8 tahun crude oil yang konstan, baik light, middle light, dan heavy. Yang light bila sudah masuk refinery dapat menghasilkan 80% BBM, ini yang dicari. Kalau yang middle 50%, sedang yang heavy itu 30% BBM, sisanya dapat menjadi pelumas, aspal dan lain-lain.
Sebagai catatan saja bahwa apa yang dihasilkan dari hydro minyak itu kita sudah impor. Gas, avtur, solar, premium, pelumas, kapal, bahkan lilin untuk bahan batik sudah impor. Jadi jangan heran bila harga kain batik di China jauh lebih murah dibandingkan di indonesia. Disinilah kita harus bicara minyak sebagai survival dan menjadi agenda utama kepentingan nasional. Nah, patut disyukuri bahwa Indonesia tidak punya musim dingin.
Oleh karena itu, sekarang kita perlu mindset baru untuk merancang strategi dalam konteks ketahanan nasional. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi dengan potensi ekonomi yang besar – adalah suatu kewajaran pula bila memiliki kemampuan militer yang kuat terutama dalam konteks UU Migas dan UU pertahanan negara. Seperti halnya negara-negara maju yang menjaga kepentingan nasionalnya di luar negeri – khususnya yang menyangkut keamanan migas – mereka tidak menyerahkan pengawalan kepada negara lain, tapi mereka mengerahkan kekuatan militernya sendiri untuk mengamankan sumber energinya, mulai dari lokasi sampai mengawal transportasinya. Sebagai contoh misalnya negara Jepang. Jepang itu mengimpor 5,6 juta bph.
Dalam konteks keamanan ini misi intelejen menjadi nomor satu. Jepang menyadari bahwa semua itu adalah demi kelangsungan kehidupan negara mereka. Bayangkan seandainya suplai minyak sebesar 5,6 juta bph Itu tiba-tiba berhenti. Akibatnya bisa lebih dahsyat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. (as)