Dengan jubah putih dan surban yang dibalut di kepalanya, seorang pria mewakili ormas Islam kerap tampil melampiaskan amarahnya di ruang publik. Pria berjenggot tipis ini bahkan terekam pernah memerintahkan khalayak untuk membunuh penganut aliran tertentu yang disesatkan dan dikafirkannya. Di banyak tempat lain publik juga kerap melihat orang berpakaian ulama berkoar-koar mengajak jihad melawan aparat pemerintah. Katanya sendiri dia sedang menunaikan kewajiban jihad.
Tontonan publik semacam ini akhirnya menjadi perhatian luas masyarakat. Tidak sedikit umat Islam yang menyayangkan. Mengutip tanggapan pengamat sosial politik, Abdillah Toha, perilaku seperti di atas sangat memprihatinkan serta menimbulkan kegelisahan dan merugikan nama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas di negeri ini.
Sikap yang menggelisahkan dari pemeluk ajaran yang rahmat bagi semesata ini juga kita bisa tonton dengan mudah di sejumlah tempat. Alih-alih menjadi rahmat bagi semesta, sebagian umat yang mengaku Islam ini dengan percaya diri menebar kebencian (hate speech) kepada umat Islam lainnya. Akibatnya, pembubaran paksa, pembakaran, pengusiran, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya kerap mencoreng umat yang misi Nabinya sendiri ialah menebar rahmat dan menyempurnakan akhlak mulia.
Fenomena di atas hanyalah contoh kecil. Baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain, kita melihat adanya gap yang amat nampak antara agama dan kaum beragama; antara Islam dan kaum Muslimin. Ini memang keluhan klasik banyak ulama, sarjana dan pengamat. Keadaan riil umat hari ini sangat jauh berbeda dengan klaim-klaim Islam tentang apa yang akan terjadi pada umatnya.
Di belahan dunia lain, kita melihat beberapa kelompok militan dengan membawa bendera Islam seperti di Suriah dan Irak, dengan brutal menyembelih manusia lain hanya karena tak seideologi dengannya. Walhasil, ada suatu gap yang teramat jelas antara realitas keagamaan dan aktualitas keberagamaan umat. Bahkan pada tingkat ekstrem, kita menemukan adanya pertentangan luar biasa antara Islam dan umat dari sisi ajaran akhlak, kemajuan, pengetahuan dan kesejahteraan.
Jika kita mau ambil sebuah ilustrasi, maka kita bisa ambil ilustrasi dari interaksi antara obat, dokter, dan pasien. Kita melihat dokter menyodorkan sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tapi, ketika obat itu dikonsumsi, kita melihat sang pasien tidak bereaksi. Tak jarang bahkan obat itu memberi efek samping yang terbalik dari resep yang diberikan.
Tentu saja ada beberapa sebab yang mungkin diajukan untuk menjelaskan keadaan tersebut. Pertama, dokter salah memberi resep. Kedua, resep itu memang tidak membuahkan efek. Ketiga, obat yang dikonsumsi pasien itu bukan yang diresepkan oleh dokter. Keempat, obatnya memang belum diminum. Pilihan keempat ini nampaknya terasa enak, tapi belum tentu yang terjadi. Dan kelima, ada faktor-faktor yang merusak pengaruh obat tersebut pada pasien, bahkan memberi pengaruh yang terbalik, misalnya ketika pasien mengkonsumsi sesuatu yang justru menetralisir atau bahkan mengkontraindikasi obat yang ada.
Pada kasus antara Islam, Allah dan Muslim pun begitu. Tetapi, pada kasus ini alternatif pertama tidak mungkin terjadi, karena Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Yang mungkin terjadi adalah alternatif kedua, ketiga, keempat dan kelima. Alternatif kedua menyebutkan bahwa Islam itu memang tidak memberi reaksi positif apa pun juga dan tidak sebagaimana yang diklaimnya. Namun, alternatif ini pun gugur karena sejarah manusia menunjukkan adanya orang-orang yang menjalankan dan “menelan” resep Islam kemudian memberikan dampak yang luar biasa, baik secara individual maupun secara sosial. Jadi, yang mungkin terjadi dalam kasus fenomena Islam dan umat Islam ini adalah alternatif ketiga, keempat dan kelima.
Di bawah ini kita akan mendedahkan penjelasan menyangkut ketiga alternatif terakhir itu secara umum.
Pertama, Islam ini disebarkan oleh orang-orang yang tidak berwawasan luas tentangnya
Sejarah penyebaran Islam di Indonesia, sebagai contoh, menunjukkan bahwa mula-mula Islam disebarkan oleh para wali yang sangat mumpuni dan mendalami Islam. Karenanya, Islam menyebar dengan mudah dan mengubah wajah Nusantara menjadi negeri makmur, penuh kedamaian, toleransi dan kebhinekaan. Namun, sayangnya, nasib Islam di era informasi dan internet ini menjadi bulan-bulanan sekelompok orang yang tidak kompeten dan tidak memiliki wawasan yang luas.
Lebih dari itu, para “dai” era digital itu sudah keluar jauh dari jalur keulamaan dan semata-mata menjadi penyebar dan pencari sensasi dan fitnah. Masalah ini sudah sering jadi sorotan berbagai kalangan, termasuk belakangan dari Syaikh Al-Azhar dan Prof Taufiq Al-Bouthi.
Oleh sebab itu, pendalaman pengetahuan keagamaan dan metode keberagamaan berbanding lurus dengan pengaruh dan bobot Islam. Seperti dalam metode pendidikan sains, seharusnya pendidikan dan pengajaran Islam dilakukan melalui metode yang sahih dan ketat. Pola penyebaran ajaran-ajaran Islam tanpa menyebut sumber-sumber pokok perlu segera ditinggalkan. Pada kasus sains modern, spesialisasi juga sangat diperlukan. Spesialisasi dapat dianggap sebagai faktor pendorong atau insentif. Bahkan, tak ayal lagi, spesialisasi adalah trigger bagi kemajuan ilmu di bidang apapun, tidak terkecuali di bidang ilmu-ilmu Islam.
Pada kajian sebelumnya kita telah membahas pilihan jawaban pertama terhadap masalah timbulnya gap antara Islam dan penganutnya atau yang secara sederhana dapat kita sebut sebagai interaksi negatif di antara keduanya. Kajian kali ini akan membahas sejumlah pilihan jawaban lain yang dapat menjelaskan masalah di atas.
Kedua, Islam telah disebarkan oleh mereka yang tidak selalu menerapkannya
Akibat dari masalah di poin pertama, timbullah konsekuensi di mana Islam saat ini disebarkan oleh orang-orang yang menjalankannya secara “setengah-tengah”, atau tidak kaffah. Malah mungkin mereka mengajarkan Islam dengan lidah mereka, tapi membunuhnya dengan tangan mereka. Di genggaman mereka Islam menjadi agama yang enak didengar, tapi sulit dijalankan–untuk tidak mengatakan tidak enak didengar sekaligus mustahil dijalankan. Mereka menyodorkan Islam sebagai lembaran-lembaran ajaran yang puitis, idealis, eksotik, tapi sama sekali tidak mungkin diterapkan. Mereka bertutur begitu indah dan memukau tentang Allah, akhlak, surga-nereka, dan yang lainnya. Tetapi di lain pihak, begitu gampangnya mereka merampas hak orang, berdusta, menjegal sesama, menjejak bawahan, dan yang lainnya. Atau seperti yang kita saksikan hari-hari ini, mereka menampilkan Islam yang keras, intoleran, brutal, irasional dan biadab sehingga siapa saja yang waras dan berakal sehat takkan sudi menjalankan agama seperti itu.
Ketiga, Islam telah melalui distorsi yang serius
Betapa banyak “penyebar” dan pembawa bendera Islam justru getol memanipulasi dan mengeksploitir otoritas keagamaannya untuk kepentingan jangka pendek mereka di bidang ekonomi maupun politik. Anda dapat melihat fenomena tersebut serentak setelah masa Khulafa Rasyidin hingga dewasa ini. Pergumulan dan perebutan kekuasaan terjadi begitu sengit dan keluar dari rambu-rambu moral Islam itu sendiri. Menyeret Islam ke dalam lumpur politik telah menyebabkan agama suci ini ikut ternoda. Para aktor yang saling berebut kekuasaan telah menjadikan Islam sebagai legitimasinya. Dalam rangka perebutan itu, tak pelak lagi, masing-masing kubu melakukan distorsi dan justifikasi semaunya sendiri, sedemikian rupa hingga Islam yang sejati direkayasa agar dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka.
Keempat, Timbulnya faktor-faktor yang terus-menerus memperlemah pengaruh Islam
Agama, yang dalam hal ini adalah Islam, sama seperti juga hal lain: memiliki pengaruh (aksi atau efek) dan reaksi. Pengaruh agama meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Agama yang mengaku sebagai sistem hidup dan berperan dalam kehidupan nyata ini tentunya mempunyai pengaruh yang multidimensional.
Agama dapat diumpamakan dengan air. Air mampu memberikan berbagai berkah bagi manusia. Ia dapat menumbuhkan padi, tebu, jagung, dan beragam tanaman lainnya sekaligus juga menyembuhkan penyakit, menghilangkan dahaga, membersihkan kotoran, menjadi sumber energi dan bermacam-macam pengaruh dan aksi lain. Namun demikian, siapa saja yang ingin memanfaatkan air itu mesti pula mempersiapkan sarana dan prasarananya. Petani yang ingin menafaatkan air, misalnya, mesti pula mempersiapkan lahan yang cocok untuk pengairan. Lahan yang tandus tidak akan mampu menumbuhkan bibit-bibit tanaman yang ditaburkan si petani.
Dalam ilustrasi di atas, kita menemukan bahwa ketandusan tanah dapat memperlemah pengaruh air bagi pertumbuhan tanaman. Misal lainnya adalah aksi obat bagi pasien yang telah dikemukakan pada kajian sebelumnya. Perlu diingat bahwa kedua contoh ini hanya menjelaskan beberapa aspek dari aksi dan reaksi antara manusia dan agama.
Pada sisi aktifnya, secara teori, Islam memberi berbagai pengaruh pada manusia. Ia mengklaim dapat mengaktualisasikan segenap potensi luhur manusia. Namun demikian, manusia yang hendak menerima aksi dan pengaruh positif ini bukanlah benda mati yang pasif. Manusia – dengan satu dan lain cara – akan bereaksi terhadapnya. Demikianlah seterusnya hingga di antara manusia dan Islam timbul suatu interaksi. Jika interaksi itu bersifat positif, maka orang itu akan menjadi Muslim yang sebenarnya; sebaliknya, jika interaksi itu negatif, maka orang itu akan menjadi “Muslim” formal dengan sifat-sifat munafik, zalim dan sifat-sifat buruk lain.
Pada kajian sebelumnya, kita telah memahami beberapa alternatif jawaban atas terbentangnya gap antara Islam sebagai agama yang luhur dan perilaku penganutnya. Atau secara singkat dapat kita katakan sebagai interaksi negatif di antara Islam dan pemeluknya. Sekarang, marilah kita kaji ihwal faktor-faktor yang dapat memperlemah pengaruh agama terhadap manusia sehingga alih-alih terjadi suatu interaksi positif, malah yang terjadi justru interaksi yang negatif. Dalam kasus ekstremnya, interaksi negatif tidak mustahil memperlihatkan situasi seorang yang kian tampak Muslim tapi kian bersikap dan berperilaku munafik dan zalim. Di antara faktor-faktor yang dapat memunculkan interaksi negatif itu adalah sebagai berikut:
- Cara berpikir yang memandang agama dari kejauhan. Pola pikir ini berupaya membentuk realitas keagamaan sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi kepentingan, keinginan dan keenakannya sendiri atau sekelompok orang tertentu. Sebagai contoh, banyak orang beranggapan bahwa agama adalah sesuatu yang jauh di atas sana: transendental, mistis, dan lain sebagainya. Dengan pandangan ini seolah-olah dia ingin mengatakan bahwa tiada manusia yang bisa menjalankannya secara sempurna. Mungkin hanya nabi dan sahabat-sahabatnya yang dapat menjalankan agama ini. Ini adalah suatu pandangan yang amat keliru. Akibat pandangan seperti ini, maka nilai-nilai dan ajaran-ajaran itu hanya akan menjadi sekedar ucapan di lisan dan tampilan di badan; ia tak pernah benar-benar menginspirasi suatu gerakan kemajuan, perlawanan atas ketidakadilan dan aksi-aksi kemanusiaan lain. Singkatnya, agama hanya jadi pajangan, aksesoris dan etalase, yang tak ikut menggerakkan motivasi dan aksi tiap-tiap orang yang mengaku beragama.
- Fanatisme atau menutup mata di hadapan kebenaran atau kenyataan. Fanatismeadalah cikal-bakal banyak perilaku buruk lain yang merusak pengaruh agama. Dengan hidupnya fanatisme pada diri seseorang atau suatu masyarakat, maka alih-alih menjadi sumber pencerahan dan peradaban, agama akan menjadi sumber pertikaian, permusuhan dan pertumpahan darah.
- Ekstremisme, baik ifrath (terlalu pasif) maupun tafrith (terlalu akti) dan membuang jalan tengah. Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan, yaitu agar kalian (bisa) menjadi saksi atas manusia dan Rasulullah menjadi saksi atas kalian.” ( al-Baqarah 2:143). Sayidina Ali berkata, “Jalan kanan dan kiri itu menyesatkan. Jalan tengah itulah yang lurus.” Ekstremisme adalah pola berpikir menarik sesuatu sampai batas paling ujung, yang pada hakikatnya bertentangan dengan rasionalitas dan fitrah manusia yang mencari keseimbangan. Hukum alam semesta, rasionalitas dan fitrah manusia sesungguhnya selaras dengan keseimbangan yang ditawarkan agama, dalam hal ini Islam. Namun demikian, sikap ekstrem telah menyeretnya ke salah satu ujung, hingga tak lagi seimbang dan jatuh ke dalam terlalu kurang atau terlalu lebih dan keduanya merusak pengaruh agama.
- Sikap jumud. Biasanya, sikap jumud datang dari sikap hati-hati yang berlebihan. Sikap ini membawa pola pikir yang kaku tentang kesempurnaan agama dan evolusi manusia. Kehidupan dipandang sebagai bongkahan batu yang beku, sehingga apa saja yang terkait dengannya, termasuk agama, harus pula beku dan kaku.
- Berwawasan sempit atau close-mindedness. Orang yang berwawasan sempit cenderung menganggap orang lain bodoh dan tidak mengetahui apa-apa. Sebalikya, dirinya adalah orang yang pandai. Titik ekstrim dari proses ini akan menjebak seseorang pada pola berpikir absolutis dan menyalahkan – atau mengkafirkan – orang lain.
- Menjalankan agama secara parsial atau tidak kaffah. Ini merupakan faktor yang dapat memperlemah pengaruh agama pada diri seseorang atau suatu masyarakat. Bahkan, dengan menjalankan agama secara parsial, seseorang telah memasung agama itu sama sekali. Karena, agama bersifat integral dan organistik.
- Beragama secara emosional. Ini dapat mementahkan pengaruh agama karena emosi manusia itu berciri impulsive, cepat lenyap, labil, superfsial, insidental, dan lain-lain.
- Mengenal agama selain dari sumber-sumber utama yang telah ditetapkan agama: Al-Qur’an, sunnah yang sahih, dan akal. Banyak sekali orang beragama yang sandarannya bukan pada sumber-sumber tersebut. Seperti hadis yang tidak sahih, otoritas yang tidak berwawasan, popularitas, tendensi personal, mimpi, budaya, trend, praduga, dan lain-lain.
- Hawa nafsu adalah musuh terbesar yang selalu akan menghilangkan pengaruh agama pada manusia. Hawa nafsu adalah desakan hasrat dalam diri manusia yang mengantarkan manusia menuju sesuatu yang menyenangkan saja. Seringkali hawa nafsu mengalihkan pandangan manusia dari realitas ke fantasi karena realitas itu tidak selalu menguntungkan dan menyenangkannya.
- Sikap manipulatif dalam menjalankan agama. Sikap ini umumnya berlaku di kalangan orang-orang yang kenal dengan agama tapi memiliki ambisi dan kepentingan pribadi yang kental. Mereka biasanya menjustifikasi tindakan-tindakan yang mereka sadari tidak benar dengan dalil-dalil agama yang palsu.
- Group pressure atau group-mind (desakan dan pikiran kelompok). Al-Qur’an mendorong individu untuk berpikir secara sendiri-sendiri tanpa dibayangi oleh lingkungan sekitarnya. Ini tentunya tidak berarti manusia harus bersikap egoistis dengan tidak memeperdulikan orang lain sama sekali. Tetapi, Islam ingin mengatakan bahwa urusan Anda adalah urusan Anda, bukan orang lain, dan urusan orang lain jangan sampai membahayakan urusan Anda. Tidak ada seorang pun yang bisa menguntungkan orang lain dengan membahayakan diri sendiri. Oleh sebab itu, tidak benar bila Anda berusaha menghormati orang dengan membiarkannya keliru terus menerus.
- Sikap asosial sebagai kebalikan dari poin 11, yakni ketika mengira bahwa menjalankan agama tidak perlu memperhitungkan kepentingan orang banyak. Dalam menjalankan agama, orang ini mengira bahwa agama itu adalah aturan egoistik-individualistik, Sikap seperti ini banyak menjangkiti mereka yang tidak mengenal falsafah syariat dan aturan-aturan secara benar dan mendalam.
- Mengabaikan konteks ruang dan waktu. Sikap yang demikian menjadi faktor utama pelemahan agama, karena semua aturan agama memiliki aspek ruang dan waktu, memiliki konteks situasi dan kondisi tertentu.
Demikianlah sebagian dari faktor-faktor yang dapat memperlemah pengaruh dan aksi agama, dalam hal ini Islam. Faktor-faktor ini, sebagaimana telah dijelaskan, bahkan dapat membalik pengaruh luhur Islam menjadi pengaruh yang berbahaya dan mengancam kehidupan individu maupun masyarakat tertentu. Contoh anyar dapat kita lihat pada sekelompok orang ekstremis yang dapat melakukan aksi teror dengan bom bunuh diri atau aksi brutal lain atas nama agama. Di sini kita melihat pengaruh agama itu justru mengalami kontraindikasi.
Wallahu a’alam bishowab.
Edy&AJ/ IslamIndonesia
Namanya juga pengamat, yang ga suka sering dianggap salah. Sama halnya dengan Anda yang selalu melihat dari jauh kelompok yang anda tidak sukai. Kalo saya sepakat ISIS bukan Islam, tapi kalo Habaib yang suka demo dianggap sama dengan kelompok radikal di suriah itu keliru. apa mungkin karena ISLAM anda sudah sangat dalam.