Pandangan arif terhadap alam semesta berbeda-beda dibandingkan dengan pandangan umum, bahkan dibandingkan dengan pandangan ilmiah dan filsafat sekalipun. Hal itu berdasarkan suatu kalimat yang terkenal, “Jika ruh berubah, maka alam semesta pun berubah.” Pada pasal ini, terlebih dahulu akan kami tunjukkan huwiyyah (identifikasi) alam semesta dan hubungan al-Haqq Swt dengan alam semesta ini menurut pandangan ‘irfan nazhari. Selanjutnya, akan kami bahas tentang bagaimana penciptaan alam semesta (khalqiyyah), lalu kami juga akan membahas beberapa karakteristik alam semesta tersebut. Terakhir, kami akan menjelaskan sistem yang mengatur alam semesta ini menurut pandangan mazhab Ibn ‘Arabi.
Huwiyyah Alam Semesta
Al-‘âlam (alam semesta) menurut bahasa adalah kata yang terbentuk dari ‘allamah yang berarti ‘alam, yakni nama sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain bisa diketahui. Dalam istilah urafa, segala sesuatu selain Allah Swt. yang menunjukkan pengetahuan (ma‘rifah) tentang al-Haqq dan salah satu dari tanda-tanda-Nya, semua itu dinamakan al-‘alam.[1] Dalam ‘irfan, ‘alam tidak menjelaskan suatu hakikat objektif. Sebab, ‘allamal dalam arti tanda, maknanya diambil dari sesuatu yang lain, seperti halnya huruf dan kalimat. Ia hanyalah suatu hal yang memiliki aspek penunjukan pada makna itu semata. Atas dasar ini, masing-masing dari “pandangan terhadap alam semesta” dan “pandangan terhadap ruh” berasal dari satu sumber, yaitu “pandangan terhadap Allah”. Dengan demikian, barangsiapa tidak melihat alam sebagai tanda dan tidak memandangnya secara mekanik, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang tidak memahami makna alam, meskipun ia berusaha selama bertahun-tahun dalam mengamati fenomena-fenomenanya dan mencermati tanda-tandanya, serta menulis banyak risalah dan buku tentang hal tersebut. Pengertian ini disebutkan dalam bait syair berikut.
Semua adalah ibarat
Engkau adalah makna.
Wahai Dia yang memiliki magnet terhadap hati.
Ibn ‘Arabi pun mendefinisikan Al Haqq sebagai huwiyyah ‘alam[2] (dari sudut fenomena). Oleh karena itu, ia tidak berpandangan bahwa penunjukan alam terhadap al-Haqq terpisah dari penunjukan al-Haqq terhadap diri-Nya.[3] Sudah tentu, yang dimaksud adalah bahwa maujud-maujud alam adalah dalam hubungan dengan al-Haqq, yaitu dengan melihat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bukan dengan melihat Zat-Nya. Artinya, dimungkinkan Dia diketahui dan bermanifestasi pada salah satu dari unsur-unsur alam atau salah satu nama Ilahi. Hal itu karena setiap sesuatu merupakan salah satu manifestasi dari nama-nama-Nya. Al-Rumi telah menggubah banyak bait syair tentang pengertian ini.[4]
Ibn ‘Arabi mengisyaratkan alam sebagai imajinasi belaka dan kadang-kadang berupa ilusi, serta bentuk bayangan pada cermin atau kadang-kadang bayangan terhadap masing-masing dari metafora-metafora yang dipilihnya. Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan terhadap huwiyyah (identitas) alam menurut metafora tersebut. Di antara penjelasan-penjelasan tersebut, ia berkata tentang ketidak-mandirian bayangan, dan ketiadaan penisbahan eksistensi dan ketiadaan kepada-Nya. Demikian halnya dengan bentuk pada cermin karena berada dalam keadaan tanpa eksistensi dan tanpa ketiadaan, serta kemungkinan memperbanyak satu benda (secara faktual) dalam cermin pada waktu yang bersamaan, yang berinteraksi dengannya sebagai sesuatu yang satu, di samping kenetralan khayal atau huwiyyah-Nya serta kelangsungannya dengan mutakhayyal dan ketiadaan identitasnya. Rumus-rumus ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
-
Khayal dan mimpi
Kita dapat mendeduksi dua konsepsi dari satu pemikiran dengan memandang alam ini sebagai ilusi dan fatamorgana: kadang-kadang khayal tampak sebagai sesuatu yang tak bermakna dan ilusif, sehingga tak terhindarkan untuk menafikan dan mengabaikannya. Akan tetapi, kadang-kadang ia tampak sebagai peniru, cermin dan alat untuk mengekspresikan sesuatu. Ketika itu, khayal harus diartikan sebagai mimpi dan selanjutnya dengan penafsirannya. Dalam kasus pertama, harus dikatakan bahwa alam ini adalah khayal dan imajinasi, dan tidak memiliki makna, konsep dan hakikat objektif apa pun. Adapun dalam kasus kedua, alam tampak sebagai perkara sekunder dan mata uang yang memiliki dua sisi, yakni sisi ilusi dan sisi hakikat. Ia bukan kebatilan murni tetapi juga bukan kebenaran murni. Ia bukan kebenaran, tetapi merupakan bentuk, tanda dan cermin dari kebenaran, seperti keadaan bayangan pada cermin; jika kita menganggapnya mandiri akan tampak seakan-akan ia tipuan dan ilusi. Adapun jika kita menganggapnya bentuk dari asal, maka ketika itu, akan menjadi bukti dan petunjuk pada hakikat. Inilah yang ditunjukkan Ibn ‘Arabi sendiri melalui bait syair berikut:
Alam hanyalah khayal
Kebenaran dalam hakikat
Setiap orang yang mengetahui hal ini
Ia dapatkan rahasia tarekat.
Atas dasar ini, orang yang mengetahui rahasia-rahasia tarekat dan ilmu Ilahi adalah orang yang mengetahui bahwa alam adalah khayal[5] dan sekaligus kebenaran dalam waktu yang bersamaan.
Ada dua aspek yang mengonsepsikan kekhayalan alam menurut Ibn ‘Arabi; yang pertama merupakan simbolisasi dan yang kedua adalah perubahan (transformasi) abadi dan terus menerus dari bentuk-bentuk simbolisasi tersebut, dimana terdapat dua karakteristik tersebut (yakni perubahan abadi, terus menerus dan eksistensial) sekaligus dalam mimpi,[7] dan seperti yang disebutkan dalam bait-bait syair Al-Syabastari.[8]
Ibn ‘Arabi tidak merasa puas dengan menamai alam yang terindera ini sebagai khayal, tetapi juga “khayal dalam khayal”. Hal itu dijustifikasi dengan ucapannya bahwa kemunculan alam ini bagi manusia hanyalah menurut kekuatan-kekuatan indera dan akal tersebut—dan semuanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam ini—juga dipandang sebagai khayal. Dengan demikian, semua yang akan dihasilkan darinya merupakan manifestasi alam tersebut bagi manusia dalam bentuk “khayal dalam khayal” (seperti halnya dalam asumsi Ibn ‘Artabi sebagai mimpi manusia, “mimpi dalam mimpi”). Ibn ‘Arabi dalam Fashsh al-Hikmah Nûriyyah fî Kalimah Yûsufiyyah,[9] berkata, “Ketahuilah, kamu adalah khayal, dan semua yang kamu persepsi dari apa yang kamu katakan tentangnya bukan aku. Maka wujud seluruhnya adalah khayal dalam khayal, dan wujud yang sebenarnya adalah Allah saja.” Adapun yang dimaksud dengan “khayal” adalah seluruh alam eksistensi. Sementara itu, yang dimaksud dengan khayal kedua adalah lawan bicara dan semua kekuatan persepsinya.
Apa pun keadaannya, menurut Ibn ‘Arabi, alam tidak dianggap ada, tetapi merupakan sebuah ilusi. Ia bersandar pada hadis Nabi Saw., “Manusia tertidur. Jika mati, mereka terbangun.” Ia memandang alam sebagai mimpi semata. Akan tetapi, pada saat yang sama, mimpi itu bukan mimpi yang lewat atau arbitrase, melainkan mimpi yang merefkleksikan hubungan dari suatu hakikat. Kita harus memandang mimpi itu dengan cara yang benar, lalu mentransfer semua itu ke asalnya yang benar, yakni penakwilan oleh para urafa. Ibn ‘Arabi menunjukkan dua istilah, kematian (maut) dan bangun (intibâh) yang disebutkan dalam hadis Nabi Saw., sebagai sesuatu yang menunjukkan kematian dan kefanaan atau kehendak sendiri (ikhtiyâri). Demikianlah, karena memberi penjelasan faktual terhadap alam semesta hanya dimungkinkan bagi orang yang bangun dari tidurnya, yakni orang yang sampai ke tingkatan kefanaan (fanâ’) .[10]
Selanjutnya, individu ini akan memahami bahwa Aat al-Haqq yang mutlak adalah hakikat satu-satunya, dan bahwa alam semesta hanyalah bentuk manifestasi-Nya. Atau katakanlah, “khayalan yang menjelma”. Dengan kata lain, alam adalah ilusi di luar pikiran, bukan di dalam pikiran.[11] Dalam faktanya, keberadaan alam khayal sebagai manifestasi al-Haqq dipahami dari rahasianya yang paling dalam. Atas dasar ini, kemajemukan alam hanyalah merupakan simbol dan manifestasi al-Haqq. Oleh karena itu, manusia biasa tidak menyadari keberadaan yang dapat dilihat ini sebagai mimpi semata.
-
Cermin
Perumpamaan dengan cermin, menurut Ibn ‘Arabi, merupakan kombinasi sekunder—yang kami bicarakan pada tema sebelumnya—karena memiliki gambar berupa kemunculan pada cermin, padahal tidak memiliki eksistensi hakiki apa pun. Di samping itu, gambar tersebut tidak ada, baik pada cermin (karena tidak ada sesuatu pada cermin, seperi kita ketahui) maupun pada orang yang melihat, begitu pula pada ruang di antara orang yang melihat dan cermnin (karena tidak ada sesuatu di antara keduanya selain cahaya yang memantul). Atas dasar ini, tidak ada objektivitas pada cermin (yakni pada gambar pada cermin), karena kapasitasnya sebagai cermin tidak dapat dilihat.[12]
-
Bayangan
Ibn ‘Arabi, dalam bukunya Fushush Al-Hikam dalam fashsh: Hikmah Nûriyyah fî Kalimah Yûsufiyyah, mengumpamakan alam ini dengan bayangan. Ia berkata, “Ketahuilah, yang dikatakan tentangnya (selain al-Haqq), atau yang dinamakan dengan alam, terhadap al-Haqq adalah seperti bayangan terhadap seseorang. Alam semesta adalah bayangan Allah, sedangkan Dia adalah Esensi dalam hubungannya dengan alam.”[13] Diyakini bahwa karakteristik bayangan juga berpangkal pada dualitas (tsunâ’iyyah) huwiyyah bayangan itu sendiri. Maka, dari satu sisi, ia dapat dinamakan bayangan dan maujud, sedangkan dari sisi lain, ia dapat diekpsresikan sebagai ketiadaan. Hal itu karena bayangan tiada lain adalah hubungan dengan sesuatu yang eksistensial. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain, bayangan adalah ketiadaan cahaya, dan ia selalu menjadi partisan, tidak mandiri.Ibn ‘Arabi berkata, “Tempat kemunculan bayangan Ilahi ini yang dinamakan dengan alam hanyalah esensi-esensi mumkinât. Di situlah bayangan ini membentang, sehingga esensi-esensi tersebut diketahui dari bayangan ini menurut kadar bentangannya dari eksistensi Esensi tersebut. Namun, karena Esensi itu cahaya, maka esensi-esensi tersebut diketahui. Bayangan ini terbentang di atas esensi-esensi mumkinât dalam bentuk kegaiban misterius. Perhatikanlah bayangan yang cenderung disamakan dengan hitam, ia menunjukkan sesuatu yang di dalamnya terdapat kekosongan karena hubungan yang jauh antara bayangan itu dan individu-individu pemilik bayangan tersebut.”[14]
Sementara itu, ketika menjelaskan perumpamaan tersebut, Al-Kasyani berkata, “Sebagaimana bayangan di alam inderawi berkaitan dengan esensi pemilik bayangan dan mustahil terpisah, maka cahaya esensi al-Haqq dan kemunculannya yang luas melalui entitas-entitas dan mumkinat-mumkinat, berkaitan dengan al-Haqq. Ia mustahil bisa dipisahkan dari al-Haqq. Perbedaan di antara kedua hal ini adalah bahwa kaitan tersebut bersifat dualitas dalam hal-hal yang bersifat inderawi ketika hubungan cahaya eksistensi (yakni alam semesta) dengan al-Haqq terjadi dalam kesatuan karena termasuk hubungan muqayyad (terikat) dengan muthlaq (bebas).”[15
- Cahaya (Nûr)
Simbol lain yang sering digunakan oleh urafa, dalam kaitan dengan alam semesta, adalah istilah cahaya (nûr). Hal itu tampaknya diambil dari al-Quran ketika mengungkapkan hubungan cahaya Ilahi dengan alam semesta (Surah Al-Nûr: 35). Demikian pula, ketika al-Quran mengungkapkan ihwal menyaksikan cahaya Ilahi di seluruh penjuru alam semesta. Dengan demikian, al-Haqq adalah cahaya alam semesta. Alam mengambil cahaya dari cahaya-Nya.
Tingkatan-tingkatan amr, khalq (penciptaan), kegaiban, penyaksian, lahir, dan batin bergabung dalam cahaya al-Haqq yang telah menciptakannya.
Berkenaan dengan hal yang berkaitan dengan substansi tersebut, kami telah memberikan penjelasan pada pasal sebelumnya. Kami katakan bahwa ia adalah cahaya dan sinar tanpa perantaraan dan eksistensi yang tersebar (al-wujûd al-munbasith). Adapun masalah yang dikemukakan oleh urafa yang dikhususkan dengan penafsiran ayat: Allah adalah cahaya langit dan bumi…,[16] adalah karena dalam ayat itu tidak dimaksudkan bahwa Dia (yakni Allah Azza wa Jalla) adalah yang menerangi langit dan bumi agar dipandang bahwa hubungan al-Haqq dengan alam semesta adalah hubungan sebab dan akibat semata. Kecuali kalau kita menilai—seperti dikatakan oleh Ibn ‘Arabi—akibat merupakan gambaran, fenomena dan kemunculan dari sebab, dan kita memandang bahwa sebab merupakan hakikat dan batin dari akibat. Ayat itu hanya menyatakan bahwa Dia berfirman, Allah adalah cahaya langit dan bumi. Artinya, tidak ada cahaya dan eksistensi kecuali cahaya Allah SWT, dan bahwa langit dan bumi memantulkan cahaya tersebut.
Tidak diragukan bahwa semua pernyataan tersebut, karena satu dan lain hal, menunjukkan suatu kaidah “huwa lâ huwa (Dia bukan dia)”, “menampakkan pertentangan”, atau “mengompromikan hal-hal yang berlawanan”. Itu merupakan asas ‘irfan dalam pandangan Ibn ‘Arabi.[17] Adapun, kenyataan bahwa al-Haqq dan makhluk adalah satu meskipun maujud di antara keduanya berbeda-beda,[18] hal itu tidak berarti “ini adalah itu” murni, tetapi keduanya, dan dalam entitas kesatuannya, juga bertolak belakang. Keadaan yang bertolak belakang ini tampak dalam bentuk penggambaran, ekspresi, imajinasi, bayangan, cahaya, mimpi, dan sihir.
Penciptaan Alam Semesta
Masalah penciptaan (khalq) dipandang sebagai bagian dari konsep-konsep asasi yang dikemukakan dalam pembahasan pandangan komprehensif dalam agama-agama, terutama pandangan komprehensif dalam agama Islam. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting dalam ‘irfan nazhari.[19] Kata îjâd (mengadakan) dan khalq (menciptakan)—yakni kun—menurut Ibn ‘Arabi merupakan pernyataan eksistensial dan sinonim dengan konsep manifestasi (tajallî). Jika alam hanya berupa manifestasi-manifestasi kersempurnaan al-Haqq, maka konsep yang muncul dalam pikiran dari kata khalq (penciptaan) adalah juga tajallî (manifestasi). Namun, hal ini tidak memberikan pemahaman kepada siapa pun bahwa konsep ini, menurut Ibn ‘Arabi, adalah konsep metaforik murni, atau bahwa hal yang terakhir ini ditujukan pada sinonim-sinonimnya dengan tajallî.[20] Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa hakikat utama ini, menurut Ibn ‘Arabi, memiliki dua konsep; konsep pertama adalah tajallî (manifestasi) dan konsep kedua adalah khalq (penciptaan). Selanjutnya, terlebih dulu kami akan membahas beberapa aspek yang mencakup dua konsep tersebut, lalu kami akan membahas beberapa karakteristik konsep kedua, yakni penciptaan.
- Cinta dan Tujuan Ilahi
“Cinta” dan “tujuan Ilahi” dipandang sebagai salah satu aspek yang mencakup dua konsep yang ditunjukkan tadi. Ibn ‘Arabi meyakini bahwa khalq menemukan maknanya yang hakiki pada konsep cinta dan gerakan cinta. Ini berarti—sebagaimana telah kami kemukakan pada pasal sebelumnya—bahwa urafa memandang tujuan penciptaan alam semesta bukan untuk pemanfaatan oleh Pencipta dan bukan pula untuk mengantarkan kemurahan kepada makhluk—sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi, mereka menguatkan sebab teleologis penciptaan tersebut pada cinta al-Haqq kepada diri-Nya dan pada segala kesempurnaan-Nya. Mereka menjelaskan bahwa dua kaidah utama—yakni “cinta pada sesuatu menyebabkan cinta pada apa pun yang berkaitan dengan sesuatu tersebut” dan “cinta menyebabkan kemunculan”—menyebabkan kemunculan kerinduan yang azali kepada al-Haqq dan manifestasi-Nya dalam bentuk-bentuk kesempurnaan. Hal itu agar Dia menyaksikan diri-Nya pada cermin perbuatan sebagaimana Dia menyaksikannya pada martabat Zat. Urafa memandang bahwa kesimpulan ini benar-benar sesuai dengan makna hadis qudsi yang dikenal dengan kanz makhfî (pusaka terpendam).[21]
Ibn ‘Arabi telah mengemukakan masalah “gerakan cinta” untuk menjelaskan hadis qudsi tersebut. Ia menyimpulkan bahwa proses penciptaan merupakan hasil dari tiga jenis cinta:
a. Cinta Al-Haqq agar dikenal, yakni menampakkan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya yang tersembunyi melalui penciptaan alam semesta.
b. Cinta nama-nama bagi kemunculan turunan-turunannya (entitas-entitas tak berubah) di dunia pengetahuan Ilahi, dan demikian pula dalam entitas eksternal.
c. Cinta entitas-entitas tak berubah untuk berubah menjadi alam eksternal agar entitas-entitas tersebut menyaksikan dirinya di alam eksistensi sebagaimana ia menyaksikannya di alam keteguhan (‘âlam al-tsubût).[22]
Urafa telah menjelaskan bahwa sekiranya tidak ada cinta tersebut, niscaya sesuatu tidak akan muncul melalui manifestasi—yakni cinta yang mengikuti kebaikan dan segala kesempurnaan al-Haqq, dan dipandang sebagai “Pemelihara” hal itu, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Hai Thufail, sesungguhnya manusia dan malaikat adalah asal bagi cinta (‘isyq).”
Gerakan cinta itu merupakan salah satu substansi kaidah “cinta mengikuti kebaikan” di alam penciptaan. Pengetahuan Allah Swt. terhadap alam semesta ini sejak azali merupakan pengetahuan-Nya terhadap Zat-Nya. Alam semesta terbentuk menurut bentuk Allah dan nama-nama indah-Nya. Atas dasar ini, alam semesta—seluruhnya—merupakan tempat manifestasi Allah SWT. Ia adalah lokus manifestasi yang di dalamnya Allah tidak melihat sesuatu apa pun selain keindahan-Nya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dengan demikian, cinta Allah terhadap alam semesta merupakan bagian dari cinta-Nya pada keindahan-Nya.
Dari penjelasan ini, Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa barangsiapa mencintai alam semesta dari titik tolak ini, maka ia mencintainya dengan cinta kepada Allah Swt.[23]
- Kecenderungan Imbal-Balik
Faktor umum kedua di antara konsep “penciptaan” dan konsep “manifestasi” adalah kecenderungan imbal-balik dan kebutuhan masing-masing terhadap yang lain. Ibn ‘Arabi selalu menegaskan suatu masalah penting untuk membedakan maqam Zat Ilahi dari maqam perbuatan serta manifestasi nama-nama dan sifat-sifat. Masalah ini adalah ketidakbutuhan Zat Ilahi terhadap alam semesta, serta hajat dan keperluan perbuatan pada fase nama-nama dan sifat-sifat terhadap lokus-lokus manifestasi. Ibn ‘Arabi menyatakan kebutuhan tersebut dengan kebutuhan imbal-balik atau kebutuhan kedua pihak. Ini artinya—sebagaimana telah kami kemukakan secara terperinci dalam pembahasan tentang nama-nama dan entitas-entitas tak berubah—bahwa sifat hubungan yang mengikat al-Haqq dengan makhluk dan Tuhan Pemelihara dengan peliharaan adalah sejenis kecenderungan imbal-balik. Atau, dengan kata lain, saling mengikat satu sama lain. Dalam kasus nama-nama indah (al-asmâ’ al-husnâ), perwujudan nama dan manifestasinya bergantung pada keberadaan keduanya bersama-sama. Dengan demikian, masing-masing mendapatkan maknanya. Sementara itu, dalam kasus entitas-entitas tak berubah, kita melihat otoritas entitas-entitas tersebut terhadap penciptaan oleh al-Haqq. Demikian pula sebaliknya, yakni otoritas al-Haqq terhadap entitas-entitas tersebut. Di sini, menjadi jelas konsep “rahasia qadar” melalui istilah “pemilikan imbal-balik”.
Berkaitan dengan “manifestasi” dan “penciptaan”, di sini pun dikemukakan masalah “kebutuhan imbal-balik”. Artinya, manifestasi Ilahi dan penciptaan-Nya bukanlah suatu fenomena tunggal, tetapi—di satu sisi—kebutuhan internal pada semua maujud terhadap al-Haqq, dan—di sisi lain—kebutuhan al-Haqq terhadap alam semesta dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah manifestasi al-Haqq dan tempatnya. Mengenai hal ini, Ibn ‘Arabi berkata, “Kita telah memberikan kepada-Nya sesuatu yang memungkinkan Dia bermanifestasi di dalam kita, dan Dia memberikan eksistensi kepada kita. Jadi, Dia berbagi dengan kita.”[24] Pada hakikatnya, konsep pembahasan ini—meskipun aneh dan sulit memahaminya—adalah “sekiranya tidak ada alam semesta dan segala maujud, maka tidak akan ada eksistensi nama-nama itu—yakni tidak akan muncul—karena hakikat nama-nama itu—seperti telah kami kemukakan—tercipta melalui penisbahan.”[25]
Namun, seperti dikatakan tentang “pemilikan entitas-entitas tak berubah oleh al-Haqq”, al-Haqq selalu bermanifestasi melalui urusan-urusan-Nya. Dia memberikan kepadanya menurut kapasitasnya. Kapasitas ini muncul dari nama-nama al-Haqq. Atas dasar ini, pada akhirnya tidak ada otoritas terhadap al-Haqq kecuali al-Haqq. Selain itu, tidak sepantasnya seseorang membayangkan bahwa al-Haqq membutuhkan selain al-Haqq, atau mengatakan bahwa makna kebutuhan nama-nama al-Haqq terhadap manifestasi adalah menyempurnakannya dengan sesuatu yang lain. Sebab, menurut prinsip wahdah al-wujûd, perbuatan Allah SWT merupakan eksistensi yang tersebar. Dengan demikian, sesuatu tidak memiliki hubungan kecuali dengan eksitensi itu dan tidak memiliki otoritas pada dirinya sendiri. Ia adalah maujud karena adanya eksistensi al-Haqq, dan ia juga kaya karena kekayaan-Nya—walaupun pada esensinya, hal itu merupakan kebutuhan itu sendiri. Atas dasar ini, makna ucapan Ibn ‘Arabi adalah seperti apa yang dikatakan oleh seorang penyair, yang artinya “kemunculan-Mu adalah karena aku dan keberadaanku adalah dari-Mu. Maka Engkau tidak akan tampak tanpa aku dan aku tidak akan ada tanpa-Mu.”
Adapun, dua aspek yang tercakup dalam pandangan Ibn ‘Arabi dan yang berhubungan dengan masalah “penciptaan” tanpa manifestasi, adalah sebagai berikut:
1. Triple
Menganalisis masalah “penciptaan” bercabang pada dua pilar utama penciptaan, yaitu Khaliq dan makhluk. Pilar utama itu, yakni al-Haqq, dinamai juga Khaliq. Namun, berkaitan dengan perbuatan makhluk, al-Haqq mengandung tiga faktor dari aspek penyaksian (syuhûdiyyah), yaitu (a) al-Haqq mutlak menurut manifestasi dan sifat manifestsi; (b) kehendak (irâdah), yaitu al-Haqq sebagai Yang berkehendak; dan (c) perintah (amr), yaitu al-Haqq sebagai pemberi perintah.[26] Tiga faktor tersebut merupakan proses seluruh penciptaan. Artinya, penciptaan terjadi melalui fase-fase berikut:
(1) Muncul pengetahuan pada al-Haqq dan muncul entitas-entitas tak berubah, yakni entifikasi al-Haqq dalam kehadiran Ulûhiyyah dan Wâhidiyyah.
(2) Terbentuk ikatan kehendak—berdasarkan pengetahuan—dengan penciptaan entitas-entitas.
(3) Muncul perintah Ilahi—berdasarkan kehendak—dalam kalam (kun) yang menjadikan alam semesta.
Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa tidak mudah memperoleh pengetahuan yang menunjukkan padanya pada fase terakhir, yang di atasnya ada “perintah dan kalam”, kecuali melalui wahyu atau penyingkapan batin. Sementara itu, dalam proses penciptaan, akal dan hikmah sampai ke pengetahuan dan kehendak, yakni fase kedua. Pada akhirnya, hukama mengartikan kalam dan perintah Allah sebagai kehendak-Nya.[27] Bagaimanapun, Ibn ‘Arabi menganggap bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada kaidah triple (tatslîts) yang telah kami kemukakan. Ia berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberimu taufik, bahwa perintah (amr) didasarkan pada diri ketunggalan-Nya yang memiliki konsep triple, yaitu dari tiga hingga seterusnya. Tiga itu adalah individu-individu (afrâd) pertama. Dari kehadiran Ilahi ini, alam semesta diciptakan. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah!” maka jadilah ia (QS Al-Nahl [16]: 40). Ini adalah Zat, kehendak, dan perkataan. Sekiranya tidak ada Zat ini dan kehendaknya, dan hal itu adalah hubungan penyampaian kekhususan untuk menciptakan sesuatu, lalu sekiranya tidak ada perkataan-Nya pada penyampaian ini (kun) kepada sesuatu tersebut, maka sesuatu itu tidak akan ada.”[28]
Di samping triple ini dari sisi pelaku (subjek), ada triple lain pada penerima, yaitu (a) esensi sesuatu di alam entitas; (b) memperhatikan kata kun; dan (c) mendengar dan patuh.
Ibn ‘Arabi meyakini bahwa dengan hanya dikatakan kata penciptaan (kun), maka ketunggalan triple muncul pada sesuatu tersebut. Ia berkata, “Kemudian, ketunggalan triple juga muncul pada sesuatu itu, dan karenanya, dapat dikatakan bahwa sesuatu itu telah tercipta dan dapat disebut ada. Maka, tiga dibanding tiga: esensinya teguh dalam ketiadaannya dalam keseimbangan Zat Penciptanya, mendengar kehendak Penciptanya, dan memerima pelaksanaan apa yang diperintahkan-Nya, yaitu penciptaan dalam keseimbangan perkataan-Nya yang tersembunyi. Dengan demikian, penciptaan dinisbahkan kepada-Nya. Sekiranya tidak ada kekuatan penciptaan dari diri-Nya ketika mengeluarkan perkataan ini, maka sesuatu itu tidak akan tercipta. Tidak ada yang menciptakan sesuatu ini dari ketiadaan, ketika ada perintah untuk penciptaan, selain diri-Nya.”[29]
Jadi, tiga sesuatu pada penerima terhadap tiga pada pelaku adalah (a) esensi (entitas) sesuatu tersebut yang teguh pada keadaan ketiadaannya terhadap Zat yang menciptakan (al-Haqq); (b) sesuatu itu mendengar kehendak yang menciptakan; dan (c) sesuatu itu taat terhadap kata kun. Di sini, eksistensi sesuatu itu terwujud.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa apa yang membedakan teori Ibn ‘Arabi dari teori para mutakallim seputar penciptaan dari ketiadaan adalah bahwa ketiadaan menurut Ibn ‘Arabi tidak merupakan “ketiadaan mutlak”, tetapi “ketiadaan” relatif dan aksidental. Artinya, segala sesuatu memiliki bentuk pendahulu dalam pengetahuan al-Haqq untuk bisa disebut “sesuatu” atau ditujukan padanya kata kun dalam keadaannya seperti itu. Adapun, faktor lain yang membedakan penciptaan itu adalah masalah penciptaan baru yang akan kita bahasa setelah ini.
2. Penciptaan Baru
Aspek lain yang berkaitan dengan penciptaan dan yang sering dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi dalam pembahasan tentang penciptaan adalah “penciptaan baru alam semesta”.[30] Dalam fashsh yang dinamakan Fashsh Hikmah Qalbiyyah fî Kalimah Syu‘aibiyyah dalam buku Fushûsh Al-Hikam, Ibn ‘Arabi berkata, “Ahli kasyf berpandangan bahwa Allah bermanifestasi dalam setiap diri, tetapi tidak mengulangi manifestasi itu…”[31] Maka, penciptaan baru adalah proses eksistensi (manifestasi) yang berulang-ulang yang tidak henti-hentinya dan melalui setiap momen yang berlalu dalam bentuk fana dan kekal. Atas dasar ini, tidak mungkin mengeksperimen bagian alam yang sama pada dua momen sekaligus secara berturut-turut. Inilah yang diistilahkan dengan penciptaan baru (khalq jadîd). Al-Syabasytari memiliki bait-bait syair mengenai hal ini. Silakan merujuk pada dîwân-nya jika mau.[32]
Butir lain yang dipahami dari ucapan Ibn ‘Arabi bahwa perubahan yang terjadi secara terus-menerus dan abadi tersebut merupakan perubahan yang sangat teratur, mengikuti sistem-sistem tertentu dimana tampak bagi para pengamat bahwa alat pendahulu tersebut tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, mereka tidak merasakan pelepasan dan penempatan yang terus-menerus, dan perubahan yang bersambung.
Ibn ‘Arabi berkata, “Selain itu, hayûlâ diambil pada batas setiap bentuk bersama banyak bentuk yang lain, dan perbedaannya secara hakiki berpangkal pada satu substansi yang merupakan hayûlâ-nya. Barangsiapa yang mencari pengetahuan dengannya melalui penalaran pikiran, maka ia ‘mendapatkan sesuatu yang kembung dan meniup yang kurus’. Betapa indah firman Allah Swt. tentang alam semesta… Tentang suatu kelompok, bahkan kebanyakan ilmuwan, Dia berfirman, Sebenarnya mereka dalam keragu-raguan tentang penciptaan yang baru.[33] Jalaluddin Al-Rumi pun mengisyaratkan pengertian ini dalam dîwân-nya.[34]
Juga, Lahiji—dalam dîwân Ghulsyân-i-Râz—tentang hal ini, berkata:
“Ketahuilah, mumkinât pada esensinya adalah ketiadaan tanpa eksistensi (al-Haqq), dan dalam ketiadan itu, ia terus-menerus tenggelam di dalamnya. Eksistensi mumkinât adalah kemunculan al-Haqq dalam bentuk-bentuknya. Segala sesuatu mustahil menjadi ketiadaan pada momen demi momen menurut tuntutan esensinya. Kemudian, dengan hubungannya dengan materi-materi eksistensi, ia mendapatkan eksistensi dari Napas Rahmani, sehingga ada limpahan eksistensi pada segala sesuatu, dan itu adalah dari Napas Rahmani. Karena pembaruan limpahan Rahmani berlangsung cepat, tidak mungkin dirasakan ketiadaan atau keberadaan yang dihasilkan selama sesaat pada setiap mumkin dan pada setiap napas. Sebab, tidak ada celah waktu dalam momen perubahan ketiadaan menjadi keberadaan sehingga kita melihat ketiadaan. Akan tetapi, limpahan (emanasi) eksistensi berhubungan selamanya.”
Entitas-entitas tak berubah pada segala sesuatu adalah yang mengandung kesatuan bentuk pada manifestasi-manifestasi dan kelangsungan huwiyyah-nya meskipun pembaruan itu terjadi secara terus-menerus dan bersambung. Entitas-entitas tak berubah itu adalah simbol penciptaan baru dan manifestasi-manifestasi al-Haqq yang berlangsung terus-menerus di dalamnya.[35]
Ibn ‘Arabi berpandangan bahwa kenaikan yang terus-menerus pada manusia bercabang dari hakikat ini. Ia berkata, “Di antara hal-hal yang menakjubkan adalah pada kenaikan yang terus-menerus dan tidak dirasakan karena tabir yang tipis dan lembut serta bentuk-bentuk yang serupa.”[36]
Tentang hal ini juga, al-Kasyani berkata, “Jadi, setiap sesuatu naik sesaat karena ia selalu siap untuk menerima manifestasi-manifestasi eksistensi Ilahi yang terjadi secara terus-menerus sepanjang zaman. Kesiapan ini berkembang setelah setiap manifestasi untuk menerima manifestasi berikutnya.”[37] Lebih jelasnya, kenaikan segala sesuatu merupakan arah terbalik dari keturunan al-Haqq kepadanya.”[38]
Tentu saja, pemindahan (metempsikosis) perasaan yang hidup dan nyata terhadap proses penciptaan baru di dalam dan di luar manusia dimungkinkan melalui pengetahuan tentang napas tersebut.
Sementara itu, dengan mengetahui nama-nama itu, dapat kami katakan bahwa emanasi Ilahi dikirimkan setiap momen melewati busur turun dan dari titik tolak yang bernama al-Bâ‘its (Napas Rahmani: al-syahîq [tarikan napas]) dan kembali melalui busur naik dari titik tolak yang bernama al-Wârits (al-zafîr [hembusan napas]). Jalaluddin Al-Rumi memiliki dua bait syair yang indah yang menggambar Al-Syahîq dan Al-Zafîr ini dengan indah.
Atas dasar ini, eksistensi merupakan kemunculan dan ketertabiran yang berasal dari kegaiban kehendak Allah, dan bahwa perjalanan alam penciptaan dengan cara seperti ini, yang keluar dari batin al-Haqq, merupakan kemunculan ke dunia nyata (penciptaan), lalu kembali ke dalam kegaiban dan ketersembunyian, dan tersembunyi dalam raj‘ah dan ma‘âd. Adanya perjalanan ini dipahami dari makna ayat: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Dengan kata lain, dan dengan ungkapan yang lebih sederhana, masalah tersebut merupakan masalah kemunculan dan ketersembunyian, bukan masalah penciptaan atau peniadaan.[40]
Dari uraian sebelumnya, menjadi jelas bagi kita bahwa faktor-faktor perbedaan di antara teori penciptaan baru dan teori-teori lain yang serupa seperti (1) teori pembaruan kasus (tajaddud al-amtsâl)—pada Mu‘tazilah; (2) teori aliran alam—pada Husbaniyyah; dan (3) teori gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah)—pada al-Hikmah al-Muta‘âliyyah. Ibn ‘Arabi telah membahas dua teori pertama dan memberikan kritikannya terhadapnya. Tentang keduanya, ia berkata bahwa meskipun dalam ide “perubahan yang terus-menerus” keduanya telah mencapai suatu batas tertentu, tetapi masing-masing jatuh ke dalam kekeliruan. Kaum Asy‘ariyyah meyakini pembaruan kasus (tajaddud al-amtsâl) pada lautan aksiden-aksiden dan ketidak-kekalan aksiden-aksiden tersebut pada dua momen sekaligus. Mereka tidak mengetahui satu masalah penting, dan yang mengharuskan kita memandang alam semesta ini dengan menjelaskannya sebagai suatu sifat, aksiden dan kondisi dari substansi hakiki, yaitu al-Haqq Yang Mahatinggi dan persebaran emanasi-Nya. Atas dasar ini, mereka tidak memahami penciptaan baru dalam seluruh alam semesta. Dengan kata lain, mereka tidak sampai pada asumsi bahwa alam semesta ini seluruhnya tersusun dari sekumpulan aksiden yang berada dalam perubahan yang terus-menerus, dan bahwa aksiden-aksiden tersebut tiada lain adalah berbagai manifestasi al-Haqq. Dari sudut pandang Ibn ‘Arabi, substansi itu adalah maujud yang diikuti, yang merupakan manifestasi Zat al-Haqq (eksistensi yang tersebar) dan kebalikan dari aksiden yang merupakan maujud yang mengikuti dan manifestasi sifat-sifat al-Haqq Yang Mahatinggi (alam dan selainnya).[41] Ini artinya, setiap sesuatu adalah gambaran aksidental dari al-Haqq Swt. yang tidak berdiri sendiri, dan bahwa segala sesuatu tidak lepas dari keberadaannya sebagai aksiden-aksiden yang menerima kemunculan dan ketersembunyian dalam suatu substansi yang abadi.
Husbaniyyah atau Sophisme mengatakan bahwa alam semesta ini tidak tetap dan berubah setiap momen serta semua alam ini bisa hilang, dan mereka tidak mengenal keberadaan perkara yang tetap atau haqq. Di samping itu, mereka tidak mengetahui kesatuan yang ada di balik perubahan-perubahan dan bentuk-bentuk yang berubah itu. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keberadaan suatu substansi yang rasional dan hakikat yang mutlak di balik perubahan-perubahan yang mencakup semua bentuk tersebut (Allah Swt. dan eksistensi yang tersebar).[42] Adapun perbedaan antara teori penciptaan baru dan teori gerakan substansial tersembunyi di balik asumsi bahwa objek penciptaan baru dan pembaruan kasus dalam ‘irfan adalah eksistensi relatif—baik immateri maupun materi, sedangkan objek gerakan substansial adalah alam fisik dan materi. Artinya, gerakan substansial menjelaskan alam materi, sedangkan penciptaan baru menjelaskan semua tingkatan alam semesta.
Atas dasar ini, kejadian alam semesta, menurut urafa, bukan suatu peristiwa yang terjadi satu kali agar sesudahnya alam ini terus berlanjut dalam kekekalan dan keabadian untuk selamanya. Bahkan—berdasarkan kemurahan dan anugerah Ilahi yang tak terhingga—setiap momen menghasilkan suatu penciptaan baru dan kejadian yang lain. Urafa berpandangan bahwa kandungan ayat: Setiap hari Dia dalam kesibukan,[43] sesungguhnya berbicara tentang pandangan dan penyaksian ini.
Karakteristik-karakteristik Alam dalam Pandangan ‘Irfan
Dalam pandangan ‘irfan, alam semesta memiliki beberapa karakteristik yang menunjukkan dengan jelas kebutuhannya yang sempurna kepada al-Haqq dan penyandaran sepenuhnya pada masalah kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd). Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang menjadi sifat alam semesta:
Alam sebagai Tanda dan Cermin: hal ini maksudnya, alam semesta merupakan cermin yang memantulkan al-Haqq, dan karena kebiasaan cermin adalah mengungkapkan sesuatu yang lain. Ini menjelaskan bahwa alam semesta kosong dari kesempurnaan apa pun kecuali jika alam tersebut memantulkan kesempurnaan al-Haqq Swt., sebagaimana telah kami kemukakan, meskipun pengenalan al-Haqq “terhadap selain al-Haqq” yang jauh dari entifikasi merupakan sesuatu yang mustahil. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain, akibat (ma‘lûl), seperti yang dikenal dalam filsafat, merupakan term tidak sempurna (hadd al-nâqish) bagi sebab (‘illah). Berdasarkan hal ini, setiap maujud, dalam kapasitasnya sebagai salah satu entifikasi al-Haqq, memantulkan kesempurnaan Ilahi sesuai dengan kesiapan dan kemampuannya.
Ahli suluk pada awalnya memandang al-Haqq pada cermin makhluk, bersama makhluk, dan di balik tirai. Namun, seperti pembahasan-pembahasan lain—dengan perbandingan mazhab Ibn ‘Arabi di antara tiga pandangan, yakni pandangan ahli al-farq, ahli al-jam‘, dan ahli jam‘ al-jam‘—pandangan yang sempurna adalah milik ahli jam‘ al-jam‘ yang tidak memandang mumkinât semata sebagai cermin-cermin yang memantulkan keindahan al-Haqq dengan berbagai pendekatan. Bahkan, mereka juga berpendapat bahwa al-Haqq pun merupakan cermin bagi bentuk-bentuk mumkinât (seperti dalam filsafat, dimana sebab sempurna [al-‘illah al-tâmm] merupakan term sempurna [al-hadd al-tâmm] bagi akibat [ma‘lûl]), dimana pengetahuan hakiki tidak bisa membayangkan alam semesta kecuali dalam bayangan makrifatullah. Pembahasan ini dipandang sebagai pelengkap tema “al-Haqq merupakan cermin alam semesta” yang terdapat dalam ‘irfan Ibn ‘Arabi, dan bersama pembahasan pertama, membentuk kaidah yang dikenal dengan mir’âtiyyah al-tharfain (pencerminan dua pihak) berdasarkan hadis, “Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin yang lain.” Dalam karya-karyanya, Ibn ‘Arabi menyinggung masalah ini.[44] Kadang-kadang, ia menyebut pencerminan (mir’âtiyyah) ini dengan al-kitâb. Dengan demikian, ilmu dalam kedudukan kitab alam semesta bagi al-Haqq ditulis dengan pena tertinggi.
1. Sistem Terbaik bagi Alam Semesta
Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa alam semesta seluruhnya adalah bayangan Allah Swt. dan menifestasi nama-nama al-Haqq karena setiap nama al-Haqq adalah yang terbaik, dan semuanya merupakan nama terbaik (al-asmâ’ al-husnâ). Oleh karena itu, pantaslah bila sistem alam ini pun adalah yang terbaik. Sejak semula, urafa telah sampai pada sistem terbaik alam semesta dan tidak menemui hambatan melalui penyingkapan batin, lalu melalui burhân limmî tersebut. Adapun, Ibn ‘Arabi, dalam Fashsh Hikmah Ghaibiyyah fî Kalimah Ayyûbiyyah, berkata, “Jika al-Haqq adalah huwiyyah alam semesta, maka seluruh hukum tidak akan muncul kecuali dari dan pada-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin ada dalam imkân sesuatu yang lebih indah daripada alam ini karena dalam rupa al-Rahmân. Allah menciptakannya, yakni eksistensi-Nya muncul dengan kemunculan alam semesta ini.”[45] Urafa menegaskan bahwa semua pilar alam semesta diciptakan menurut asas kebaikan dan keindahan, dan berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah Yang Mahaindah menyukai keindahan.” Sebab, keindahan sistem alam semesta berasal dari keindakan al-Haqq.
Oleh karena itu, jika sesuatu tampak tidak sempurna, tidak alami, menyimpang dari kebaikan dan kemaslahatan dalam pandangan kita, maka hal itu karena ada kekurangan dan cacat pada mata kita, bukan pada sesuatu itu sama sekali.
Mata mana pun tidak mungkin melihat keindahan alam semesta secara hakiki kecuali jika berubah dari mata kemajemukan (‘ain al-katsrah), yang hanya melihat sesuatu yang tampak dan parsial, menjadi mata yang suci dan bersih.
2. Aliran Kehidupan dan Perasaan Umum
Urafa berkeyakinan bahwa alam semesta dan semua pilarnya, yang di dalamnya terdapat benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan lain-lain, memiliki kehidupan dan perasaan. Hakikat ini bisa dicapai terlebih dahulu melalui penyingkapan batin (kasyf). Hal itu ditunjukkan dalam banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa setiap sesuatu di alam semesta ini bertasbih kepada Allah Swt., menyucikan-Nya, dan memuji-Nya. Ibn ‘Arabi berkata, “Menurut keyakinan kami terhadap kabar-kabar yang benar, dengan penyingkapan batin, kita dapat mencapai pemahaman ini, dan kita mendengar batu berbicara dengan menyebut nama Allah dan Swt. dan bertasbih kepada-Nya.”[46]
Adapun, penjelasan eksistensial terhadap butir ini didasarkan pada wahdah al-wujûd dan rusûkh Ilahi di semua penjuru alam semesta, yakni aliran eksistensi (eksistensi yang tersebar), manifestasi al-Haqq, dan pilar-pilar manifestasi di samping aliran sifat-sifat kesempurnaan. Dengan kata lain, aliran dari kehidupan persepsi dan cinta, serta kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang lain pada setiap pilar alam semesta. Hal itu mengikuti aliran eksistensi yang tersebar dan Napas Rahmani, dimana karena satu dan lain hal, muncul pada setriap lokus manifestasi dalam suatu tingkatan. Lebih tepatnya, perumpamaan pengetahuan al-Haqq terhadap semua maujud adalah seperti keteguhan kehidupan Ilahi pada semua bagian alam semesta ini dan pengetahuan terhadapnya. Demikianlah, denyut setiap bagian alam semesta ini terjadi dan berlangsung terus-menerus dengan kehidupan yang abadi. Dalam pada itu, kebanyakan orang tidak bisa membedakan denyut tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa tidak ada kehidupan kecuali pada beberapa bagian dari dunia ini saja. Yakni, masing-masing dari kita dapat dengan mudah merasakan sisi eksistensi dan kemunculan napas Rahmani. Sementara itu, aspek kehidupan hanya diketahui dengan penyingkapan batin.
Ibn ‘Arabi berkata, “Setiap maujud di dunia ini memiliki kehidupan. Namun, hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan yang ada di dunia ini, dan setiap sesuatu akan tampak jelas dalam kehidupan akhirat karena di sanalah tempat kehidupan yang sebenarnya.”[47
Sistem Alam Semesta dan Tingkatan-tingkatan Kemunculannya Kehadiran-kehadiran dan Tingkatan-tingkatan
Para pengikut Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa kemunculan napas Rahmani—yang muncul dari keesaan al-Haqq—menyebabkan manifestasi tingkatan-tingkatan kemunculan dan sistem kemunculan alam semesta.[48] Istilah “lima kehadiran (al-hadharât al-khamsah)” digunakan pada beberapa tingkatan entifikasi Eksistensi Mutlak. Penegasannya (yaitu entifikasi ketunggalan dan keesaan lâhût yang telah dibahas sebelum ini) berkaitan dengan alam Rububiyyah, sedangkan kehadiran-kehadiran (tingkatan-tingkatan) yang lain berkaitan dengan alam “yang lain” dan lokus-lokus manifestasi. Semua itu adalah sebagai berikut:
1. Al-Jabarût, yaitu kemunculan segala hakikat Ilahi dan nama-nama penyucian dalam bentuk hal-hal immateri, dan yang dinamakan dengan ‘uqûl (dalam bahasa hikmah dan filsafat). Kehadiran atau tingkatan ini (dalam ‘irfan) meliputi jiwa-jiwa yang berpikir dan jiwa-jiwa falak (dalam istilah hukama).[49]
2. Al-Malakût, yaitu kemunculan nama-nama dan hakikat-hakikat Ilahi dalam bentuk hal-hal immateri yang lembut disertai beberapa pengaruh dan sifat-sifat materi seperti bentuk, misalnya. Akan tetapi, ia tidak bisa diuraikan atau dibagi. Mereka juga menyebutnya dengan mitsâl dan imajinasi terpisah (dalam istilah hukama).
3. Al-Nasût, yaitu tingkatan alam fisik, yang merupakan tingkat kemunculan yang paling rendah dan berkaitan dengan segala sesuatu yang tersusun, yang memiliki dimensi-dimensi dan bisa diuraikan atau dibagi.[50]
Kehadiran-kehadiran dan tingkatan-tingkatan tersebut masing-masing tersusun secara rapi dan teratur. Artinya, segala sesuatu yang ada dalam kehadiran atau tingkatan merupakan bentuk-bentuk atau misal-misal dari segala sesuatu yang ada dalam Kehadiran Tertinggi. Setiap sesuatu yang ada di alam nyata merupakan misal dari segala sesuatu yang ada di alam mitsâl, dan setiap sesuatu yang ada di alam akal merupakan kilasan yang memantulkan suatu keadaan kehadiran nama-nama dan sifat-sifat Ilahi (lahût). Adapun melewati tingkatan mana pun dan berusaha melihat martabat-martabat tertinggi, menuntut penyingkapan batin. Dari hal ini semua kita menyimpulkan bahwa dapat diasumsikan adanya empat ruang atau tingkatan, sekurang-kurangnya, dalam sistem hierarki alam manifestasi. Ruang-ruang atau tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tuhan tanpa kemunculan, yakni maqam Zat Ilahi tak terhingga yang berada di luar batas-batas pemahaman kita.[51] Ini merupakan tema Ilâhiyyât negatif (ahadiyyah).
2. Tuhan yang tampak, yakni mengisyaratkan pada aspek-aspek dari maqam Ulûhiyyah yang dapat kita pahami dengan pikiran kita dan merupakan tema Ilâhiyyât positif[52] (wâhidiyyah).
3. Aspek-aspek dari manifestasi-manifestasi tak terindera (bagi manusia), yakni ruang-ruang selain Allah, atau alam ciptaan yang tidak terindera dengan alat-alat indera lahiriah (alam-alam gaib). Seperti alam akal dan alam nafs.
4. Aspek-aspek terindera dari manifestasi-manifestasi (bagi manusia), yakni alam fisik dan aspek-aspek dari alam selain Allah yang terindera oleh alat-alat indera lahiriah manusia (alam nyata [syahâdah]), seperti alam semesta dan karakteristik-karakteristiknya.
Butir lain adalah bahwa urafa, di samping Ibn ‘Arabi, dalam pembahasan mereka tentang sistem manifestasi, menunjukkan banyak alam dan berbagai fase, seperti awan, debu, pena tertinggi, ‘Arsy, Ummul Kitab, Lauh Mahfuzh, barzakh, unsur tertinggi, dan sebagainya, yang sebagiannya dapat diaplikasikan pada fase-fase tersebut. Sementara itu, sebagian yang lain merupakan hasil dari pengamatan yang bertahap terhadap satu bagian dari alam-alam itu atau cakupannya pengamatan salah satunya terhadap yang lain.[53] Sebagian lain menunjukkan alam khusus yang berkaitan dengan penyingkapan batin atau penyaksian. Di sini, kami tidak akan menyebutkan semua yang disebutkan oleh mazhab Ibn ‘Arabi.
“Emanasi suci”—yang berhak diperoleh oleh makhluk, akal, pena tertinggi, dan lain-lain—dipandang sebagai manifestasi-manifestasi napas Rahmani dan manifestasi pertama yang bersumber dari al-Haqq di alam perbuatan (‘âlam fi‘l).[54] Yang lainnya—karena di dalamnya ada kesatuan, yaitu al-wahdah al-haqqah (al-wahdah al-zhilliyyah al-haqqah), sebagaimana tidak ada yang kedua dalam keawalannya, adalah apa yang kita lihat berkaitan dengan al-Haqq. Dalam hal ini, eksistensi yang tersebar dianggap sebagai lembaran yang pada setiap fase memungkinkan pencabutan entifikasi-entifikasi dan esensi-esensi darinya, dimana lima kehadiran ini dan fase-fase lain yang menunjukkannya dianggap sebagai hasil dari pandangan takatstsuriyyah (perbanyakan) terhadap satu eksistensi yang tersebar ini.
Urafa membagi sistem manifestasi ini menjadi dua bagian, yaitu gaib dan nyata atau batin dan lahir. Artinya, setiap fase merupakan suatu manifestasi dan kemunculan bagi fase sebelumnya dan sumber kemunculan fase berikutnya, dan ketersembunyiannya. Namun, dalam buku lain, kami melihat bahwa dua kehadiran, yakni ahadiyyah dan wâhidiyyah, berkaitan dengan alam gaib dan alam Rububiyyah. Sementara itu, alam-alam yang lain berkaitan dengan alam nyata dengan adanya sekat di antara keduanya, yaitu insan kamil, yang akan kami kemukakan pada pasal berikutnya. Ibn ‘Arabi yakin bahwa eksistensi (wujûd) itu satu (yaitu al-Haqq Swt.). Dia memiliki kemunculan “alam” dan ketersembunyian “nama-nama”, dan barzakh (sekat) penghimpun yang merupakan penengah di antara keduanya (yaitu insan kamil).[55]
Sistem kemunculan alam semesta terbagi ke dalam dua busur, yaitu busur naik dan busur turun. Salah satunya meliputi perjalanan dari kesatuan (wahdah) menuju kemajemukan (katsrah), dan demikian pula lima kehadiran itu. Di sana, al-Haqq turun dari huwiyyah-Nya yang mutlak dan tidak bisa dipahami ke alam-alam dunia (tanpa kekurangan). Atas dasar ini, tingkatan-tingkatan dan alam-alam tersebut tidak menyempurnakan manifestasi-manifestasi yang tidak sempurna dan kenaikannya, dan perjalanan dari kemajemukan ke kesatuan tanpa busur turun. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhir merupakan kembali ke permulaan.
Sistem manifestasi ini dapat kami gambarkan melalui bentuk berikut:
1.
|
Menurut kejauhan dari alam kesatuan:
huwi-yyah |
Ahadiyyah: entifikasi awal |
Wâhidiyyah: nama dan sifat |
Jabarût:: akal dan jiwa |
Malakût:: alam mitsâl |
Nâsût: fisik |
![]() |
Makna dari bagian-bagian:
Emanasi (manifestasi) terkudus:
Emanasi (manifestasi) yang dikuduskan:
Napas Rahmani:
2. Menurut busur naik dan busur turun:
Huwiyyah
Gaib dari segala gaib 1. kesatuan mutlak:
(a) ahadiyyah:
Gaib 2. wâhidiyyah: entifikasi awal
entifikasi kedua
(b)
3. jabarût
Penyaksian 4. malakût
5. nâsût
Jâmi‘ (gaib dan nyata) insan kamil
Busur turun: dua busur (a) dan (b) meliputi fase-fase dari 2 hingga 5.
Busur naik: satu busur (c) ebalikan dari fse-fase tersebut.
Ma‘âd dan Raj‘ah Alam Semesta
Esensi alam semesta diwujudkan dalam (dari dan ke) kembali ke permulaan (mabda’). Proses penciptaan dan kiamat dalam ‘irfan nazhari menunjukkan busur naik dan busur turun. Keduanya seperti lâzim dan malzûm, dimana butir hubungan akhir busur naik dengan permulaan busur turun merupakan penyempurna lingkaran eksistensi.[56] Poros ma‘âd dalam ‘irfan dipandang sebagai alam semesta seluruhnya, bukan manusia semata.
Sayid Haidar Al-Amuli berkata, “Ma‘âd ahli syariat adalah kembalinya ruh ke jasad mayat yang fana setelah bagian-bagiannya menyatu. Ma‘âd ahli tarekat adalah kembalinya manifestasi sebagian nama ke manifestsi nama-nama yang lain. Sementara itu, ma‘âd ahli hakikat adalah kefaan dalam penyatuan perbuatan, sifat dan Zat, kekekalan dengan al-Haqq, dan kembali kepadanya dalam semua aspek.”[57]
Tentu saja, perbedaan yang tampak dari proses kembali ini dalam diri manusia terjadi pada kemunculan perbuatan-perbuatan manusia semuanya di pentas hari kiamat. Yakni, batin manusia tersingkap sebagai akibat dari penyingkapan alam semesta sendiri.
Jadi, penafsiran yang diketengahkan oleh sang arif tentang perjalanan alam semesta dan manusia menuju hari kiamat dan sesudahnya tidak mengandung arti ketiadaan dan penciptaan, tetapi penampakan dan penyembunyian. Mengenai hal ini, Ibn ‘Arabi berkata, “Yang mengatur alam semesta adalah penghilangan, bukan peniadaan atau kefanaan. Maka kematian adalah penghilangan, bukan peniadaan, karena ia berpindah dari dunia ke akhirat yang awalnya merupakan barzakh (sekat). Penghilangan itu merupakan bagian dari sifat-sifat al-Haqq, bukan peniadaan, sebagaimana Dia berfirman, Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan (hilangkan) kamu, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain.[58] Dia tidak menyebut “peniadakan kamu”. Oleh karena itu, Dia tidak menjadikan lapar puasa sebagai lapar yang merusak diri, walaupun hal itu merupakan penghilangan, bukan peniadaan. Hal itu karena tidak ada peniadaan terhadap maujud ini, karena sesuatu yang disebut eksistensi hanyalah al-Haqq yang muncul dalam entitas-entitas manifestasi. Dengan demikian, ketiadaan tidak menyentuh-Nya sama sekali.”[59]
Pada dasarnya, kiamat bukan berarti keterputusan manifestasi-manifestsi al-Haqq sama sekali. Akan tetapi, kiamat sendiri adalah manifestsi lain al-Haqq tetapi dengan bentuk lain dan bersama nama-nama yang lain. Artinya, manifestasi al-Haqq di akhirat terjadi dengan nama Yang Mahabatin, Yang Mahaperkasa, dan Yang Maha Mengembalikan. Adapun di dunia, manifeestasi Allah Swt. terjadi dengan nama Yang Mahalahir, Yang Maha memulai, dan Yang Maha Pencipta.[60] Namun, sesuai kaidah “nama-nama seluruhnya dalam keseluruhan” dan bahwa setiap sesuatu dapat dianggap sebagai kemunculan semua nama-nama keindahan dan keagungan (meskipun salah satu kemunculan itu terjadi pada manifestasi khusus dan umum), kiamat tidak berarti terjadinya suatu perkara yang tidak ada sebelumnya. Akan tetapi, pada kenyataannya, alam akhirat merupakan batin alam ini (dunia). Dunia dan akhirat memiliki eksistensi yang sama dalam manifestasi Ilahi dan sesuai dengan busur naik dan busur turun. Atas dasar ini, terjadinya kiamat merupakan sesuatu yang relatif, yakni suatu perkara yang belum terjadi pada sebagian besar orang. Namun, berkatian dengan Allah Swt. dan mereka yang memiliki pandangan Ilahiah,[61] kiamat sama dengan dunia. Hal itu karena penampakan akhir al-Haqq dan manifestasi-Nya dengan nama Yang Mahaperkasa terjadi secara terus-menerus, dan karena mulk dan malakût hanyalah milik-Nya untuk selamanya. Adapun, orang-orang yang tertabir, yang tidak melewati lahiriah alam semensta dan tidak pula mengenal batinnya, mereka tidak mampu memahami hal tersebut. Tentang mereka, Allah Swt. berfirman, Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap kehidupan akhirat, mereka lalai—(QS Al-Rûm: 7)
Tentu saja, penampakan al-Haqq kepada semuanya pada hari kiamat lebih jelas dan daripada penampakan-Nya di dunia ini. Al-Quran menyebut hari itu dengan hari al-Haqq dan sebagainya. Pada hari itu, akan tampak jelas bagi orang yang beriman dan juga orang kafir kerajaan Tuhan, keterputusan segala sebab, dan penyingkapan kebatilan segala sesuatu.[62]
Butir lain, sesuai teori penciptaan baru, adalah sebagaimana suatu kemunculan keluar ke alam nyata (penciptaan) dari ketersembunyian al-Haqq selama proses penciptaan, maka penciptaan apa pun tersembunyi lagi dalam kegaiban dan batin (yaitu raj‘ah). Makna huwiyyah (dari dan kepadanya) bagi alam semesta adalah kemunculan dan kefanaan ini, dan bahwa setiap individu memiliki kemunculan pada setiap momen dan ketersembunyian pada momen berikutnya. Demikian pula dalam hal kemunculan dan ketersembunyian yang terus-menerus.[63]
Adapun butir terakhir, sebagaimana permulaan alam semesta terjadi melalui cinta dan gerakan cinta, maka kembalinya pun dengan cara yang sama. Hal itu terjadi dari dua sisi. Pertama, terjadi pada cinta al-Haqq terhadap manifestasi-manifestasi-Nya dan kembalinya manifestasi-manifestasi tersebut kepada-Nya. Kedua, cinta manifestasi-manifestasi terhadap kesempurnaan mutlak dan tujuan segala sesuatu (Zat al-Haqq). Hal itu karena alam semesta seluruhnya selalu mencari Allah Swt. agar sampai ke maqam yang abadi dan tempat yang kekal. Karena sifat pencarian ini tidak terhingga dan karena pertolongan Ilahi tidak ada hentinya, maka akhirat dan perjalanan di sana juga abadi.
Pembagian Kiamat
Urafa memberikan pembagian terhadap jenis-jenis kembali ke asal yang dihasilkan di alam eksistensi yang didasrkan pada penyaksian batin (syuhûd) dan beberapa ayat al-Quran dan hadis-hadis yang berbicara tentang tingkatan-tingkatan, martabat-martabat, dan fase-fase ma‘âd. Di sini, akan kami tunjukkan pembagian yang komprehensif yang diberikan oleh Sayid Haidar al-Amuli terhadap ma‘âd, dalam risalahnya yang berjudul: Asrâr al-Syarî‘ah wa Athwâr al-Tharîqah wa Anwâr al-Haqîqah. Terlebih dahulu, ia membaginya ke adalam dua bagian, yaitu formalitas (shûriyyah) dan spiritualitas (ma‘nawiyyah). Yang pertama menunjukkan perubahan umum yang terjadi di alam lahiriah dan alam-alam nyata. Sementara itu, yang kedua menunjukkan perubahan yang terjadi di alam gaib dan yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-âfâqiyyah atau “perubahan yang bersumber dari kenaikan jiwa pesuluk dan terjadi di dalam batinnya” yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-nafsiyyah.
Selanjutnya, bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian.1. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli tarekat, yaitu yang menunjukkan lipatan fase-fase dan maqam-maqam jiwa manusia, dimulai dari bangun dan diakhiri dengan kefanaan dan kematian, dari maqam dan kehidupan mana pun ke maqam yang lebih tinggi.
2. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli hakikat, yaitu yang menunjukkan perubahan pemilik wilayah (walî) dalam perbuatan, sifat dan zat, dan kesampaian ke tiga fase keabadian setelah kefanaan, dan yang disebut al-jannah al-af‘âliyyah, al-jannah al-shifâtiyyah, dan al-jannah al-dzâtiyyah. Selanjutnya, kesampaian ke penyaksian penyatuan khusus dari khusus—yakni kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd), dan bahwa tidak ada eksistensi di rumah eksistensi kecuali milik al-Haqq serta nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Inilah penyingkapan batin universal yang oleh urafa disebut al-qiyâmah al-kubrâ. Adapun dua fase sebelum fase ini, mereka menyebutnya al-qiyâmah al-shughrâ dan al-qiyâmah al-wusthâ secara bergantian. Kami dapat menggambarkan hal itu dalam skema berikut:
menurut ahli tarekat
anfusiyyah
ma‘nawiyyah menurut ahli hakikat[64]
Al-Qiyâmah âfâqiyyah
shûriyyah
Catatan kaki:
1. Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 3, hal. 442.
2. “Jika al-Haqq adalah huwiyyah alam semesta, maka hukum-hukum seluruhnya hanya muncul dri-Nya dan pada-Nya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 172).
3. “Sesungguhnya al-Haqq sendiri adalah bukti terhadap diri-Nya dan terhadap Uluhiyyah-Nya, dan sesungguhnya alam semesta tiada lain adalah manifestasi-Nya dalam bentuk-bentuk entifikasi-entifikasi sekunder mereka … dan bahwa ia menjadi beberapa jenis dan bentuk berdasarkan hakikat-hakikat entitas-entitas ini dan keadaan-keadaannya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 81).
4. Dîwân Matsnawî, jil. 6, bait no. 3171-3173 dan no. 3182.
5. Fushûsh al-Hikam, hal. 159.
6. Di sini, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud khayal oleh Ibn ‘Arabi bukan khayal lemah yang tidak berdasar, bukan pula khazanah hiss musytarak dalam istilah filsafat, dan bukan khayal terpisah dari misal yang nisbahkan pada lima kehadiran. Akan tetapi, yang dimaksud adalah khayal dalam istilahnya yang merupakan alam yang luas yang mencakup semua tingkatan alam dan semua keadaan yang di dalamnya muncul hakikat-hakikat eksistensial dalam bentuk simbol. Silakan lihat Ibn ‘Arabi Cahreh-i bar Jasteh-i ‘Irfân Islâmî karya Muhsin Jihanghiri, hal. 317. Ibn ‘Arabi menjelaskan maksudnya. Ia berkata, “Alam adalah khayalan yang tidak memiliki eksistensi hakiki, dan ini artinya khayal, yakni dikhayalkan padamu bahwa ia merupakan perkara tambahan yang brdiri sendiri di luar al-Haqq, tetapi tidak begitu dalam perkara yang sama.” Dengan kalimat yang hampir sama, ia juga menyerupakan alam semesta dengan sihir dalam bukunya al-Futûhât al-Makkiyyah. Di situ, ia berkata, “Alam seluruhnya adalah sihir yang dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah benar, padahal ia tidak benar, dan dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah makhluk, padahal ia bukan makhluk.” (jil. 4, hal. 151).
7. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 313; Fushûsh al-Hikam, hal. 103-104.
8. Ghulsyân Râz, bait no. 468 dan 710.
9. Hal. 104.
10. Fushûsh al-Hikam, hal. 99.
11. Al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, pasa 1, hal. 29-30.
12. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 421-423. Silakan lihat juga al-Futûhât al-Makkiyyah, jil., 4 (cetakan baru), hal. 408-409.
13. Fushûsh al-Hikam, hal. 101.
14. Fushûsh al-Hikam, hal. 102. Perhatikan bahwa tempat (mahall) dan bayangan (zhill) tampak sekaligus dalam pembahasan kami ini.
15. Syarh Fushûsh al-Hikam karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal 138.
16. Surah al-Nûr: 35.
17. Kasyf al-Ghithâ: 14 Risalah ‘Irfân, hal. 91.
18. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 216. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi beranggapan bahwa masalah yang lebih samar dalam pengetahuan Ilahi adalah bahwa mumkinât—menurut pendapat mereka—tidak berasal dari Allah Swt. kecuali eksistensi. Sementara itu, ahli kasyf dan urafa yang mengetahui makna hakiki dari ucapan ini mengetahui bahwa tidak ada eksistensi yang sebenarnya kecuali Allah, sedangkan mumkinât akan sirna. Untuk menjelaskan perkataan ini secara logis, Ibn ‘Arabi mengetengahkan beberapa masalah yang dipandang batil dalam kacamata akal. Pada akhirnya, ia memandang bahwa jalan penyingkapan batin dan wahyu adalah solusinya. Dalam menjelaskan hal ini, ia mengetengahkan topik aliran al-Haqq dalam maujud. Ia berkata, “Sekiranya tidak ada aliran al-Haqq pada mujud dalam bentuk tertentu, niscaya alam ini tidak memiliki eksistensi. Selain itu, sekiranya tidak ada hakikat-hakikat logis itu dan universal itu, tidak akan muncul hukum dalam maujud entifikasi.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 55).
19. Ibn ‘Arabi menjelaskan faktor kesatuan dan keberlainan itu dengan mengatakan, “Apa yang kita persepsi adalah eksistensi al-Haqq dalam entitas-entitas mumkinât, dimana huwiyyah al-Haqq adalah eksistensi-nya dan perbedaan bentuk di dalamnya adalah entitas-entitas mumkinât.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 3). Di tempat lain, ia berkata, “Ketahuilah, al-Haqq bermanifestasi dengan sifat-sifat ciptaan. Ketahuilah, makhluk bermanifestasi dengan sifat-sifat al-Haqq dari awal hingga akhir.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 80).
20. Sebagian muhaqqiq menjelaskan bahwa salah satu karakteristik yang menghiasi pemikiran dan pandangan Ibn ‘Arabi dalam ta‘addudiyyah (keberbilangan) dimana pengalaman-pengalamannya yang dalam dan kaya yang kita saksikan dalam pemikiran dan pandangan-pandangannya yang berkaitan dengan suatu masalah tertentu, membantu kemampuannya untuk berimajinasi. Konsekuensinya, pemikiran-pemikirannya dapat menyentuh berbagai aspek dan dan bentuk-bentuk yang kontrakdiktif sehingga memberinya perkembangan yang konstan yang tampak dengan jelas dalam pemilikan kosa kata dan ungkapan yang digunakannya. (Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, hal. 212).
21. Inilah teks hadis itu: “Aku adalah pusaka terpendam yang tidak dikenal. Lalu, Aku ingin dikenal. Maka Aku menciptakan makhluk agar Aku dikenal.” (al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 112; Lathâ’if al-A‘lâm, hal. 395).
22. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 203.
23. Silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 325 dan jil. 3, hal. 449.
24. Fushûsh al-Hikam, hal. 143.
25. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa penciptaan bukan perkara unilateral. Ia berkata, “Maujud-maujud seluruhnya adalah kalam-kalam Allah yang tidak akan habis, karena ia dari kun, dan kun adalah kalan Allah.”
26. Fushûsh al-Hikam, hal. 115-116.
27. Dalam risalahnya, al-Shifât al-Ilâhiyyah, Ibn ‘Arabi berkata, “Kata kun tidak berarti menentuan apa yang dimaksud (yang berkaitan dengan kehendak) dengan perantaraan kehendak yang dikhususkan semata. Akan tetapi, hal itu menurut apa yang disebutkan dalam Surah al-Nahl: 40: Sesunguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)!” maka jadilah ia. Ini adalah ucapan yang bersumber dari kehendak dan pengetahuan, dan kekuasaan yang bersumber darinya. Betapa sering pemikiran sampai pada tiga pemahaman terakhir tanpa sampai ke batas “ucapan” itu karena mereka menyaksikan pengaruh dari sifat-sifat itu tanpa sampai ke pengaruh “ucapan” tersebut. Hanya dalil naqli (wahyu) dan penyingkapan batin yang mampu sampai ke sana, karena ahli kasyf mendengarkan ucapan Ilahi dengan telinga hati sehingga mereka sulit mengingkarinya.” (al-Rasâ’il al-‘Irfâniyyah al-Arba‘ah ‘Asyrah, hal. 23-25).
28. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
29. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
30. Perlu ditunjukkan bahwa tidak adanya pengulangan dalam manifestasi dalam pembahasan yang berkaitan dengan manifestasi adalah karena adanya kaidah yang tersebar di kalangan ahli ‘irfan—baik dalam ‘irfan nazhari maupun dalam ‘irfan ‘amali—dan kaidah tersebut—dalam ‘irfan nazhari—dikenal engan nama “kaidah penciptaan baru”, dan yang menunjukkan pembaruan misal-misal dan kemunculan emanasi-emanasi yang serupa pada setiap manifestasi.
31. Fushûsh al-Hikam, hal. 641-643.
32. Ghulsyân Râz, bait no. 641-643.
33. Surah Qâf: 15.
34. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1146-1147.
35. Fushûsh al-Hikam, hal. 124-125.
36. Fushûsh al-Hikam, hal. 124.
37. Syarh Fushûsh al-Hikam, hal. 152.
38. Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyyah, hal. 220.
39. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1144-1145.
40. Rasyhât al-Bihâr karya Muhammad ‘Ali Syah Abadi, hal. 208.
41. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 28.
42. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 25.
43. Surah al-Rahmân: 29.
44. Ibn ‘Arabi berkata, “Dapat dikatakan bahwa Mukmin pertama adalah dari nama-nama al-Haqq dan Mukmin kedua adalah manusia. Demikian pula sebaliknya.” Pada hal. 62 Fashsh Hikmah Nafatsiyyah fî Kalimah Syîtsiyyah dalam Fushûsh al-Hikam, ia berkata, “Dia adalah cerminmu dalam pandanganmu terhadap dirimu, dan kamu adakan cermin-Nya dalam pandangan-Nya terhadap nama-nama-Nya.” Untuk lebih jelas, silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 176 dan 739, dan jil. 3, hal. 131.
45. Fushûsh al-Hikam, hal. 172.
46. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 3 (cetakan baru), hal. 345.
47. Fushûsh al-Hikam, hal. 84.
48. Napas Rahmani terbentuk dari sisi ketersembunyiannya dan melalui emanasi tersuci (al-faidh al-aqdas), sehingga terbentuk makna-makna dan entitas-entitas sekunder al-Haqq. Adapun dari sisi kemunculannya dan melalui emanasi tersucikan (al-faidh al-muqaddas), maka hal itu menyebabkan penciptaan entitas-entitas eksternal di alam luar.
49. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh al-Qaishari, bahwa esensi akal dan jiwa menurut urafa adalah sama, dan perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam ada atau tidak adanya kaitan dengan badan. Ia adalah perkara aksidental murni. (Silakan lihat Rasâ’il al-Qaisharî, hal. 16).
50. Silakan lihat Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, mukadimah, hal. 27 dan 36; Ishthilâhât al-Shûfiyyah karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 82; dan Naqd al-Nushûsh, hal. 30-32.
51. Kami melihat dalam banyak gubahan syair ‘irfan isyarat-isyarat yang menunjukkan maqam ini dan keterpisahannya dari maqam kedua. Dalam ‘irfan, hal itu disebut “barhâmâi nîrghûnâ”, yakni barhamai yang sulit dijelaskan, dan dalam mistisisme Kristen disebut Ilwhiyyah, sebagaimana disebut “ikhârat”, atau kegaiban misterius menurut Jacob Buhimah.
52. Kalimat ini dikutip dari Mushthafâ Mulkiyân (kata pengantar buku Ghuhar va Shadf ‘Irfân Islâmî, hal. 19).
53. Alam-alam dan tingkatan-tingkatan ini ibarat penjelasan umum atau terperinci dari sebagian terhadap sebagian yang lain. (Silakan lihat, Naqd al-Nushûsh, hal. 63-64).
54. Makna emanasi yang dikuduskan adalah entitas-entitas tak berubah yang diciptakan bersama emanasi terkudus dan keluar dari kondisi sesuatu yang masuk akal dan muncul di alam nyata, dan membawa alam ini pada aktivitas.
55. Tanbîhât ‘alâ ‘Uluww al-Haqîqah al-Muhammadiyyah, hal. 38 dan 39.
56. Mungkin ditunjukkan aspek kesesuain kiamat dengan insan kamil (atau al-bunyah al-muhammadiyyah) yang ditunjukkan oleh urafa dalam karya-karya mereka, sehingga insan kamil adalah penerima dua busur eksistensi.
57. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 104-110.
58. Surah al-Nisâ’: 133.
59. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 10, hal. 490.
60. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 106-107.
61. Urafa beranggapan bahwa substansi kematian (maut) yang disebutkan dalam hadis: “Barangsiapa mati, kiamatnya telah terjadi,” adalah kematian ikhtiari dan kefanaan, di samping kematian alami. Oleh karena itu, arif yang fana dalam Allah menyaksikan kebatilan segala sesuatu, keterputusan segala sebab, dan sebagainya di dunia ini. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hal ini dan mengenai pembagian kematian ikhtiari menjadi empat bagian, silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 113-120.
62. Silakan lihat Rasâ’il Tauhidyyah karya Allamah Muhammad Husain al-Thabathba’i, hal. 232-235; Tafsîr al-Mîzân: surah al-Mu’min: 16, al-Infithâr: 19, dan al-Baqarah: 164.
63. Sayid Haidar al-Amuli mendefinisikan kiamat dan ma‘âd buku Asrâr al-Syarî‘ah dalam bentuk berikut: “Ia adalah perubahan dan kembalinya alam lahir yang terus-menerus menuju alam batin. Dunia juga begitu, yang kemunculan alam batin yang terus-menerus dalam bentuk alam lahir. Artinya, penciptaan dan kemunculan merupakan pusaka al-Haqq yang terpendam.”
64. Karena setiap bagian kiamat yang disebutkan oleh Sayid Haidar al-Amuli terbagi lagi menjadi tiga bagi, yaitu shughrâ, wusthâ dan kubrâ, maka ia dalam risalahnya tersebut menunjukkan dua belas bagian. Silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 112-130.
65. (Translated by Irwan Kurniawan, Bandung, Januari 2007)
saya pribadi, berpendapat bahwa web ini baik/penting
Dari mana konsep ada dan tidak ada itu muncul, dari mana konsep bayangan dan cerimin bisa ada? Darimana konsep penciptaan, Sang Pencipta dan yang diciptakan ini ada?
Jawabnya adalah karena kesadaran, pikiran, persepsi. Tanpa kesadaran, semua konsepsi itu mustahil. Fenomena, keberadaan hanya ada karena adanya kesadaran. Kesadaran bisa menyadari kesadaranpun karena adanya kesadaran, bukan karena memang ada kesadaran tanpa disadari kesadaran itu sendiri.
Mustahil memisahkan Antara pengamat dan yang diamati.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang menciptakan kesadaran? Pertanyaan ini tak akan pernah ada kalau kesadaran itu tak pernah ada.
Kesadaran ada karena adanya materi, sinyal listrik di syaraf sraraf sel sel otak,. Materi ada karena adanya kesadaran. Tuhan bisa ada karena ada pengamat yang menyadari.
Tanpa adanya kesadaran, maka tidak ada konsep Cermin, Bayangan, Diri, ataupun Tuhan.
Sesuatu itu ada karena keyakinan. Kertas bisa ada karena keyakinan.
Hakikat: Hakikat dari kertas sendiri tak pernah ada. dia hanyalah gabungan dari elemen elemen yang tak satupun elemen itu mempunyai substansi yang namanya kertas.
Subjektifitas: Tidak ada benda yang ada pada dirinya, yang ada adalah benda untuk diriku. Kertas itu indah menurut satu orang, tapi tidak menurut orang lain. Orang sakit dengan level tertentu tidak melihat keindahan dari kertas sama sekali dibanding orang sehat.
Sifat fisis: Yang disebut sifat fisis yaitu bisa diraba, bisa dilihat dsb. (dengan panca indera). Untuk bisa melihat, meraba dan merasakan, diperlukan persepsi, pencerapan, ingatan, pikiran dan kesadaran.
Diluar Hakikat, subjektifitas dan sifat fisis, suatu eksistensi sudah tidak ada apa apanya lagi. Dan semua itu adalah ulah kesadaran.
Kesimpulan,
Tak ada satupun sistem yang berdiri sendiri, tanpa adanya kerjasama dari sistem yang lebih kompleks.
Sesuatu itu ada karena adanya kesadaran.
Kesadaranpun muncul karena kerjasama dari sistem aktivitas mental yang sangat kompleks yang berproses dan berubah terus menerus.
Catatan:
Sesuatu itu ada karena keyakinan. Seperti benda yang aku ceritakan diatas.
Tuhan pun ada karena keyakinan. Keyakinan akan memberi kekuatan untuk berubah, mengubah sikap mental kita.
Tanpa keyakinan, kita sulit untuk melakukan sesuatu.
Terimakasih