oleh David Ransom
“Tanpa diketahui masyarakat luas, Orde Baru Soeharto sangat patuh kepada Amerika, Ingris, dkk, berkebalikan dengan Soekarno”
Sejak tahun 50-an, Ford Foundation mengarahkan perhatiannya pada bidang pendidikan di Indonesia, meski yang mempeloporinya kemudian adalah ternyata Rockefeller Foundation. Sudah sejak lama pendidikan adalah alat perpanjangan tangan negara (Amerika). Yang mengatakan hal itu tak lain Dean Rusk pada tahun 1952, beberapa bulan sebelum dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai asisten menteri dalam-luar negeri seksi wilayah Timur Jauh untuk kemudian memimpin Rockefeller Foundation.
Penyebaran komunisme mengharuskan agar tidak hanya orang-orang Amerika dilatih untuk menghadapinya, “tetapi kita juga harus membuka fasilitas-fasilitas pelatihan untuk menambah jumlah sekutu-sekutu kita di seberang Pasifik”. Ford Foundation di bawah kepemimpinan Paul Hoffman (dan erat bekerjasama dengan Rockefeller Foundation) bergerak cepat “melaksanakan” kata-kata Dean Rusk tersebut di Indonesia.
Ketika Amerika menggantikan Belanda (di Indonesia), Hoffman dan Ford Foundation bekerja melalui universitas-universitas terbaik Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard, untuk mencetak pemerintahan Indonesia menjadi para administrator modern yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika, yang dalam istilah Ford Foundation sendiri disebut sebagai “para elit pembaharu”.
“Anda tidak akan dapat memiliki negara modern tanpa elit pembaharu”, demikian kata Frank Sutton, wakil presiden untuk bagian internasional dari Ford Foundation. “Itulah dasar kita memberikan perhatian begitu besar kepada masalah pendidikan di universitas”. Frank Sutton menambahkan, bahwa tidak ada tempat yang lebih baik untuk menemukan elit semacam itu kecuali di antara mereka yang merupakan lapisan atas dari suatu struktur sosial. Karena di situlah, soal-soal prestise, kepemimpinan dan kepentingan kelompok (vested interest) paling dipersoalkan sebagaimana mereka lakukan.
Dengan jasa yang dibeli dari universitas-universitas di Amerika, Ford Foundation akhirnya berhasil membentuk prasarana yang sulit dipatahkan dan mampu menerobos demikian kuat di tiap lembaga kekuasaan dalam masyarakat Indonesia. Para mahasiswa yang diseleksi dan digembleng oleh orang-orang Amerika dan dilatih untuk menjadi para teknokrat itu, singkatnya telah merupakan sejenis pemerintahan yang mewakili partai-partai pengkhianat Soekarno dan bangsa Indonesia, yaitu PSI dan Masyumi, yang bahkan kini jauh lebih kuat dari dua partai tersebut.
Ford Foundation memulai upayanya untuk membuat Indonesia menjadi negara modern (sesuai selera dan kepentingan Amerika) pada tahun 1954 dengan proyek-proyek lapangan dari Massachusete Institute of Technology (MIT) dan Cornell University. Para teknokrat yang dihasilkan oleh dua proyek ini, di mana yang satu dalam bidang ekonomi dan yang lainnya dalam pembangunan politik, berhasil menjadi para teknokrat yang duduk di kekuasaan Indonesia.
Melalui Pusat Studi Internasional (Center for International Studies), yang tak lain adalah gagasan Max Milikan dan W.W. Rostow yang didanai dan disponsori CIA, Ford Foundation bersama Massachusete Institute of Technology (MIT) membentuk satu tim untuk mempelajari “kemungkinan” ekonomi Indonesia. Satu contoh yang menarik dari upaya tersebut adalah studi dari Guy Pauker tentang kendala politik dalam pembangunan ekonomi, misalnya pemberontakan bersenjata. Rupanya, penguasaan sumber-sumber alam dan kebudayaan oleh lembaga-lembaga asing (Amerika), luput dalam kerangka teori Pauker, yang mendapat latihan di Harvard itu.
Dalam melakukan pekerjaannya itu, Guy Pauker sempat berkenalan cukup baik dengan para perwira tinggi TNI Angkatan Darat Indonesia, di mana ia berpendapat bahwa para perwira tersebut lebih mengesankan ketimbang para politisi. “Saya adalah orang pertama yang menaruh perhatian dan konsen sangat serius pada peranan militer Indonesia dalam kemungkinan pembangunan ekonomi Indonesia,” demikian pernyataannya.